THEO SYAFEI, NASIONALIS YANG WASPADA "KIRI" DAN "KANAN"
SRI RAHARTI DAN JOHAN BUDI SP
_________________________________________________________________
KARIR THEO SYAFEI DI ABRI TERMASUK BAGUS. LELAKI PENDIAM INI PUN
DIKENAL CUKUP VOKAL BERSUARA SELAMA MENJADI ANGGOTA DPR. INILAH CERITA
TENTANG LELAKI YANG BARU-BARU INI DIGUGAT UMAT ISLAM KARENA ISI
CERAMAHNYA DIANGGAP MENGHINA ISLAM.
Semula, sosok lelaki bertubuh kekar itu hanya dikenal sebagai mantan
Panglima Komando Pelaksana Operasi (Pangkolakops) di Timor Timur yang
sukses membekuk gembong Fretilin, Xanana Gusmao. Bertahun-tahun
kemudian, pria serius yang suka humor itu bikin berita lagi saat ia
di-recall dari Fraksi ABRI di DPR lantaran dinilai terlalu vokal
bicara.
Kini, Theo Syafei Daeng Kulle, 57 tahun, kembali jadi buah bibir
setelah kaset berisi ceramahnya dinilai menghujat Islam dan menghina
Presiden B.J. Habibie. Gempuran datang dari segala arah. Tapi, pria
Bugis yang kini menjadi salah seorang petinggi PDI Perjuangan itu
mengaku siap menghadapi para penggugatnya.
Hari-hari belakangan ini, boleh jadi, merupakan hari yang menggerahkan
bagi Theo Syafei Daeng Kulle. Betapa tidak. Gempuran datang seolah
tanpa henti setelah kaset yang berisi rekaman ceramahnya beredar di
mana-mana. Jika saja isinya bermuatan kata-kata yang teduh, ceramah
pria 57 tahun itu tentu tak akan jadi masalah. Tapi, sebaliknya, isi
kaset ceramahnya dinilai telah melecehkan Islam, umat Islam, dan ormas
Islam. Tak hanya itu. Isi ceramahnya juga dipandang mengganggu
stabilitas dan persatuan bangsa, alias berpotensi menimbulkan
pertikaian suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Apalagi kaset
itu "ditemukan" ketika kasus Kupang meledak. Tak pelak, ceramah Theo
dituding sebagai salah satu penyulut kerusuhan di Kupang.
Transkrip ceramah yang kemudian dimuat dalam tabloid Abadi--jika itu
benar-benar suara dan diucapkan Theo alias bukan rekayasa--memang
"menggegerkan" dan bisa membuat umat Islam marah.
Misalnya, ia "bicara" tentang Islam yang galau dan selalu memberontak,
soal gagalnya umat Islam mendirikan republik Islam di Indonesia,
hingga masalah tipisnya Alquran yang, katanya, tidak bisa
menyelesaikan persoalan (dibandingkan Al-Kitab yang tebal dan bisa
menyelesaikan segala soal). Ia juga mempertentangkan Muhammadiyah yang
dituding sebagai Islam fundamentalis, dengan NU yang lebih
"mengindonesia". Ia pun menjadikan Presiden Habibie sebagai bahan
olokan. "Saya lihat Habibie lincah, saraf motoriknya bagus, jadi cocok
menjadi penari Bali," demikian salah satu kutipan soal Habibie.
"Mendengar ceramahnya, saya jadi panas," kata Ahmad Sumargono, Ketua
KISDI (Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam), yang bersama
organisasi Islam lainnya melaporkan kasus itu ke Polda Metro Jaya.
Lantaran ceramahnya itu, yang konon dilakukan di bilangan Anyer, Jawa
Barat, sekitar September 1998, Theo dituding melanggar banyak pasal
dalam KUHP, yakni Pasal 156 dan 157 (pernyataan kebencian, penghinaan,
permusuhan terhadap ras dan golongan di muka umum), Pasal 310 dan
pasal 315 (penghinaan), Pasal 318 (persangkaan palsu), Pasal 134
(penghinaan sengaja terhadap terhadap presiden dan wakil presiden),
dan penyebaran rasa permusuhan kepada golongan Islam.
Ahmad Sumargono yakin, suara dalam kaset itu nyata-nyata suara Theo.
Lantaran itu, ia meminta pihak kepolisian mengusut tuntas masalah itu.
Sebab, jika tidak, masyarakat dikhawatirkan akan mengambil langkah
sendiri. "Jangan memicu kemarahan umat Islam. Kasusnya harus
dituntaskan dan pelakunya diadili," katanya.
"Ancaman" itu bukan tidak disadari Theo. Apalagi, sebagai orang Bugis,
ia sadar bahwa masalah itu termasuk siri. "Harus berdarah," katanya.
Tapi, anaknya yang tertua, Andi Widjajanto, 27 tahun, yang kini
menjadi dosen di Universitas Indonesia, meyakinkannya agar ia tidak
memakai budaya siri. Kekerasan toh tidak harus dibalas kekerasan. "Dia
bilang, kalau kita dianiaya, kalau rumah kita diobrak-abrik atau
dibakar, artinya kita menang," katanya. Dan, kemenangannya itu
mendasar, kata Theo, sampai berapa belas tahun kemudian pun masih bisa
terus dijadikan cerita.
Karena itulah, ia tidak melakukan pengamanan diri secara luar biasa.
Rumahnya yang luas di bilangan Cilangkap pun tidak diberi pengamanan
khusus. Hanya beberapa anggota Satgas PDI Perjuangan yang terlihat
berjaga-jaga. "Tiap Ketua PDI kan diberi satgas," katanya. Gerbang
rumahnya yang tingginya hampir dua meter, yang terbuat dari kayu
hitam, pun dibiarkan terbuka sampai pukul 24.00 WIB. "Sebelum
anak-anak saya pulang, gerbang itu tidak ditutup," katanya.
Tapi, benarkah suara di dalam kaset itu suara Anda?
Yang pasti, sampai sekarang saya belum pernah mendengar isi kaset itu.
Lalu, mengapa Anda melaporkan harian Abadi ke Polda Metro Jaya?
Itu karena transkripnya merujuk saya sebagai penyulut kerusuhan
Kupang. Saya sendiri merasa tidak begitu perlu untuk mengikuti mereka
punya skenario. Jadi, saya tidak mau mendengar kaset itu. Saya tidak
mau baca isi transkripnya. Banyaklah transkrip yang sekarang ada di
tangan saya, barangkali ada tujuh versi. Saya pikir, kalau saya baca
atau dengar transkrip itu, hanya akan menghanguskan saya punya emosi
dan energi, dan tidak perlu. Lebih baik saya simpan emosi dan energi
saya untuk mendengarkan musik Beethoven atau Mozart.
Anda tidak penasaran untuk membuktikan apakah itu suara Anda?
Saya pikir, karena itu pekerjaan mereka. Itu mesti ada yang benar,
lalu disambung-sambung, dipotong-potong. Umpamanya, kalau saya katakan
"katanya", nah kata "katanya" itu dihilangkan. Jadi, seolah saya yang
punya pernyataan itu. Saya sudah bertemu Gus Dur. Gus Dur mengatakan,
"Ah, itu sudah kerjaan mereka lama. Sebelum Pak Theo, saya sudah lama
berhadapan dengan mereka." Apa Gus Dur memang benar sepenuhnya, atau
karena dia memang tahu pokok-pokoknya.
Siapa "mereka" itu?
Musuh Pancasila dari segi ideologis itu cuma ada kiri atau kanan.
Dalam sejarah kita, gerakan itu tidak pernah selesai.
Benar-tidaknya isi ceramah itu, atau betul-tidaknya soal rekayasa isi
rekaman dan transkrip seperti disinggung Theo, memang masih perlu
pembuktian. Yang jelas, Mayjen Nugroho Djayusman, Kapolda Metro Jaya,
menyatakan, pihaknya kini tengah menangani kasus itu. Dalam jumpa
persnya di Hotel Kemang pada 8 Januari, Theo pun sudah meminta maaf.
"Dengan tulus kami minta maaf. Tidak ada maksud kami menghujat agama
lain," katanya.
Ucapan itu, boleh jadi, memang murni keluar dari dasar sanubari ayah
empat anak itu. Maklum, agama Islam bukan hal baru bagi Theo.
Lingkungan keluarganya di Ujungpandang, Sulawesi Selatan, kebanyakan
beragama Islam. Sang kakek, Ishaq Daeng Pawero, pemilik banyak perahu
pinisi, adalah ayah dari tiga anak: Abdul Salam bin Daeng Munjung,
Syokora Daeng Suji, dan Mohamad Sjafei Daeng Mambani--ayah Theo. Sang
ibu, Khatarina Yonas berasal dari Banda, Maluku. "Ketika saya lahir,
kedua orang tua saya sudah beragama Kristen," kata Theo, yang mengaku
mendapat bekal agama cukup baik dari keluarganya itu.
Kendati beragama Kristen, Theo tidak lantas terkucil dari keluarga
besarnya. Justru ketika ayahnya wafat, saat ia berusia 11 tahun, ia
ikut dengan Syoqora, bibinya. "Dia itu ibu kedua saya, yang memelihara
dan membesarkan saya," katanya. Theo ingat, jika bulan Ramadan datang,
ia ikut sahur di rumah bibinya itu. "Tapi, paginya saya pulang ke
rumah untuk sarapan," ujarnya.
Masa kecil hingga remaja dihabiskannya di Ujungpandang. Setamat SMA
pada 1962, ia ikut ujian masuk Akademi Militer Nasional dan diterima.
Soal ketertarikannya pada dunia militer, katanya, muncul karena tahun
itu di Ujungpadang sedang ramai-ramainya kampanye pembebasan Irian
Barat. "Ada demam serdadu," katanya. Semangatnya pun ikut terpancing.
"Saya pikir, jadi tentara itu hebat, dia berikan jiwa raganya bagi
negara," katanya. Di sisi lain, dengan masuk AMN, ia tidak perlu
memikirkan ongkos sekolah dan segala macam. "Ibu saya tidak sanggup
membiayai kuliah, jadi saya harus cari sendiri," katanya. Tiga tahun
kemudian, ia pun lulus. Teman seangkatannya adalah Mayjen (Purn.)
Tayub dan Letjen (Purn) Yunus Yosfiah.
Sejak 1967, Theo bergabung dengan Resimen Para Komando Angkatan Darat
(RPKAD, kini Kopassus). Pada 1975, ia pertama kali menginjakkan kaki
di Timor Timur saat bergabung dalam Grup I. Dua tahun kemudian, ia
masuk Seskoad, seangkatan dengan Jenderal (Purn.) Wismoyo
Arismunandar. Sebagai siswa termuda, ia tentu sering ketiban pulung
menyelesaikan tugas-tugas hasil diskusi dengan rekan seniornya. Tak
aneh bila Theo lulus sebagai salah seorang siswa terbaik.
Keandalannya menyiapkan taktik dan strategi itu digunakan sebaik
mungkin saat ia kembali ke Timor Timur yang baru saja berintegrasi
dengan Indonesia. Ia lantas memimpin satu batalyon putra Timor tahun
1978. Batalyon lainnya dipimpin Yunus Yosfiah, sekarang Menteri
Penerangan. Mendidik tentara yang 98 persen buta huruf memang bukan
soal mudah. Toh, akhirnya ia berhasil mengantarkan Batalyon 745
Sampada Yudha Bakti itu menjadi batalyon pemburu yang unggul bukan
saja di Timor Timur, tapi juga di Indonesia. "Pak Theo cermat
pemikirannya, analisanya tajam. Dan, ia sangat loyal pada
teman-temannya," komentar Yunus Yosfiah.
Toh, Theo tak hanya menghabiskan waktunya di wilayah Kodam IX/Udayana.
Ia pun pernah bertugas di Madiun, Jakarta, dan Palembang. Saat menjadi
Kasdam II/Sriwijaya, Desember 1991, panggilan tugas ke Timor Timur
kembali datang. Saat itu, ia menggantikan posisi Brigjen Rudolf Samuel
Warouw sebagai Panglima Komando Pelaksana Operasi (Pangkolakops) di
provinsi termuda itu. Tugasnya jelas tidak ringan, apalagi Kota Dili
baru saja diguncang pembantaian dalam Insiden 12 November. Meski
begitu, boleh dibilang ia menyelesaikan tugasnya dengan baik.
Buktinya, ia berhasil menangkap gembong Fretilin Xanana Gusmao dan
menghalau Lusitania Expresso, kapal dari Portugal yang ingin memasuki
perairan Timor Timur, tanpa insiden. Tak aneh bila kemudian ia
dipromosikan menjadi Pangdam Udayana (Maret 1993). Setahun kemudian,
ia ditarik ke Jawa untuk menduduki posisi Komandan Sesko ABRI.
Sebagai Dansesko ABRI, ia dinilai sebagai komandan yang "tidak biasa".
Maklum, alih-alih alergi terhadap tokoh-tokoh yang saat itu dipandang
vokal dan kritis, ia malah mengundang Megawati Soekarnoputri untuk
berceramah di depan peserta Sesko ABRI. "Saya pikir, kelas Sesko ABRI
kan kelas kolonel, kader-kader yang disiapkan untuk jadi brigjen,
mayjen, letjen. Jadi, mereka perlu mengetahui suara dari segala arah,"
katanya beralasan. Barangkali, saat itulah ia mulai jatuh cinta kepada
partai yang dipimpin putri Bung Karno itu. Buktinya, belakangan, ia
memutuskan bergabung dengan PDI Perjuangan.
Lepas dari Sesko ABRI, Theo diangkat menjadi anggota DPR/MPR. Toh,
lagi-lagi ia "bikin ulah". Dalam pidatonya di Universitas Petra,
Surabaya, ia menyatakan bahwa golongan putih (golput) itu sah-sah
saja. Ia juga mempersoalkan banyaknya jenderal yang tak berjabatan di
Mabes ABRI. "Itu membuktikan bahwa ABRI tidak memiliki manajemen
promosi dan kepangkatan yang baik," katanya kala itu.
Komentar-komentarnya itu tak urung menimbulkan polemik. Tak hanya di
tubuh ABRI, tapi juga menjadi pembicaraan hangat di masyarakat.
Recalling Theo yang dilakukan tak lama setelah pidatonya di
Universitas Petra itu disebut-sebut sebagai akibat dari dosa-dosanya
tadi.
Sempat menghilang sebentar, akhir tahun silam, Wakil Sekretaris
Barisan Nasional itu kembali bikin berita, yakni saat ia memutuskan
bergabung dengan PDI Perjuangan dan ikut bursa ketua PDI yang digelar
di Denpasar, Bali. Theo yang disebut-sebut sebagai perwira "Merah
Putih" itu pun terpilih sebagai salah seorang ketua di DPP PDI
Perjuangan.
Apa yang membuat Anda tertarik masuk PDI Perjuangan?
PDI Perjuangan itu telah mengalami penganiayaan politik. Dan saya
bersimpati. Selain itu, PDI Perjuangan jelas-jelas nasionalis. Kalau
saya mau dibilang nasionalis, juga bisa. Tapi, pemahaman saya terhadap
bangsa ini begini: orang Manado, Rote, Yogya, dan Irian merasa
sesaudara dan sebangsa karena ada proses, yakni penjajahan. Proses
penjajahan selama 350 tahun itu membuat kita merasa menjadi satu
bangsa. Dari kaca mata iman, saya melihat bahwa proses menjadi satu
bangsa itu karena diizinkan Tuhan. Bangsa ada karena kehendak-Nya.
Karena itu, harus kita jaga, kita terima, kita hormati. Itu jelas
tidak mudah. Sebab, ada ribuan dialek dan suku.
Bagi saya, kemerdekaan adalah pemberian Tuhan. Jadi, momen itu bukan
momen yang tiba-tiba terjadi. Kemerdekaan ini diberikan Tuhan, plus
Mukadimah UUD 1945, plus Pancasilanya. Itulah yang menurut keyakinan
saya harus dijaga.
Apa saja ancaman untuk Pancasila itu?
Dari dulu ancaman Pancasila itu kiri atau kanan.
Apa komunis memang masih punya kekuatan di Indonesia?
Saya tidak melihat kekuatan komunis cukup kuat saat ini untuk
membahayakan Pancasila. Lihat saja. Dari sekian bayak partai yang
berdiri sekarang ini, apa ada yang berani secara terbuka menyatakan
komunis? Kan tidak ada. Ketika tahun 1948 komunis mencoba
menghancurkan negara ini, DI/TII yang main. Lalu, ketika DI/TII
dipukul, kiri lagi yang naik tahun 1965. Ketika kita pukul kiri,
kelihatannya kanan yang akan naik. Tapi, karena kita waspada tentang
bahaya kiri dan kanan, Pancasila masih bisa dijaga. Sekarang orang
membicarakan Pancasila tanpa ada rasa hormat. Spanduk asas tunggal
sudah dimain-mainkan. Padahal, Pancasila ada di Mukadimah UUD 1945.
Indikasi menguatnya golongan kanan itu dari mana?
Dari banyaknya hujatan terhadap Pancasila. Banyak yang sudah tidak
setuju Pancasila sebagai dasar negara. Lalu, ada keinginan membuat
negara federal.
Jadi, ada kekuatan yang akan membentuk negara Islam?
(Lirih) Ada Merebaknya kerusuhan belakangan ini ada hubungannya dengan
itu?
Kalau kerusuhan Kupang dan Ambon karena ada provokatornya. Kalau ada
provokator, tentu ada tujuannya. Provokator itu saling
menunjuk-nunjuk. Ada yang ke kelompok ini, ada yang kelompok itu.
Di balik sikapnya yang serius dan tongkrongan-nya yang angker, toh,
Theo sebenarnya sosok humoris. Celetukan-celetukannya sering
mengundang tawa pendengar meski ia sendiri tetap serius. Pria yang
mahal sekali tersenyum itu juga pandai mengolah kata-kata. Tak aneh
jika ia kerap diundang untuk berceramah di berbagai kota. Sang istri,
Suismiati, juga aktif di gereja. "Saya aktif di GPIB Hoerip
Cililitan," kata purnawirawati Kowad yang menikah dengan Theo pada
1970 itu.
Kisah cinta Theo dan Suismiati memang terbilang unik. Asrama bujangan
anggota Kopassus kebetulan berdekatan dengan asrama Kowad. Akibatnya,
banyak perwira Kopassus yang menyambangi asrama itu, termasuk Theo.
Dasar anak muda, jam tutup asrama pukul 21.30 WIB tak pernah
dihiraukannya. Akhirnya, Suismiati, yang dipandang senior, segera
dikirim oleh markas pusatnya di Jalan Kramat untuk menertibkan asrama
itu. "Kami kan dari RPKAD, nah yang menertibkan itu harus ditertibkan.
Saya yang belum punya pasangan tetap mendapat tugas untuk
menertibkan," kata Theo.
Untung cinta Theo bersambut. "Bapak itu cinta pertama dan terakhir
saya," kata Suismiati yang asli Ponorogo itu. Sebagai keluarga
tentara, Suismiati paham akan kehidupan tentara. Berpindah-pindah kota
bukan masalah. Malah, keempat anaknya menghabiskan masa kecil mereka
di Timor Timur. "Anak-anak, meskipun sejak kecil hampir selalu
ditinggal bertugas, sangat bangga pada Bapaknya," kata Suismiati.
Keempat anak pasangan itu adalah Andi Widjajanto, 27 tahun, Wisnu
Gautama, 26 tahun, Shinta Devanagari, 25 tahun, dan Riza Renaldi, 24
tahun. Toh, tak seorang pun dari mereka mengikuti jejak Theo sebagai
tentara. Si sulung mendalami bidang hubungan internasional di London,
yang kedua lulus dari Oklahoma, Amerika Serikat, dan si bungsu yang
lulusan Swiss kini memegang salah satu restoran asing di Jakarta.
Sementara, putri satu-satunya sudah menikah.
Kerukunan beragama juga tercermin dalam keluarganya. "Keluarga saya
masih banyak yang Islam. Bahkan, ibu saya berangkat haji dari rumah
ini," kata Suismiati yang memeluk agama Kristen saat menikah dengan
Theo itu. Teman-teman seangkatan Theo, kata Suismiati, sering
mengadakan buka puasa dan tarawih bersama di rumah mereka. "Kami tidak
pernah mempermasalahkan hal itu," katanya.
Theo juga dikenal sebagai pecinta lukisan. Tapi, ia mengaku baru pada
tahap penikmat, bukan pelaku seni. Ia bisa tahan berlama-lama
menikmati lukisan, terutama lukisan bergaya naturalis. Beberapa karya
pelukis kenamaan sempat dikoleksinya, antara lain, karya Basoeki
Abdullah, Affandi, dan Nyoman Lempad. Saat menjadi Pangdam IX/Udayana,
sesekali ia memesan lukisan dari seorang perwira di jajaran Kodam
Udayana, Mayor Suhartono. Ia tidak pernah mau bila lukisan pesanannya
itu tidak menggunakan cat merek Rembrandt.
Selain pecinta lukisan, ia juga dikenal sebagai pria yang tak bisa
dilepaskan dari buku. "Bapak itu hobinya membaca. Saya sampai heran,
kok dia bisa betah membaca tanpa jatuh tertidur," ujar sang istri.
Karya-karya sastra menjadi pilihannya. Baik karya sastrawan dalam
negeri, seperti karya Chairil Anwar, Taufiq Ismail, Abdoel Moeis,
maupun karya sastrawan asing macam Khalil Gibran, Laotze, dan
Rabindranath Tagore.
Pria kekar itu juga senang berolah raga. Dulu, bulu tangkis pernah
digelutinya. Tapi, sekarang, ia lebih suka berenang di kolam renang di
halaman rumahnya. "Jadi, bisa sama anak-anak," kata Suismiati.
Sesekali, saat senggangnya juga dipakai jalan-jalan ke luar kota,
menyambangi saudara-saudara.
Barangkali, kegiatan Theo menikmati lukisan, membaca, atau berenang
itu bakal sedikit terganggu lantaran geger kaset ceramah itu. Namun,
Yunus Yosfiah sebagai teman yang pernah sama-sama berjuang di Timor
Timur mengharapkan tuduhan itu tidak benar. "Sebab, Theo Sjafei yang
saya kenal itu orang baik," katanya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar