Kamis, 01 Januari 2015



MATRILINEAL MINANGKABAU
Matrilineal Minangkabau merupakan hasil pemikiran filsafat ilmu yang di wariskan niniak muyang (nenek moyang) orang Minangkabau oleh filsuf Dt. Katumangguangan dan Dt. Parapatiah nan Sabatang. Mereka seibu yang berbeda ayah. Pola konsep kepemimpinannya juga berbeda. Dalam renungannya mereka mengonsep struktur sosial Minangkabau hingga memberikan warna terhadap pemikir-pemikir muda. Hasil pemikiran niniak muyangnya masih menjadi keraguan bagi pemikir-pemikir muda. Perlu kita sadari bahwa dasar pemikiran niniak yang berdua itu tidak terlepas dari kesadaran pada alam takambang jadi guru, tidak lari dari alua jo nan patuik. Islam mengajarkan untuk menuntut ilmu, membaca, berpikir dan berhitung (batu batikam = distorsi sejarah oleh Islam dalam mengembangkan ajaran Islam).
Hukum Islam yang difirmankan Allah dan Rasulnya dalam Al-Qur’an dan Sunnah,sesungguhnya menerangkan bahwa Islam bernashab ke-Bapak, begitu juga dalam adat Minangkabau. Sesuai dengan ketentuan adat dalam pernikahan, sangat jelas bahwa tidak ada satu orang pun yang bisa menjadi wali nasab selain garis keturunan dari bapaknya. Tanggung jawab mutlak seorang Ayah tidak bisa ditawar baik dunia maupun akhirat, ajaran adat mengatakan bahwa ayah bertanggung jawab atas anaknya yang dituahkan dalam falsafah adat dengan ungkapan anakdipangku sedangkan makna kamanakan dibimbiang berarti suatu tanggung jawab besar untuk mendidik generasi.
Adat Minangkabau sangat kokoh yang menetapkan laki-laki sebagai seorang pemimpin bagi anak, kamanakan, istri, dan lingkungan sosial secara luas. Syarak manyatakan falsafah adat ini dalam Al-Qur’an (QS. An-Nisa ayat 34), adat di Minangkabau tidak melanggar hukum syarak. Aplikasi ini bisa kita temui ketika pengangkatan penghulu salah satu syarat manjadi pangulu (penghulu) adalah Laki-laki nan baliqh jo baraka lalu sifat penghulu adalah sifat Rasulullah SAW (Siddik, Amanah, Tabliq, Fathonah). Tidak perlu di perdebatkan dalam membahas adat jo syarak. Kecuali adat jo syarak kok bacarai, inilah yang perlu kita kokohkan sebab adat dan syarak sandar menyadar, keduanya tidak bisa dipisahkan. Perdebatan bukanlah sifat orang Minang, sebab perdebatan akan mengundang perpecahan.
Untuk mengkaji sistem masyarakat di Minangkabau yang berdasarkan garis keturunan ibu,orang-orang akademis memberi suatu istilah yaitu Matrilineal untuk mempermudah pemaknaannya terhadap garis keturunan ibu ini. Matrilineal berasal dari kata ‘matri’ artinya (ibu) dan ‘lineal’ (garis). Jadi, berarti ‘garis ibu’. Maksudnya adalah istilah untuk menyebutkan sistem kekerabatan yang mengacu pada garis keturunan ibu.
Di Minangkabau sistem kekerabatan tentunya merupakan penjabaran ajaran syarak Habluminannas, dan merupakan formulasi untuk menyikapi fitrah Allah SWT yang menjadikan manusia berkelompok-kelompok dan berbangsa-bangsa. Dalam penyempurnaan penyikapan atas fitrah dan sekaligus implementasi dari ajaran syarak hablumminannas, maka selain hubungan-hubungan yang wajib dijaga menurut ajaran Islam, nenek moyang orang Minangkabau menyempurnakan kekerabatan dengan merefleksikan hubungan menurut garis keturunan ibu, yaknisebagai berikut; Hubungan antara Ibu dan Anak; Bapak dan Anak; Hubungan kekerabatan Mamak jo Kamanakan; Hubungan kekerabatan Suku jo Sako; Hubungan kekerabatan Induak Bako jo Anak Pisang; Hubungan kekerabatan Andan Pasumandan; dll.
Hukum waris dalam Islam telah diterapkan dalam Adat Minangkabau, bahkan hukum waris secara Islam ini yang menjadi roh sesungguhnya dalam merumuskan sistem harta kekayaan, seperti ketentuan: Jan kan sawah jo ladang, rimbo jo rumah gadang, nan diri kito sandiri bukanlah kito nan punyo. Inilah ajaran dasar dari setiap persoalan harta dan kekayaan di Alam Minangkabau. Dalam pemahaman adat Minangkabau amanah adalah tanggung jawab yang amat berat, seluruh rahmat dan karunia wajib dipertanggungjawakan baik di dunia maupun akhirat.
Harta dan warisan dalam ajaran adat Alam Minangkabau tidak mengenal adanya hak milik.Sebab yang berhak memiliki hanyalah Allah SWT, dan Adat Minangkabau telah merumuskan hak Peruntukan pada perempuan dan Hak Pengelolaan (kepemimpinan) pada para lelaki. Jadi, dari segi sistem adat tidak ada melanggar apa yang dikatakan oleh syarak. Begitu juga dengan aturan yang berdasarkan Nasab Ayah (Istilah Dunsanak), Islam tidak ada mengusik ketentuan adat. JusteruPusaka Tinggi dan Pusaka Rendah adalah suatu kearifan tersendiri bagi Adat Minangkabau. Harta Pusaka Rendah, adalah harta pencarian, semua diatur sepenuhnya menurut ketentuan Syarak.Pengelompokan hukum adat harta Pusaka Tinggi sampai saat ini masih menjadi perdebatan kekuasaan, banyak yang beranggapan harato pusako (harta pusaka) tinggi tidak ada dalam aturan Islam atau penempatannya tidak sesuai dengan ajaran syarak. Perlu kita ketahui, bahwa orang Minangkabau telah mengakui harato pusako tinggi adalah harta yang tidak bertuan, tidak jelas asal usulnya. Itu sebabnya harta pusaka tinggi diwariskan melalui garis keturunan ibu yang sebagai umbun puruk pagangan kunci. Seandainya harta ini diwariskan kepada kaum laki-laki pasti akan mengalami dampak kekacauan. Sewaktu kecil dia tinggal bersama orang tuanya setelah menikah harta ini dibagi dan dibawa kepada keluarganya maka kesejahteraan kepada semua unsur mengalami kekacauan.
Pandangan dari sekularisme, atau kacamata materialisme dan kapitalisme yang jahiliyah, telah menghancurkan pandangan mendasar dalam ber-Adat di Minangkabau. Melihat sistem Adat dan Syarak yang tertata rapih yang disusun secara hati nurani. Pemikiran sekularisme mulai menjajah Minangkabau serta memberikan kebimbangan untuk menafsirkan Adat yang sempurna ini. Seandainya masyarakat berbudaya masih memaknai Adaik Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah yang bisa digunakan untuk memahami karakter umum penjajah baik fisik atau non fisik,yang bisa juga disebut sebagai ideologi penjajah, sudah pasti Adat dilindungi dengan tuah kato dari syarak yang bersandi kepada Al-Qur’an.
Kerifan Islam mengajarkan sistem demokrasi yang baik tidak mengenal aposisi. Kearifanlah yang diterapkan dalam adat Minangkabau yang berpedoman kepada Al-Qur’an dan Sunah sistem demokrasi di Minangkabau bisa kita amati, ketika mengambil suatu keputusan atau mencari kata sepakat mereka harus mencapai titik kok bulek dapek digolekan pipiah dapek dilayangkan. Dalam mufakat tidak semua pendapat itu sama. Tetap ada perbedaan pendapat, tetapi mereka tidak melakukan perdebatan, mereka lebih cenderung menghargai pendapat orang lain daripada memaksakan pendapatnya. Ketika hasil kesepakatan memenuhi syarat kesepakatan maka yang bebeda pendapat pun ikut dalam menggolongkan kebulatan kata (menjalankan kesepakatan), Ikut melayangkan hasil yang disepakati (menyampaikan).
Alim ulama sebagai suluah bendang dalam nagari mengadung banyak arti. Yang disebut sebagai ulama dalam nagari adalah orang yang beradat paham dengan agama. Begitu juga orang‘beradat’ disebut sebagai orang yang beragama paham dengan adat. Pemahaman ulama yang pernah mendebat adat seperti Buya Hamka, dahulunya menentang matrilineal. Akan tetapi, ketika kajiannya tentang Adat Alam Minangkabau makin dalam, Hamka berkata “ternyata saya telah salah kaprah memahaminya”. Ternyata tak ada yang tidak berdasarkan aqidah Islam dalam rumusan ajaran Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah itu. Semenjak itu, Buya Hamka berdiri di barisan paling depan dalam membela ABS SBK. Lengkaplah kebanggannya sebagai seorang Hamka Dt. Indomo.
Lalu, bukankah Rasulullah telah bersabda, “Kamu lebih tahu urusan duniamu”. Dan ijmak para ulama (orang yang alim) adalah ketentuan yang legal dalam syarak. Kemaslahatan yang ditawarkan dalam Sistem Harta Pusaka Rendah dan Pusaka Tinggi juga sangat Islami dan lebih manusiawi. Mudah-mudahan berkenan dan bermanfaat bagi dunsanak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar