Selasa, 28 Oktober 2014

PARA CINA PENGHUJAT BANGSA PRIBUMI:


Belakangan ini marak sekali mengenai rasialisme, dimana terjadi
kekerasan terhadap WNI keturunan (WNIk) Cina.
    Saya tidak akan melihat masalahnya dari sudut pandang mereka sebagai
manusia yg merdeka, jadi mempunyai hak dan juga mempunyai martabat, atau
apalah namanya. Namun yg jelas semua musibah harus dijadikan introspeksi utk
berubah, dan ini yg saya lihat tidak pernah mereka lakukan dari dahulu
'kala' sampai sekarang.
    Pertama kali yg akan saya tuturkan adalah mengenai Cina di Medan. Saya
tahu karena saya pernah tinggal di Sumatera Utara lebih kurang 10 tahun, dan
saya bahkan dilahirkan di kota Medan.
    Cina di Medan ini terkenal akan keangkuhannya. Mereka tidak mau
menggunakan bahasa selain bahasa mereka sendiri (awal th. '80-an), bahkan
dahulu banyak orang disana (Sumut) mengatakan Cina di Medan ini adalah Cina
yg paling sombong dari seluruh Cina yg ada di Indonesia. Bahkan mereka
(setahu saya dahulunya) tidak akur dg Cina dari kota-kota lainnya di
Indonesia (selain di Jakarta mungkin). Cina yg biasanya selalu cari aman,
sehingga identik dg penakut, di Medan ini tidaklah begitu demikian, karena
mereka punya tukang pukul, entah dari militer ataupun dari preman, jadi
cukup berani utk melakukan suatu hal bahkan untuk membunuh. Saya juga masih
ingat pendapat mereka tentang Cina lainnya yg ada diluar kota Medan, yg
mereka sebut Cina palsu/Cina banci. Cina di kota Medan ini mempunyai relasi
bisnis dg Cina lainnya yg berada di Hongkong, Singapura, dll. Dan sepanjang
sepengetahuan saya, hubungan mereka tsb lebih erat daripada hubungannya dg
Cina di kota lainnya (Saat itu di Jakarta bisnis mereka belum sesemarak di
Medan, tidak seperti sekarang). Cina Medan ini dlm berbisnis benar-benar
keras (keras dlm arti yg sebenarnya), uang sogoknya sangat dahsyat, segala
bentuk kolusi terjadi disitu. Bahkan selama gubernur Medan tidak bisa
berkolusi ataupun bekerjasama dg mereka, gubernur tsb tak akan pernah
menjadi gubernur atau jabatannya saja yg gubernur tapi fungsinya hampir
tidak ada. Stres mungkin, jika ingin berbuat lurus ?! Jadi , maaf saja, utk
gubernur Medan yg dikuasai Cina (apalagi jika menduduki masa jabatannya dua
kali atau lebih) jika saya sangat amat yakin kekayaan anda itu pasti luar
biasa, mungkin bisa mengalahkan pejabat besar yg kotor yg ada di Jakarta.
Cina di Medan menggunakan segala cara yg kotor utk memperlancar bisnisnya.
Bahkan beberapa kelompok militer mereka kuasai (atau malah sebagian besar
?). Perwira militer yg tidak bisa mereka kuasai, atau diajak bekerja sama,
pasti tidak akan tahan, hebatnya lagi, entah bagaimana caranya saya tidak
tahu, sering perwira tsb digantikan kedudukannya oleh perwira lainnya, dg
harapan bisa diajak bekerja sama. Dan kalau saya tidak salah lagi Sarwo
Edhie pernah bertugas di Medan, dan memang sebagai orang lurus tidak akan
pernah tahan di situ, yg memang sudah kotor. Saya rasa kota mafia di
Indonesia ada di Medan ini. Jadi tidak aneh kalau di Medan banyak yg tahu yg
istilah mafia Italianya 'Capo da Capi', tapi mungkin menggunakan bahasa yg
lain.
Tidak heran juga jika di Medan ditemukan seorang pribumi yg memukul seorang
Cina pada siang hari, lalu pd malam harinya pribumi tsb dicari sekelompok
tentara (bukan polisi lagi, tetapi malah tentara, hebat bukan ?!) dan
dihajar, bahkan ada yg sampai mati, dan ini tidaklah jarang terjadinya. Di
Pertamina yg berada di P. Brandan (82 km dari Medan) juga tak luput dari
jangkauan bisnis Cina Medan tsb. Cina tsb tak segan-segan memberikan mobil
mewah pada pegawai Pertamina yg mempunyai kedudukan yg penting. Jika pd
suatu saat, pegawai tsb menolak keinginannya, maka Cina itu pun akan
membeberkan segala tindakan suapnya pada pegawai tsb, sehingga akan
diketahui oleh semua orang. Singkatnya, sekali sudah masuk kedalam permainan
Cina tsb, mereka sulit utk keluar, dan ini terjadi dlm skala luas, baik di
Medan ataupun diluar kota Medan, namun masih satu propinsi. Setiap ada
tender di Pertamina, pasti keadaannya akan ramai, hiruk pikuk seperti pasar
(Mungkin anda dapat bertanya pada orang yg tahu dan pernah tinggal di P.
Brandan dahulunya). Tak jarang tukang pukul Cina ataupun kaki tangannya
berseliweran pd saat tender berlangsung, utk mencari informasi ini, itu,
dsb. Singkat kata, ramai ! Pembunuhan yg terjadi kebanyakan pasti yg
bermasalah dg Cina. Kerap saya temui orang-orang kecil/pembantu diperlakukan
kasar oleh Cina tsb, baik kasar perkataannya maupun kasar tindakannya.
    Sangat, sangat, sangat banyak sekali, yg kalau saya sebutkan satu per
satu tak akan habis-habisnya. Dan sangat luar biasa. Jika anda tidak
percaya, anda bisa tanyakan orang Medan sendiri, atau mungkin anda bisa
bertanya pada pelajar/mahasiswa dari Medan yg banyak terdapat di kota-kota
pelajar. Bahkan saya yakin, tidak sedikit dari mereka yg akan bercerita;
jika terjadi kecelakaan lalu lintas, bila si pelakunya adalah Cina pasti
dikeroyok ramai-ramai oleh masyarakat setempat, sbg kompensasi kekesalan yg
mereka alami ataupun rasakan selama itu.
    Singkatnya, arogansi dan kesombongan selalu terlihat dari mereka !
    Dulu di Bandung, di ITB tepatnya pernah terjadi kerusuhan massa, yg
kalau tidak salah terjadi pd thn '60an. Semua berawal dari Cina. Dan kalau
tidak salah, Braga diluluh lantakkan oleh massa yg marah. Cina tsb, banyak
yg memakai sepeda motor. Jadi kalau pergi ke kampus mereka selalu sampai
lebih dulu dari pada pribumi. Akibatnya mereka dpt mengambil duduk di bagian
depan, ini terjadi terus menerus, bukannya sekali-kali (kalau sekarang, saya
yakin, para pelajar/mahasiswa lebih senang duduk di belakang, bukan ?!
:-) ). Akibatnya mahasiswa pribumi lainnya kesal akan tindakan mereka yg tak
mengenal kata tenggang rasa, alhasil, ya itu tadi, kerusuhan pun terjadi.
    Ini juga terjadi akibat sifat mereka yg tak mengenal tenggang rasa,
sekarang saja dapat kita lihat sendiri buktinya (tentunya sebelum kerusuhan
terjadi), ditengah keprihatinan karena krisis ekonomi, mereka memamerkan
kekayaannya pun tanpa sungkan-sungkan.
    Berdasarkan cerita yg saya dapat dari seorang mahasiswa universitas
katolik fakultas ekonomi yg ada di Bandung, dimana notabene terdapat banyak
mahasiswa/wi cina, saat terjadi demo, bisa dilihat, bahwa yg berdemo tsb
adalah hampir seluruhnya pribumi, padahal persentase Cina di fakultas
ekonomi lebih besar daripada pribumi. Lucunya lagi, mahasiswa tsb bercerita
pd saya, mahasiswa (mahasiswa saja sembunyi apalagi mahasiswi) Cina hanya
berada di dalam gedung kampus, dan melihat dari kejauhan seakan negara ini
bukan negara mereka. Boleh saja mereka takut, tapi demo yg terjadi kan tidak
berada di luar kampus. Terlihat sekali mereka seperti masa bodoh akan
keadaan yg terjadi, apakah karena mereka kebanyakan adalah orang yg
ekonominya cukup bahkan berlebihan ? Tidak tahulah, yg jelas tidak ada
perasaan memiliki dlm diri mereka. Kamu ya kamu, saya ya saya. Egois mungkin
kata yg tepat utk mereka!
    Selain itu mahasiswa tsb juga bercerita, saat kuliah, Cina itu sering
lebih dulu merebut jatah kursi orang lain, caranya dg meletakkan buku pada
kursi yg kosong, tas, (hebatnya lagi) bahkan sebuah pena yg kecil, pensil,
penggaris, pokoknya kata mahasiswa tsb lagi, apa saja alat tulis yg bisa
digunakan utk merebut bangku itu dipergunakan. Akibatnya orang-orang yg
datang belakangan terpaksa duduk di kursi lain. Sedangkan teman dari si Cina
tsb, yg datangnya lebih terlambat daripada orang-orang tadi, dg santainya
menduduki kursi yg telah direbut duluan oleh temannya (tampaknya mereka
ingin peristiwa di ITB terulang lagi). Yg dahsyatnya lagi, kata mahasiswa
tsb, pernah terjadi satu deretan kursi di bagian belakang semuanya direbut
oleh hanya dua orang mahasisiwi Cina, mereka bahkan menyiapkan kertas kecil
dg ditulisi nama kawan-kawannya yg diperbolehkan duduk. Dahsyat bukannn ?!
Ini merupakan sifat egois lainnya. Mereka tidak bisa mandiri diluar
kelompoknya. Pantas mereka tidak pernah mau berbaur. Silahkan anda buktikan,
negara-negara yg ada penduduk Cinanya pasti ada yg namanya Cina Town. Di
Indonesia pun, disetiap kota besarnya pasti ada yg namanya Cina Town,
lucunya, yg namanya Cina Town itu selalu ada di pusat. Misalnya, di Jakarta
Pusat, di Bandung tengah, dll. Sebenarnya hal itu sah-sah saja, tapi kalau
tidak mau berbaur itu tidak etis. Ada yg pernah bilang mereka tidak mau
berbaur karena sering dikasari di Indonesia ini, saya kira ini hanya sekedar
alasan, seperti yg saya sebutkan tadi, banyak negara-negara yg memiliki Cina
Town (tidak tahu apakah begitu juga di negara-negara yg pddknya mayoritas
Cina, seperti RRC, Singapura, Hongkong, dll), bukti yg satu ini saja sudah
menunjukkan apa ?! Silahkan jawab sendiri. Yg saya tahu, sampai sekarang
orang Cina memiliki sifat eksklusif, hanya berhubungan akrab dg orang-orang
tertentu, yg tentu saja sesama mereka, Cina.
    Jika ada yg mengatakan Cina lebih hebat berdagang daripada pribumi itu
salah besar. Silahkan anda lihat kota Padang, apakah Cina sukses disitu ?
Mereka minggat dg sendirinya karena kalah bersaing. Orang Padang adalah
pedagang yg lihai, tak kalah dg Cina. Cina punya Chinnesse Food, mereka
punya rumah makan Padang. Siapa yg tak kenal Sari Bundo, saya kira banyak
orang yg tahu, ini baru satu dari sekian banyak rumah makan lainnya yg punya
banyak cabang di berbagai kota. Orang Cina sendiri pun banyak yg senang
makan masakan Padang. Belum lagi kelebihan Padang akan keseniannya. Jika
Cina punya bisnis di luar negeri, Padang pun tak kalah uletnya. Tak usah
heran jika di London ada rumah makan Padang yg cukup terkenal, tidak hanya
disitu di Amerika juga ada, Perancis, dll. Jadi kata siapa pribumi kalah
dari Cina ? Mereka bisa kedengaran bergaung, karena jumlah pddk mereka yg
amat banyak (kalau saya tidak salah, lebih dari 20% penduduk dunia).
    Mereka bisa berkuasa di bidang ekonomi, karena para taipan/konglomerat
adalah orang Cina juga. Padahal dulu mereka tak punya apa-apa. Seperti
Salim, Eka Tjipta, dll (Mungkin dari kesemuanya yg hebat otak bisnisnya
adalah Salim ini, dan dia yg menjadi tonggak kebangkitan Cina. Dg
persatuannya yg kuat.) Mereka kaya karena fasilitas pemerintah. Tentu saja
mereka bisa kaya, anda juga bisa dg fasilitas tersebut, walau anda tak bisa
berbisnis. Setelah mereka kaya kemudian Cina-cina lainnya yg memulai bisnis
akan mereka terima dg tangan terbuka, dan bahkan dibantu. Umpamanya begini,
si Salim punya barang lalu dijual ke agen. Nah yg menjadi agen ini orang
Cina juga (karena tentu lebih berat kepada kelompok mereka sendiri, kolusi
!), sedangkan orang pribumi yg menawar utk jadi agen ditolak, atau kalau ada
pun satu diantara ribuan Cina lainnya, itu pun biasanya karena suatu sebab,
misalnya karena pribumi itu adalah seorang pejabat penting. Saat agen akan
menjual ke toko-toko, nah, kembali lagi seperti tadi, yg punya toko tsb
adalah Cina juga. Kesimpulannya, mereka kerjasama dg sesama mereka. Lalu
bagaimana kalau ada Cina yg tidak bisa berdagang lalu merugi ?! Tentu saja
paling-paling mereka bangkrut, tapi kan posisinya bisa diganti oleh Cina
lainnya. Jadi utk pribumi, sulit utk masuk ke dlm bisnis yg sudah dikuasai
mereka. Keuntungan yg terjadi dari rantai perdagangan tsb jatuh ketangan
mereka-mereka juga. Bahkan lagi dlm soal mencari tenaga kerja mereka ambil
dari orang-orang Cina juga, anda bisa lihat di Astra, BCA (bahkan pribumi yg
kerja disini akan dibedakan/dianak-tirikan), Bank Bali, dll, dsb, apalagi
kalau anda kuliah di fakultas ekonomi universitas katolik, anda akan
merasakan, siapa saja perusahaan yg cari tenaga kerja, dan siapa saja yg
mereka terima, anda akan mengerti sendiri, tak aneh juga kalau akhirnya yg
diberi kesempatan dlm bisnis ataupun pegawai perusahaan mereka adalah
orang-orang Cina lagi. Nah, sekarang bagaimana dg pribumi yg punya kuasa,
dia kan bisa mengatur hal-hal yg seperti ini. Lha, bagaimana mau bisa
menentang, uang servisnya tidak tahan, membuat kenikmatan yg membuat pejabat
lupa sama kewajibannya bagi rakyat. Jika uang tidak mempan, wanita jadi
umpannya. Pokoknya segala cara. Titik ! Memang soal servis men-servis itu
sudah budaya mereka, upeti-upeti itu (kasarnya: uang suap) telah ada di
dataran Cina dari dahulu kala, sejak dari zaman banyak kerajaan-kerajaan
Cina dahulu. Yg lemah harus men-servis pada yg berkuasa. Lihat saja setiap
ada perayaan hari raya, selalu saja ada bingkisan parcel-parcel, ini semua
sebenarnya adalah budaya servis men-servis Cina. Seorang Aburizal Bakrie
pernah berkata, lebih kurang begini:
Jika ada seorang pejabat yg sakit, seorang kontraktor pribumi paling-paling
cuma bilang, "Bapak sih kerja terlalu berat, jadinya kan sakit." Sedangkan
kalau si Cina, dia langsung telepon, lalu dia bilang, "Pak, karcis pesawat
ke Singapura sudah ada, nanti diantarkan sama supir saya, agar bapak berobat
di rumah sakit sana, nanti seminggu kemudian bapak pulang kembali dg
pesawat, semua biayanya tidak usah dipikirkan, yg penting seminggu kemudian
bapak akan pulang dg sehat kembali."
    Wahh, wahhh, hebat sekali, bagaimana bisa bisnis dg fair, kalau orang
sudah menyogok. Bahkan yg saya dengar orang barat yg tidak ada istilah sogok
menyogok ataupun kongkalikong, di Indonesia ini, yg bisnisnya dikuasai Cina,
mulai berpikiran ke arah tsb.
    Sedangkan bagaimana jika ada pribumi yg punya barang. Kebanyakan mereka
orientasinya adalah ekspor (Pengusaha pribumi tsb pun bisa dihitung dg
jari). Sedangkan mengenai di dalam negeri semuanya Cina kuasai selain PPP
(Putera Puteri Soeharto. Dan mengenai PPP ini, juga merupakan suatu
kesalahan presiden. Mereka bisa berbisnis pun karena adanya fasilitas.),
akibatnya seperti sekarang ini, terjadi kesenjangan sosial. Pemerintah telah
salah dlm memberi kesempatan. Pemerintah juga telah salah dlm berstrategi
(istilah kasarnya sih, mengeskpos habis-habisan rakyat Indonesia),
konglomerasi dulu baru pemerataan, ya tentu tidak bisa. Mereka beri
fasilitas pd orang yg tidak jelas rasa kebangsaannya, bahkan lahirnya pun
tidak di Indonesia. Kini semua ibarat senjata makan tuan. Namun sejauh yg
saya tahu, mereka-mereka itu, sudah berkongkalikong sejak Soeharto masih
bertugas di Semarang. Tak heran sampai sekarang akrab sekali. (diantaranya:
Bob H. dan Salim).
    Kalau orang Cina mau berbisnis, padahal mereka baru dalam hal tsb,
mereka tidak akan terlalu canggung, karena mereka terbantu oleh familinya
ataupun kawannya, mengenai berbisnis, karena memang lingkungan mereka yg
hampir semuanya berbisnis. Akibatnya makin banyak saja yg berhasil, dan
akibatnya lagi kekayaan akan terus tersedot oleh Cina-cina itu. Sedangkan
pribumi yg hanya bisa jadi karyawan, lalu di-PHK, dan kemudian ingin
berbisnis, pasti, sekali lagi pasti sangat canggung. Tak ada yg membantu.
Lingkungannya pun bukan lingkungan bisnis, baik keluarga maupun kawan. Jadi
tingkat kesuksesannya, lebih kecil dibanding Cina itu.
    Semua ini saya ungkapkan adalah utk memberikan sedikit pemahaman ataupun
visi mengenai yg terjadi dlm perekonomian. Jadi tidak bisa dikatakan pribumi
dlm berbisnis kalah dari Cina, itu salah besar, kita bisa lihat Malaysia sbg
contoh. Saya justru sangat setuju, jika Cina-cina itu lari keluar semua, dan
kalau bisa tak perlu kembali lagi, karena pondasi yg ada itu telah salah
bahkan menyimpang. Menyelamatkan negara ini pun tak perlu dg modal mereka
ataupun IMF, semua ada ditangan rakyat kita ataupun pada tekad rakyat kita.
Namun sayangnya hal ini terhambat pada pejabat-pejabat diatas sana termasuk
Presiden. Jadi sekali lagi, modal yg keluar dari Cina tersebut adalah modal
rakyat kita yg sedari dulu telah berpindah ke tangan mereka, karena
kesalahan pemerintah juga. Harus diingat, kekayaan alam kita sangat besar,
kekuatan eknik kita sangat banyak, dll. Dg tekad utk maju berlandaskan
kebenaran dan kemurnian, kita bisa maju dg tangan dan kaki sendiri. Tak
perlu dg kemajuan semu, kemajuan yg ternyata selama ini hanya didapat dari
hutang belaka. Hutang yg diatasnamakan negara Indonesia (artinya rakyat
sendiri) dan harus ditanggung oleh generasi penerus, tapi hanya demi
keuntungan segelintir pejabat ataupun pengusaha, yg mereka sendiri tak mau
bertanggung jawab selain memindahkan uangnya (sebagian hutang tsb dialihkan
ke kekayaan pribadi mereka) ke luar negeri, bahkan mereka juga pergi ke luar
negeri utk cari selamat, tinggallah rakyat kecil ini yg bisa-bisa saling
gontok-gontokan, yg semua sebabnya adalah dari mereka !

    Sudah lihatkah anda beberapa hari yang lalu di televisi, kita bisa lihat
orang-orang yg antri di kedubes Australia utk urus visa, karena akan pergi
ke Australia, yg alasannya entah apa-apa. Ya, mereka masih beruntung, mereka
punya uang utk keluar negeri, bahkan mungkin punya rumah di Australia tsb,
sedangkan ada juga Cina-cina miskin yg tidak bisa begitu. Nah, dlm hal ini,
diperlukan kesadaran masyarakat agar tidak bertindak munkar, apalagi thdp
Cina yg memang sudah miskin, mereka juga menderita, sama seperti rakyat
lainnya, namun dianggap sama rata saja, dikarenakan sikap jelek Cina
lainnya. Dan ini patut menjadi renungan bagi Cina berduit yg telah ada di
luar negeri kalau memang benar-benar senasib sepenanggungan.
    Banyak lagi sisi negatif dari Cina tsb, yg saya rasa pribumi juga sudah
tahu, hanya dahulu masih bisa masa bodoh, karena sibuk urusan mencari
nafkah, dan sejenisnya, namun sekarang, saat keadaan utk mencari nafkah
tidak ada, akhirnya pelampiasannya kemana lagi ?!
    Saya juga tahu dan menyadari tidak semua Cina itu begitu, sama seperti
tidak semua manusia itu jahat. Semua relatif, namun secara garis besar kita
bisa tarik kesimpulan, bahwa Cina itu perlu introspeksi, agar tidak terulang
lagi peristiwa tsb. Ini Indonesia, setiap negara beda adat istiadat
rakyatnya. Nah, kebetulan Indonesia itu kebetulan yg terjadi adalah seperti
ini. Jadi sekali lagi, introspeksi adalah hal yg patut dilakukan. Yg saya
sendiri kurang yakin, sebab bukti-bukti dari dahulu sampai sekarang selalu
begitu-begitu saja, tidak ada perubahan. Tetapi tidak ada salahnya mulai
dari sekarang diperbaiki. Ada hasilnya atau tidak, yg penting ada kemauan
utk berubah, kalau perlu WNI keturunan dapat berteriak dg bangga kepada Cina
diluar Indonesia, "Inilah Cina Indonesia". Namun yg jelas semua terserah
pada WNI keturunan. Dan sekali lagi perlu diingat, 'Siapa menabur angin dia
akan menuai badai".

Klik di sini untuk Membalas

Inilah kisah lengkap kepahlawanan Usman dan Harun yang digantung di Singapura

56
Nama Usman dan Harun saat ini menjadi berita hangat di media massa setelah TNI AL akan menamakan sebuah kapal perang TNI AL (KRI) dengan nama Usman Harun. Pemerintah Singapura keberatan, sebab keduanya adalah orang-orang yang dianggap teroris oleh Singapura, sementara di Tanah Air, dia adalah pahlawan bangsa.
Kapal perang TNIYa, Usman Harun merupakan nama dua prajurit Korps Komando Operasi (KKO) pada periode 1960-an, atau yang disebut Marinir AL sekarang ini. Keduanya diberi gelar pahlawan nasional setelah dihukum mati oleh Pemerintah Singapura lantaran diduga melakukan aksi terorisme di Macdonald House.
Dari mana berawal?
(Eh, jangan lupa nanti baca perkembangan terbaru kasus Usman Harun yang ini ya: Inilah Usman-Harun di JCC yang kembali bikin Singapura ngambek).
Semuanya berawal ketika pada 31 Agustus 1957 berdiri negara Persemakmuran Malaya. Saat itu Singapura ingin bergabung dalam persemakmuran namun ditolak oleh Inggris. Lalu pada 16 September 1963 dibentuk federasi baru bernama Malaysia yang merupakan negara gabungan Singapura, Kalimantan Utara (Sabah), dan Sarawak.
Kesultanan Brunei kendatipun ingin bergabung dengan Malaysia, namun tekanan oposisi yang kuat lalu menarik diri. Alasan utama penarikan diri adalah Brunei merasa memiliki banyak sumber minyak, yang nanti akan jatuh ke pemerintahan pusat (Malaysia).
Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno sejak semula menentang keinginan Federasi Malaya yang tidak sesuai dengan perjanjian Manila Accord. Presiden Soekarno menganggap pembentukan Federasi Malaysia sebagai “boneka Inggris” merupakan kolonialisme dan imperialisme dalam bentuk baru serta dukungan terhadap berbagai gangguan keamanan dalam negeri dan pemberontakan di Indonesia.
Maka dibentuklah sukarelawan untuk dikirim ke negara itu setelah dikomandokannya Dwikora oleh Presiden Sukarno pada tanggal 3 Mei 1964 di Jakarta.
Adalah Harun Said dan Usman Hj Mohd Ali, dua anggota KKO (Korps Komando Operasi -kini dikenal dengan Korps Marinir) yang diberangkatkan ke Singapura dengan menggunakan perahu karet. Tugasnya adalah menyabotase kepentingan-kepentingan Malaysia dan Singapura.
Berikut ini adalah catatan perjalanan dua Pahlawan Nasional itu sebagaimana tersimpan dalam catatan sejarah KKO.
Kisah Lengkap Kepahlawanan Usman dan Harun
Pahlawan Nasional; Usman dan Harun
Memasuki wilayah Singapura (Catatan: Ejaan dan penulisan banyak ditulis secara apa adanya dari sumber tulisan, yakni blognya Om Mimbar) 
Tanggal 8 Maret 1965 pada waktu tengah malam buta, saat air laut tenang, ketiga sukarelawan ini mendayung perahu. Sukarelawan itu dapat melakukan tugasnya berkat latihan-latihan dan ketabahan mereka. Dengan cara hati-hati dan orientasi yang terarah mereka mengamati tempat-tempat penting yang akan dijadikan obyek sasaran, dan tugas mengamati sasaran-sasaran ini dilakukan sampa larut malam. Setelah memberikan laporan singkat, mereka mengadakan pertemuan di tempat rahasia untuk melaporkan hasil pengamatan masing-masing. Atas kelihaiannya mereka dapat berhasil kembali ke induk pasukannya, yaitu Pulau Sambu sebaga Basis II di mana Usman dan Harus bertugas.
Pada malam harinya Usman memesan anak buahnya agar berkumpul kembali untuk merencanakan tugas-tugas yang harus dilaksanakan, disesuaikan dengan hasil penyelidikan mereka masing-masing. Setelah memberikan laporan singkat,mereka mengadakan perundingan tentang langkah yang akan ditempuh karena belum adanya rasa kepuasan tentang penelitian singkat yang mereka lakukan,ketiga sukarelawan di bawah pimpinan Usman, bersepakat untuk kembali lagi ke daerah sasaran untuk melakukan penelitian yang mendalam. Sehingga apa yangdibebankan oleh atasannya akan membawa hasil yang gemilang.
Di tengah malam buta, di saat kota Singapura mulai sepi dengan kebulatan dan kesepakatan, mereka memutuskan untuk melakukan peledakan Hotel Mac Donald. Diharapkan dapat menimbulkan kepanikan dalam masyarakat sekitarnya. Hotel tersebut terletak di Orchad Road sebuah pusat keramaian d kota Singapura.Pada malam harinya Usman dan kedua anggotanya kembali menyusuri Orchad Road.
Di tengah-tengah kesibukan dan keramaian kota Singapura ketiga putra Indonesia bergerak menuju ke sasaran yang ditentukan, tetapi karena pada saat itu suasana belum mengijinkan akhirnya mereka menunggu waktu yang paling tepat untuk menjalankan tugas.
Setelah berangsur-angsur sepi,mulailah mereka dengan gesit mengadakan gerakan-gerakan menyusup untuk memasang bahan peledak seberat 12,5 kg.
Dalam keheningan malam kira-kira pukul 03.07 malam tersentaklah penduduk kota Singapura oleh ledakan yang dahsyat seperti gunung meletus. Ternyata ledakan tersebut berasal dari bagian bawah Hotel Mac Donald yang terbuat dari beton cor tulang, hancur berantakan dan pecahannya menyebar ke penjuru sekitarnya. Penghuni hotel yang mewah itu kalang kabut, saling berdesakan ingin keluar untuk menyelamatkan diri masing-masing. Demikian pula penghuni toko sekitarnya berusaha lari dari dalam tokonya.
Beberapa penghuni hotel dan toko ada yang tertimbun oleh reruntuhan sehingga mengalami luka berat dan ringan. Dalam peristiwa ini, 20 buah toko di sekitar hotel itu mengalami kerusakan berat, 24 buah kendaraan sedan hancur, 30 orang meninggal, 35 orang mengalami luka-luka berat dan ringan. Di antara orang-orang yang berdesakan dari dalam gedung ingin keluar dari hotel tersebut tampak seorang pemuda ganteng yang tak lain adalah Usman.
Di tengah suasana yang penuh kepanikan bagi penghuni Hotel Mac Donald dan sekitarnya, Usman dan anggotanya dengan tenang berjalan semakin menjauh ditelan kegelapan malam untuk menghindar dari kecurigaan. Mereka kembali memencar menuju tempat perlindungan masing-masing.
Mc Donald House
Mc Donald House
Pada hari itu juga tanggal 10 Maret 1965 mereka berkumpul kembali. Bersepakat bagaimana caranya untuk kembali ke pangkalan. Situasi menjadi sulit, seluruh aparat keamanan Singapura dikerahkan untuk mencari pelaku yang meledakkan Hotel Mac Donald.
Melihat situasi demikian sulitnya, lagi pula penjagaan sangat ketat, tak ada celah selubang jarumpun untuk bisa ditembus. Sulit bagi Usman, Harun dan Gani keluar dari wilayah Singapura.Untuk mencari jalan keluar, Usman dan anggotanya sepakat untuk menerobos penjagaan dengan menempuh jalan masing-masing, Usman bersama Harun,sedangkan Gani bergerak sendiri.
(Baca update informasi tentang Gani yang misterius pada artikel: Tetap misterius, sosok Gani kawan seperjuangan Usman dan Harun di Singapura)
Setelah berhasil melaksanakan tugas, pada tanggal 11 Maret 1965 Usman dan anggotanya bertemu kembali dengan diawali salam kemenangan, karena apa yang mereka lakukan berhasil. Dengan kata sepakat telah disetujui secara bulat untuk kembali ke pangkalan dan sekaligus melaporkan hasil yang telah dicapai kepada atasannya.
Sebelum berpisah Usman menyampaikan pesan kepada anggotanya, barang siapa yang lebih dahulu sampai ke induk pasukan, supaya melaporkan hasil tugas telah dilakukan kepada atasan. Mulai saat inilah Usman dan Harus berpisah dengan Gani sampai akhir hidupnya.
Gagal kembali ke pangkalan  
Usaha ketiga sukarelawan kembali ke pangkalan dengan jalan masing-masing.Tetapi Usman yang bertindak sebagai pimpinan tidak mau melepas Harun berjalan sendiri, hal ini karena Usman sendiri belum faham betul dengan daerah Singapura, walaupun ia sering memasuki daerah ini. Karena itu Usman meminta kepada Harun supaya mereka bersama-sama mencari jalan keluar ke pangkalan.
Untuk menghindari kecurigaan terhadap mereka berdua, mereka berjalan saling berjauhan, seolah-olah kelihatan yang satu dengan yang lain tidak ada hubungan sama sekali. Namun walaupun demikian tetap tidak lepas dari pengawasan masing-masing dan ikatan mereka dijalin dengan isyarat tertentu. Semua jalan telah mereka tempuh, namun semua itu gagal.
Dengan berbagai usaha akhirnya mereka berdua dapat memasuki pelabuhanSingapura, mereka dapat menaiki kapal dagang Begama yang pada waktu itu akan berlayar menuju Bangkok. Kedua anak muda itu menyamar sebagai pelayan dapur.Sampai tanggal 12 Maret 1965 mereka berdua bersembunyi di kapal tersebut.Tetapi pada malam itu, waktu kapten kapal Begama mengetahui ada dua orang yang bukan anak buahnya berada dalam kapal, dia mengusir mereka dari kapal. Kalau tidak mau pergi dari kapalnya, akan dilaporkan kepada polisi. Alasan mengusir kedua pemuda itu karena mereka takut diketahui oleh Pemerintah Singapura dan kapalnya akan ditahan. Akhirnya pada tanggal 13 Maret 1965 kedua sukarelawan Indonesia keluar dari persembunyiannya.
Usman dan Harun terus berusaha mencari sebuah kapal tempat bersembunyi supaya dapat keluar dari daerah Singapura. Ketika mereka sedang mencari-cari kapal, tiba-tiba tampaklah sebuah motorboat yang dikemudikan oleh seorang Cina. Daripada tidak berbuat akan tertangkap, lebih baik berbuat dengan dua kemungkinan tertangkap atau dapat lolos dari bahaya. Akhirnya dengan tidak pikir panjang mereka merebut motorboat dari pengemudinya dan dengan cekatan mereka mengambil alih kemudi, kemudian haluan diarahkan menuju ke Pulau Sambu.
Tetapi apa daya manusia boleh berencana, Tuhan yang menentukan.Sebelum mereka sampai ke perbatasan perairan Singapura, motorboatnya macet ditengah laut. Mereka tidak dapat lagi menghindari diri dari patroli musuh,sehingga pada pukul 09.00 tanggal 13 Maret 1965 Usman dan Harun tertangkap dan dibawa ke Singapura sebagai tawanan.
Mereka menyerahkan diri kepada Tuhan, semua dihadapi walau apa yang terjadi, karena usaha telah maksimal untuk mencari jalan. Nasib manusia di tanganTuhan, semua itu adalah kehendak-Nya. Karena itulah Usman dan Harus tenang saja, tidak ada rasa takut dan penyesalan yang terdapat pada diri mereka.
Sebelum diadili mereka berdua mendekam dalam penjara. Mereka dengan sabar menunggu saat mereka akan dibawa ke meja hijau. Alam Indonesia telah ditinggalkan, apakah untuk tinggal selama-lamanya, semua itu hanya Tuhan yang Maha Mengetahui.
Tabah sampai akhir
Proses Pengadilan. 
Usman dan Harun selama kurang lebih 8 bulan telah meringkuk di dalam penjara Singapura sebagai tawanan dan mereka dengan tabah menunggu prosesnya. Pada tanggal 4 Oktober 1965 Usman dan Harun dihadapkan ke depan sidang Pengadilan Mahkamah Tinggi (High Court) Singapura dengan J. Chua sebagai hakim.
Usman dai Harun dihadapkan ke Sidang Pengadilan Tinggi (High Court) Singapura dengan tuduhan :
1. Menurut ketentuan International Security Act Usman dan Harun telah melanggar Control Area.
2. Telah melakukan pembunuhan terhadap tiga orang.
3. Telah menempatkan alat peledak dan menyalakannya.
Dalam proses pengadilan ini, Usman dan Harun tidak dilakukan pemeriksaan pendahuluan, sesuai dengan Emergency Crimina Trials Regulation tahun 1964. Dalam Sidang Pengadilan Tinggi (Hight Court) kedua tertuduh Usman dan Harun telah menolak semua tuduhan itu. Hal ini mereka lakukan bukan kehendak sendiri, karena dalam keadaan perang. Oleh karena itu mereka meminta kepada sidang supaya mereka dilakukan sebagai tawanan perang (Prisoner of War).
Namun tangkisan tertuduh Usman dan Harun tidak mendapat tanggapan yang layak dari sidang majelis. Hakim telah menolak permintaan tertuduh, karena sewaktu kedua tertuduh tertangkap tidak memakai pakaian militer. Persidangan berjalan kurang lebih dua minggu dan pada tanggal 20 Oktober 1965 SidangPengadilan Tinggi (Hight Court) yan dipimpin oleh Hakim J. Chua memutuskan bahwa Usman dan Harun telah melakukan sabotase dan mengakibatkan meninggalnyatiga orang sipil.
Dengan dalih ini, kedua tertuduh dijatuhi hukuman mati.
Pada tanggal 6 Juni 1966 Usman dan Harun naik banding ke FederalCourt of Malaysia dengan Hakim yang mengadilinya: Chong Yiu, Tan Ah Tah danJ.J. Amrose.
Pada tanggal 5 Oktober 1966 Federal Court of Malaysia menolak perkara naik banding Usman dan Harun. Kemudian pada tanggal 17 Februari 1967perkara tersebut diajukan lagi ke Privy Council di London.
Dalam kasus ini Pemerintah Indonesia menyediakan empat Sarjana Hukum sebagai pembela yaitu Mr. Barga dari Singapura, Noel Benyamin dari Malayasia, Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja SH dari Indonesia, dan Letkol  (L) Gani Djemat SH Atase ALRI di Singapura.
Usaha penyelamatan jiwa kedua pemuda Indonesia itu gagal. Surat penolakan datang pada tanggal 21 Mei 1968.
Setelah usaha naik banding mengenai perkara Usman dan Harun ke Badan Tertinggi yang berlaku di Singapura itu gagal, maka usaha terakhir adalah untuk mendapat grasi dari Presiden Singapura Yusuf bin Ishak. Permohonan ini diajukan pada tanggal 1 Juni 1968. Bersamaan dengan itu usaha penyelamatan kedua prajurit oleh Pemerintah Indonesia makin ditingkatkan.
Kedutaan RI di Singapura diperintahkan untuk mempergunakan segala upaya yang mungkin dapat dijalankan guna memperoleh pengampunan. Setidak-tidaknya memperingan kedua sukarelawan Indonesia tersebut.
Pada tanggal 4 Mei 1968 Menteri Luar Negeri Adam Malik berusaha melalui Menteri Luar Negeri Singapura membantu usaha yang dilakukan KBRI. Ternyata usaha inipun mengalami kegagalan. Pada tanggal 9 Oktober 1968, Menlu Singapura menyatakan bahwa permohonan grasi atas hukuman mati Usman dan Harun ditolak oleh Presiden Singapura.
Pemerintah Indonesia dalam saat-saat terakhir hidup Usman dan Harun terus berusaha mencari jalan. Pada tanggal 15 Oktober 1968 Presiden Suharto mengirim utusan pribadi, Brigjen TNI Tjokropanolo ke Singapura untuk menyelamatkan kedua patriot Indonesia.
Pada saat itu PM Malaysia Tengku Abdulrahman juga meminta kepada Pemerintah Singapura agar mengabulkan permintaan Pemerintah Indonesia. Namun Pemerintah Singapura tetap pada pendiriannya tidak mengabulkannya. Bahkan demi untuk menjaga prinsip-prinsip tertib hukum, Singapura tetap akan melaksanakan hukuman mati terhadap dua orang KKO Usman dan Harun, yang akan dilaksanakan pada tanggal 17 Oktober1968 pukul 06.00 pagi waktu Singapura.
Permintan terakhir Presiden Suharto agar pelaksanaan hukuman terhadap kedua mereka ini dapat ditunda satu minggu untuk mempertemukan kedua terhukum dengan orang tuanya dan sanak farmilinya. Permintaan ini juga ditolak oleh Pemerintah Singapura yang tetap pada keputusannya, melaksanakan hukuman gantung terhadap Usman dan Harun.
Pesan terakhir
Waktu berjalan terus dan sampailah pada pelaksanaan hukuman, di mana Pemerintah Singapura telah memutuskan dan menentukan bahwa pelaksanaan hukuman gantung terhadap Usman dan Harun tanggal 17 Oktober 1968, tepat pukul 06.00 pagi.
Dunia merasa terharu memikirkan nasib kedua patriot Indonesia yang gagah perkasa, tabah dan menyerahkan semua itu kepadapencipta-Nya.
Seluruh rakyat Indonesia ikut merasakan nasib kedua patriot ini. Demikian juga dengan Pemerintah Indonesia, para pemimpin terus berusaha untuk menyelesaikan masalah ini. Sebab merupakan masalah nasional yang menyangkut perlindungan dan pembelaan warga negaranya.
Satu malam sebelum pelaksanaan hukuman, hari Rabu sore tanggal 16 Oktober 1968, Brigjen TIN Tjokropranolo sebagai utusan pribadi Presiden Suharto datang ke penjara Changi. Dengan diantar Kuasa Usaha Republik Indonesia di Singapura Kolonel A. Ramli dan didampingi Atase Angkatan Laut Letkol ((G) Gani Djemat SH, dapat berhadapan dengan Usman dan Harun di balik terali besi yang menyeramkan pada pukul16.00. Tempat inilah yang telah dirasakan oleh Usman dan Harun selama dalam penjara dan di tempat ini pula hidupnya berakhir.
Para utusan merasa kagum karena telah sekian tahun meringkuk dalam penjaradan meninggalkan Tanah Air, namun dari wajahnya tergambar kecerahan dan kegembiraan, dengan kondisi fisik yang kokoh dan tegap seperti gaya khas seorang prajurit KKO AL yang tertempa. Tidak terlihat rasa takut dan gelisah yang membebani mereka, walaupun sebentar lagi tiang gantungan sudah menunggu.
Keduanya segera mengambil sikap sempurna dan memberikan hormat serta memberikan laporan lengkap, ketika Letkol Gani Djemat SH memperkenalkan Brigjen Tjokropranolo sebagai utusan Presiden Suharto. Sikap yang demikian membuat Brigjen Tjokropranolo hampir tak dapat menguasai diri dan terasa berat untuk menyampaikan pesan.
Pertemuan ini membawa suasana haru, sebagai pertemuan Bapak dan Anak yang mengantarkan perpisahan yang tak akan bertemu lagi untuk selamanya. Hanya satu-satunya pesan yang disampaikan adalah bahwa Presiden Suharto telah menyatakan mereka sebagai Pahlawan dan akan dihormati oleh seluruh rakyat Indonesia, kemudian menyampaikan salut atas jasa mereka berdua terhadap Negara.
Sebagai manusia beragama, Brigjen Tjokropranolo mengingatkan kembali supaya tetap teguh, tawakal dan berdoa, percayalah bahwa Tuhan selalu bersama kita. Kolonel A. Rambli dalam kesempatan itu pula menyampaikan, bahwa Presiden Suharto mengabulkan permintaan mereka untuk dimakamkan berdampingan di Indonesia.
Sebelum berpisah Usman dan Harun dengan sikap sempurna menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Presiden RI Jenderal Suharto atas usahanya, kepada Jenderal Panggabean, kepada mahasiswa dan pelajar, Sarjana Hukum, dan Rakyat Indonesia yang telah melakukan upaya kepadanya. Pertemuan selesai, Sersan KKO Usman memberikan aba-aba, dan keduanya memberi hormat
Menjalani Hukuman Mati
Pada saat ketiga pejabat Indonesia meninggalkan penjara Changi, Usman danHarun kembali masuk penjara, tempat yang tertutup dari keramaian dunia.Usman dan Harun termasuk orang-orang yang teguh terhadap agama.
Mereka berdua adalah pemeluk agama Islam yang saleh. Di alam yang sepi itu menambah hati mereka semakin dekat dengan pencipta-Nya. Karena itu empat tahun dapat mereka lalui dengan tenang. Mereka selalu dapat tidur dengan nyenyaknya walaupun pelaksanaan hukuman mati semakin dekat.
Pemerintah dan rakyat Indonesia mengenang kembali perjuangan kedua pemuda ini dan dengan keharuan ikut merasakan akan nasib yang menimpa mereka.Sedangkan Usman dan Harun dengan tenang menghuni penjara Changi yang sepi dan suram itu.
Mereka menghuni ruangan yang dibatasi oleh empat dinding tembok, sedangkan di luar para petugas terus mengawasi dengan ketat. Usman dan Harun yang penuh dengan iman dan taqwa dan semangat juang yang telah ditempa oleh Korpsnya KKO AL menambah modal besar untuk memberikan ketenangan dalam diri mereka yang akan menghadapi maut.
Di penjara Changi, pada hari itu udara masih sangat dingin suasana mencekam,tetapi dalam penjara Changi kelihatan sibuk sekali. Petugas penjara sejak sore sudah berjaga-jaga, dan pada hari itu tampak lebih sibuk lagi.
Di sebuah ruangan kecil dengan terali-terali besi rangkap dua Usman dan Harun benar-benar tidur dengan pulasnya. Meskipun pada hari itu mereka akan menghadapi maut, namun kedua prajurit itu merasa tidak gentar bahkan khawatir pun tidak.
Dengan penuh tawakal dan keberanian luar biasa mereka akan menghadapi tali gantungan.Sikap kukuh dan tabah ini tercermin dalam surat-surat yang mereka tulis pada tanggal 16 Oktober 1968, yang tetap melambangkan ketegaran jiwa dan menerima hukuman dengan gagah berani.
Betapa tabahnya mereka menghadapi kematian, hal in dapat dilihat dari surat-surat mereka yang dikirimkan kepadakeluarganya.
Sebagian Surat Usman yang berbunyi sebagai berikut:
Berhubung tuduhan dinda yang bersangkutan maka perlu anak anda menghaturkan berita duka kepangkuan Bunda sekeluarga semua di sini bahwa pelaksanaan hukuman mati ke atas anakanda telah diputuskan pada 17 Oktober 1968, hari Kamis 24 Rajab 1388.
Sebagian isi surat dari Harun sebagai berikut:
Bersama ini adindamu menyampaikan berita yang sangat mengharukan seisi kaum keluarga di sana itu ialah pada 14-10-1968 jam 10.00 pagi waktu Singapura rayuan adinda tetap akan menerima hukuman gantungan sampai mati.
Menghadapi Tiang Gantungan
Pukul 05.00 subuh kedua tawanan itu dibangunkan oleh petugas penjara,kemudian disuruh sembahyang menurut agamanya masing-masing. Sebenarnya tanpa diperintah ataupun dibangunkan Usman dan Harun setiap waktu tidak pernah melupakan kewajibannya untuk bersujud kepadaTuhan Yang Maha Esa. Karena sejak kecil kedua pemuda itu sudah diajar masalah keagamaan dengan matang.
Setelah melakukan sembahyang Usman dan Harun dengan tangan diborgol dibawa oleh petugas ke kamar kesehatan untuk dibius. Dalam keadaan terbius dan tidak sadar masing-masing urat nadinya dipotong oleh dokter tersebut, sehingga mereka berdua lumpuh sama sekali.
Dalam keadaan, lumpuh dan tangan tetap diborgol, Usman dan Harun dibawa petugas menuju ke tiang gantungan.Tepat pukul 06.00 pagi hari Kamis tanggal 17 Oktober 1968 tali gantungan dikalungkan ke leher Usman dan harun.
Pada waktu itu pula seluruh rakyat Indonesia yang mengetahui bahwa kedua prajurit Indonesia digantung batang lehernya tanpa mengingat segi-segi kemanusiaan menundukkan kepala sebagai tanda berkabung. Kemudian mereka menengadah berdoa kepada Illahi semoga arwah kedua prajurit Indonesia itu mendapatkan tempat yang layak di sisi-Nya. Mereka telah terjerat di ujung tali gantungan di negeri orang, jauh dari sanak keluarga, negara dan bangsanya. Mereka pergi untuk selama-lamanya demi kejayaan Negara, Bangsa dan Tanah Air tercinta.
Eksekusi telah selesai, Usman dan Harun telah terbujur, terpisah nyawa dari jasadnya. Kemudian pejabat penjara Changi keluar menyampaikan berita kepada para wartawan yang telah menanti dan tekun mengikuti peristiwa ini, bahwa hukuman telah dilaksanakan. Dengan sekejap itu pula tersiar berita ke seluruh penjuru dunia menghiasi lembaran mass media sebagai pengumuman terhadap dunia atas terlaksananya hukuman gantungan terhadap Usman danHarun.
Bendera Merah Putih telah dikibarkan setengah tiang sebagai tanda berkabung. Sedangkan masyarakat Indonesia yang berada di Singapura berbondong-bondong datang membanjiri Kantor Perwakilan Indonesia dengan membawa karangan bunga sebagai tanda kehormatan terakhir terhadap kedua prajuritnya.
Begitu mendapat berita pelaksanaan eksekusi, Pemerintah Indonesia mengirim Dr. Ghafur dengan empat pegawai Kedutaan Besar RI ke penjara Changi untuk menerima kedua jenazah itu dan untuk dibawa ke Gedung Kedutaan Besar RI untuk disemayamkan. Akan tetapi kedua jenazah belum boleh dikeluarkan dari penjara sebelum dimasukkan ke dalam peti dan menunggu perintah selanjutnya dari Pemerintah Singapura.
Pemerintah Indonesia mendatangkan lima Ulama untuk mengurus kedua jenazah di dalam penjara Changi. Setelah jenazah dimasukkan ke dalam peti, Pemerintah Singapura tidak mengizinkan Bendera Merah Putih yang dikirimkan Pemerintah Indonesia untuk diselubungkan pada peti jenazah kedua Pahlawan tersebut pada saat masih di dalam penjara. Pukul 10.30 kedua jenzah baru diizinkan dibawa ke Kedutaan Besar RI.
Mendapat penghormatan terakhir dan Anugerah dari Pemerintah  
Setelah mendapatkan penghormatan terakhir dari masya rakat Indonesia di KBRI, pukul 14.00 jenazah diberangkatkan ke lapangan terbang di mana telah menunggu pesawat TNI-AU yang akan membawa ke Tanah Air.
Pada hari itu Presiden Suharto sedang berada di Pontianak meninjau daerah Kalimantan Barat yang masih mendapat gangguan dari gerombolan PGRS dan Paraku. Waktu Presiden diberitahukan bahwa Pemerintah Singapura telah melaksanakan hukuman gantung terhadap Usman dan Harun, maka Presiden Suharto menyatakan kedua prajurit KKO-AL itu sebagai Pahlawan Nasional.
Pada pukul 14.35 pesawat TNI-AU yang khusus dikirim dari Jakarta meninggalkan lapangan terbang Changi membawa kedua jenazah yang telah diselimuti oleh dua buah bendera Merah Putih yang dibawa dari Jakarta.
Padahari itu juga, tanggal 17 Oktober 1968 kedua Pahlawan Usman dan Harun telah tiba di Tanah Air. Puluhan ribu, bahkan ratusan ribu rakyat Indonesia menjemput kedatangannya dengan penuh haru dan cucuran air mata. Sepanjang jalan antara Kemayoran, Merdeka Barat penuh berjejal manusia yang ingin melihat kedatangan kedua pahlawannya, pahlawan yang membela kejayaan Negara, Bangsa dan Tanah Air.
Setibanya di lapangan terbang Kemayoran kedua jenazah Pahlawan itu diterima oleh Panglima Angkatan Laut Laksamana TNI  R. Muljadi dan seterusnya disemayamkan di Aula Hankam Jalan Merdeka Barat sebelum dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Pada upacara penyerahan kedua jenazah Pahlawan ini menimbulkan suasana yang mengharukan. Di samping kesedihan yang meliputi wajah masyarakat yang menghadiri upacara tersebut, di dalam hati mereka tersimpan kemarahan yang tak terhingga atas perlakuan negara tetangga yang sebelumnya telah mereka anggap sebagai sahabat baik.
Pada barisan paling depan terdiri dari barisan Korps Musik KKO-AL yang memperdengarkan musik sedih lagu gugur bunga, kemudian disusul dengan barisan karangan bunga. Kedua peti jenazah tertutup dengan bendera Merah Putih yang ditaburi bunga di atasnya. Kedua peti ini didasarkan kepada Inspektur Upacara Laksamana TNI R. Mulyadi yang kemudian diserahkan kepada Kas Hankam Letjen TNI Kartakusumah di Aula Hankam.
Di belakang peti turut mengiringi Brigjen TNI Tjokropranolo dan Kuasa UsahaRI untuk Singapura Letkol M. Ramli yang langsung mengantar jenazah Usman dan Harun dari Singapura. Suasana tambah mengharukan dalam upacara ini karena baik BrigjenTjokropranolomaupun Laksamana R. Muljadi kelihatan meneteskan air mata.
Malam harinya, setelah disemayamkan di Aula Hankam mendapat penghormatan terakhir dari pejabat-pejabat Pemerintah, baik militer maupun sipil. Jenderal TNI Nasution kelihatan bersama pengunjung melakukan sembahyang dan beliau menunggui jenazah Usman dan Harun sampai larut malam.
Penyambutan Usman dan HarunTepat pukul 13.00 siang, sesudah sembahyang Jum’at, kedua jenazah diberangkatkan dari Aula Hankam menuju ke tempat peristirahatan yang terakhir. Jalan yang dilalui iringan ini dimulai Jalan Merdeka Barat, Jalan M.H. Thamrin, Jalan Jenderal Sudirman, Jalan Gatot Subroto, Jalan PasarMinggu dan akhirnya sampai Kalibata.
Sepanjang jalan yang dilalui antara Merdeka Barat dan Kalibata, puluhan ribu rakyat berjejal menundukkan kepala sebagai penghormatan terakhir diberikan kepada kedua Pahlawannya. Turut mengiringi dan mengantar kedua jenazah ini, pihak kedua keluarga, para Menteri Kabinet Pembangunan.
Laksamana R. Muljadi, Letjen Kartakusumah, Perwira-perwin Tinggi ABRI, Korps Diplomatik, Ormas dan Orpol, dan tidak ketinggalan para pemudadan pelajar serta masyarakat. Upacara pemakaman ini berjalan dengan penuh khidmat dan mengharukan. Bertindak sebagai Inspektur Upacara adalah Letjen Sarbini. Atas nama Pemerintah Letjen Sarbini menyerahkan kedua jasad Pahlawan ini kepada Ibu Pertiwi dan dengan diiringi doa semoga arwahnya dapat diberikan tempat yang layak sesuai dengan amal bhaktinya.
Dengan didahului tembakan salvo oleh pasukan khusus dari keempat angkatan, peti jenazah diturunkan dengan perlahan-lahan ke liang lahat. Suasana bertambah haru setelah diperdengarkan lagu Gugur Bunga.
Pengorbanan dan jasa yang disumbangkan oleh Usman dan Harun terhadap Negara dan Bangsa maka Pemerintah telah menaikkan pangkat mereka satu tingkat lebih tinggi yaitu Usmar alias Janatin bin Haji Muhammad Ali menjadi Sersan Anumerta KKO dan Harun alias Tohir bin Mandar menjadi Kopral Anumerta KKO. Sebagai penghargaan Pemerintah menganugerahkan tanda kehormatan BintangSakti dan diangkat sebagai Pahlawan Nasional.
(Copyright by : Korps Marinir via blog Om Mimbar)
Usman Janatin bin H. Ali Hasan (lahir di Dukuh Tawangsari, Desa Jatisaba, Kecamatan Purbalingga, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, 18 Maret 1943 – meninggal di Singapura, 17 Oktober 1968 pada umur 25 tahun) adalah salah satu dari dua anggota KKO (Korps Komando Operasi; kini disebut Marinir) Indonesia yang ditangkap di Singapura pada saat terjadinyaKonfrontasi dengan Malaysia.
Tohir bin Said. (Lahir di Pulau Bawean tanggal 4 April 1943): Anak ketiga dari Pak Mandar dengan ibu Aswiyani, yang kemudian terkenal menjadi Pahlawan Nasional dengan nama Harun.



Presiden Melayu Pertama Singapura tinggal sejarah. Rakyatnya sudah lupa!



Profesor Dr Lily Zubaidah Rahim berkata, Presiden Melayu Pertama Singapura kini hanya tinggal dalam lipatan sejarah dan tidak lagi diingati rakyat negara itu pada generasi mutakhir ini.

Menurut Dr Lily, ketika Singapura berusaha untuk bergabung dengan Malaya sekitar tahun 1963, kerajaan PAP (Parti Tindakan Rakyat) pimpinan Lee Kuan Yew mempotretkan negaranya sebagai beridentiti Melayu dengan melantik Yusof bin Ishak sebagai Yang di-Pertuan Negara menggantikan Sir William Allmond Codrington Goode, Gabenor Singapura.

Lagu kebangsaan Singapura juga berbahasa Melayu, “Majulah Singapura” yang digubah pada tahun 1957 oleh seorang penggubah muzik filem yang terkenal pada masa itu, Encik Zubir Said.

Begitu juga dengan lambang bendera Singapura yang terdapat bulan dan bintang sebagai simbol Islam dan para pelajar diwajibkan mempelajari bahasa Melayu sebagai bahasa kedua di negara itu.

“Ironiknya, pada masa kini, elemen soalan ‘Siapa nama kamu ? Di mana kamu tinggal ? dan perkataan ‘Majulah Singapura’ tidak lagi difahami oleh kebanyakan rakyat Singapura.”

Dr Lily berkata demikian dalam bukunya bertajuk “Singapore Dilemma in the Malay World,” Routledge Taylor & Francis Group, 2009.






Pada 31 Ogos 1963, Singapura memperolehi kemerdekaan daripada pihak British apabila negara itu menyertai Malaya (Persekutuan Tanah Melayu) dan Borneo Utara (Sabah & Sarawak) membentuk negara Malaysia.

Dua tahun kemudian, pada 7 Ogos 1965, Singapura dikeluarkan dari Malaysia kerana berlaku rusuhan kaum apabila PAP sering mempertikaikan hak keistimewaan kaum Bumiputera, menuntut persamaan hak antara Bumiputera dan bukan Bumiputera serta melaksanakan sistem meritokrasi berasaskan konsep Malaysian Malaysia.

Rusuhan kaum di Singapura pada tahun 1964 itu membawa kepada rusuhan kaum di Kuala Lumpur pada 1969 yang lebih dikenali sebagai ‘Peristiwa 13 Mei.’

Pada 9 Ogos 1965, Singapura membentuk negaranya sendiri yang dinamakan Republik Singapura, dengan Yusof bin Ishak dilantik sebagai Presiden dan Lee Kuan Yew menjadi Perdana Menteri pertama.

Yusof Ishak hanya bertahan menjadi Presiden Melayu pertama Singapura selama lima tahun, dari 9 Ogos 1965 hingga saat beliau meninggal dunia pada 23 November 1970.

Selepas Yusof Ishak tiada lagi Presiden Singapura berbangsa Melayu kerana selepas kematiannya, jawatan Presiden itu diganti oleh Benjamin Henry Sheare, Devan Nair, Wee Kim Wee, Ong Teng Cheong, Sellapan Ramanathan dan Dr. Tony Tan Keng Yam.

Manakala Setiausaha Agung PAP, Lee Kuan Yew pula memegang jawatan Perdana Menteri selama 31 tahun diganti dengan Goh Chok Tong dan pada 12 Ogos 2004, anak Kuan Yew, Lee Hsien Loong mengambil alih semula jawatan Perdana Menteri Singapura hingga sekarang. AIDC











Umar Abduh (Mantan Napol Woyla)
BAGI trio terpidana mati kasus Bom Bali I, Amrozi, Ali Ghufron dan
Imam Samudra, dijuluki teroris oleh media massa lokal dan
internasional, atau oleh siapapun juga, tidak membuat mereka marah
atau kecil hati. Mereka yakin, apa yang mereka lakukan adalah jihad.
Sehingga mereka pun yakin Allah akan memberi mereka gelar mujahid.

Bahkan, mereka sama sekali tidak merasa keberatan dengan apapun yang
ditempuh pemerintah di dalam menjalankan hukuman mati atas diri
mereka. Ditembak mati dengan bedil, dipancung, dialiri listrik, atau
cara lainnya, bagi mereka sama saja. Semuanya menuju mati syahid.
Bagaimana kita memposisikan Amrozi, Ali Ghufron dan Imam Samudra :
Mujahid atau Teroris? Yang jelas, mereka juga manusia.

Sebagai manusia, mereka termasuk yang mempunyai ketaatan kepada ajaran
agamanya, mempunyai keseriusan di dalam mendalami ajaran agamanya,
mempunyai keberpihakan kepada umat Islam

Kalau toh akhirnya ada yang menilai mereka mengalami distorsi di dalam
memaknai dan mempraktekkan jihad, itu urusan mereka dengan Allah. Bagi
yang sepaham dengan ‘ijtihad’ mereka, maka Amrozi, Ali Ghufron dan
Imam Samudra adalah Mujahid. Sebaliknya, bagi yang tidak sepaham,
ketiganya dijuluki Teroris.





Amrozi cs adalah alumni Mujahidin Afghan


Alumni Afghan
Dua dari trio terpidana mati Bom Bali I adalah alumni Afghan. Ali
Ghufron alias Mukhlas adalah alumni Afghan angkatan kedua (masuk pada
akhir 1987), satu angkatan dengan Abu Rushdan dan Mustapha alias
Pranata Yudha. Sedangkan Imam Samudra angkatan kesembilan (masuk pada
tahun 1991), seangkatan dengan Ali Imran (adik Ali Ghufran alias
Mukhlas, yang juga terlibat kasus Bom Bali I namun tidak divonis
hukuman mati).

Rombongan pertama dari Indonesia yang berjihad ke Afghan terjadi
sekitar akhir 1984 hingga awal 1985, antara lain diikuti oleh Sa’ad
alias Ahmad Roihan, yang juga terlibat dalam kasus Bom Bali I, bahkan
beberapa kasus peledakan sebelumnya. Abu Dujana menutup rombongan
warga Indonesia berlatih militer untuk berjihad di Afghan. Abu Dujana
sebagaimana Ahmad Roihan juga sudah ditangkap aparat.


US dead: 58,159; 2,000 missing; wounded: 303,635 / South Vietnam dead:
220,357; wounded: 1,170,000 / South Korea dead: 4,407; wounded:
11,000 / Thailand dead: 1,351 / Australia dead: 520; wounded: 2,400* /
New Zealand dead: 37; wounded: 187 / Total dead: 285,831 - Total
wounded: ~1,490,000
Sidney Jones, Direktur International Crisis Group (ICG) Biro Jakarta,
pada salah satu kesempatan pernah mengatakan, kalau saja orang-orang
seperti Imam Samudra tahu bahwa ‘proyek’ Aghan merupakan rancangan
CIA, niscaya mereka tidak akan mau pergi ke Afghan untuk berlatih
militer dan berjihad. Benarkah demikian?

Tidak! Meski mereka tahu CIA berada di belakang ‘proyek’ Afghan, tekad
dan semangat jihad mereka membebaskan Muslim Afghan dari penjajahan
rezim komunis Soviet, dapat mengalahkan realitas itu.

Sebagai superpower AS seharusnya mampu mengirimkan sejumlah pasukannya
untuk mengusir komunisme Soviet dari Afghanistan. Namun kala itu AS
belum pulih dari trauma akibat mengalami kekalahan siginfikan pada
perang Vietnam yang berlangsung sejak 1961 hingga 30 April 1975. AS
kehilangan lebih dari 58.000 prajuritnya dan menghabiskan lebih dari
15 miliar dollar AS.

Presiden AS terpilih, Kennedy, pada tahun 1961 mengirimkan 400 tentara
ke Vietnam. Tahun berikutnya, Kennedy menambah pasukannya di Vietnam
menjadi 11.000 tentara. Di tahun 1968, AS mengirimkan 500 ribu
pasukannya ke Vietnam, belum termasuk berbagai pasukan dari Australia,
Selandia Baru, Korea Selatan, Filipina dan Thailand yang berjumlah
90.000 orang.

Perang Afghan sendiri berlangsung awal 1980-an hingga awal 1990-an. AS
tidak mau mengorbankan prajuritnya sebagaimana terjadi di Vietnam.
Maka, pilihan jatuh kepada pemuda Islam di pelosok dunia yang terkenal
dengan semangat jihadnya, termasuk dari Indonesia. Osama bin Laden
menjadi sosok yang sangat penting, di samping tokoh-tokoh lainnya, di
dalam merekrut dan memfasilitasi pemuda-pemuda Islam yang mau berjihad
ke Afghan.

Membangkitkan Harimau
Sejak 1990 hingga 1995, alumni Afghan asal Indonesia berangsur-angsur
pulang ke tanah air. Sebagian melanjutkan jihadnya ke Moro
(Philipina), menghidupkan Kamp Hudaibiyah hingga akhir 1990-an.

Di Afghan, sebelum berjihad mereka melengkapi diri di Kamp Latihan
dengan berbagai hal, seperti menggunakan senjata, kursus mengenali
berbagai jenis bahan kimia dan meracik bahan peledak (bom), kursus
menggunakan tank tempur, latihan tempur pada berbagai medan perang.
Namun ketika kembali ke tanah air, keterampilan itu sama sekali tidak
digunakan untuk melakukan aksi teror. Karena, mereka sama sekali tidak
bercita-cita menjadi teroris, apalagi di negerinya sendiri.


H. Rachmat Basoeki : Jangan Lupakan Poso

Jangan Lupakan Poso
Akan tetapi sejak tragedi 25 Desember 1998, ketika umat Islam sedang
menjalankan shaum Ramadhan, dan umat Kristiani masih dalam suasana
Natal yang seharusnya damai penuh kasih.

Tiba-tiba kedamaian itu dirobek-robek oleh pemuda kristiani yang dalam
keadaan mabuk memasuki Mesjid kemudian membacok Ridwan.

Inilah kasus Poso pertama, yang mengawali kasus-kasus Poso lainnya.

Sekitar tiga pekan kemudian, 19 Januari 1999 pecah lagi kasus Ambon,
yang diawali dengan aksi pemalakan yang dilakukan pemuda Kristen
terhadap dua pemuda Muslim.

Konflik berlanjut secara meluas dan berdarah-darah. Hingga puncaknya
terjadi pada 24 Desember 1999 hingga 7 Januari 2000, yang dinamakan
kasus Tobelo-Galela, dengan korban terbanyak dari kalangan Muslim. Ada
yang menyebutkan jumlah korban mencapai 3000 jiwa, dan 2800 di
antaranya Muslim.


Baca Buku Rustam Kastor : Konspirasi RMS dan Kristen Menghancurkan
Umat Islam di Ambon

Baca Buku Rustam Kastor : Konspirasi RMS dan Kristen Menghancurkan
Umat Islam di Ambon
Menurut versi Gus Dur, korbannya hanya lima orang. Sedangkan menuruut
versi Max Tamela, Pangdam Pattimura kala itu, korban yang diakuinya
berjumlah 771 jiwa, mayoritas Muslim.

Belakangan diketahui, pada tragedi pembantaian di Tobelo-Galela ini,
ada keterlibatan Sinode GMIH (Gereja Masehi Injil di Halmahera), yang
mengkoordinir pengungsian umat Kristen ke Tobelo berjumlah sekitar
30.000 orang. Pengungsian dilakukan secara bertahap sejak pertengahan
November hingga awal Desember 1999. Bahkan, pada Jumat 24 Desember
1999 dengan alasan pengamanan gereja, diangkut ratusan warga kristen
dari Desa Leloto, Desa Paso dan Desa Tobe ke Tobelo. Mereka datang
mengendarai truk dengan berbagai atribut perang seperti kain ikat
kepala berwarna merah, tombak, parang dan panah.

Mei 2000, pecah lagi kasus Poso ketiga. Ratusan warga pesantren
Walisongo, dibantai oleh Tibo dan kawan-kawan. Belakangan diketahui,
ada keterlibatan Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST)
yang berpusat di Tentena. Juga, sejumlah tokoh (16 orang), sebagaimana
disebutkan Tibo sebelum dieksekusi mati.

Peristiwa-peristiwa itu ibarat membangkitkan harimau yang sedang
istirahat. Maka meledaklah aksi teror yang pertama kali dilakukan para
alumni Afghan, yaitu peledakan Bom di Kediaman Kedubes Philipina. Aksi
peledakan itu terjadi pada tanggal 01 Augst 2000. Alasannya, para
pelaku pemboman menduga Philipina secara ilegal turut mengirimkan
senjata ke Ambon (Maluku) yang kala itu sedang konflik, dan tentu saja
menguntungkan salah satu pihak yaitu kelompok merah (kristen).


Aksi Pamer Kekuatan Laskar Jihad



Kemudian, pada malam Natal 24 Desember 2000, terjadi ledakan di
sejumlah gereja di berbagai kota di Indonesia, seperti di depan Gereja
Katedral (Jakarta Pusat), Gereja Santo Yosef, dan halte bus sekolah
katolik Marsudi Rini di Jalan Matraman Raya (Jakarta Timur), Gereja
Koinonia (di Jatinegara, Jakarta Timur), juga gereja dan sekolah
Kanisius, Jalan Menteng Raya (Jakarta Pusat). Ledakan juga terjadi di
dekat gereja di Medan, Sumatera Utara, Mojokerto Jawa Timur, Mataram
NTB dan Pekanbaru dan Batam Riau, serta Bekasi. Alasannya jelas,
merupakan peringatan keras kepada kalangan Kristen terutama tokoh
rohaniwan, yang sejumlah petinggi gerejanya justru menjadi aktor
intelektual tragedi pembantaian Muslim di Ambon (Maluku) dan Poso.

Februari 2001 terjadi lagi pengusiran dan pembantaian terhadap warga
Madura di Sampit, yang dilakukan oleh Dayak Kristen dan animis.
Tragedi Pemenggalan kepala warga Madura oleh suku Dayak dilakukan
secara demonstratif di siang hari dan di depan kamera teve lokal dan
internasional yang sedang meliput. Dua bulan kemudian, April 2001,
pecah lagi kasus Poso ke-empat.

Meski tidak ada kaitannya dengan kasus Sampit, Ambon dan Poso, yang
jelas pada 11 September 2001, terjadi tragedi WTC 911 di negerinya
Bush. Tudingan teroris yang dilekatkan kepada Islam, mulai
disosialisasikan Bush. Kekhawatiran Bush terhadap aksi terorisme yang
dilekatkan kepada Islam, ibarat senjata makan tuan. Perang melawan
terorisme pun dicanangkan, karena AS (CIA) yang paling tahu kualitas
mujahid alumni Afghan. Ibarat sang guru yang tahu betul kualitas murid-
muridnya.

Setahun kemudian, 12 Oktober 2002, barulah meledak kasus Bom Bali I
yang menewaskan 202 korban jiwa dan 350 orang lainnya mengalami luka-
luka berat dan ringan. Secara keseluruhan, korban tewas pada kasus
Ambon, Poso dan Sampit, terutama dari pihak Islam, jumlahnya puluhan
bahkan ratusan kali jauh lebih besar dibandingkan dengan korban tewas
pada kasus Bom Bali I dan II.

Kurang setahun dari kasus Bom Bali I, terjadi peledakan di depan lobi
Hotel JW Marriott, tanggal 5 Agustus 2003 sekitar pukul 12.40 wib,
menyebabkan 10 orang tewas dan 152 luka-luka. Setahun kemudian,
terjadi Bom Kuningan (9 September 2004), di depan Kedubes Australia
jalan HR Rasuna Said, Jakarta. Setahun kemudian, terjadi Bom Bali II
(01 Oktober 2005). Sekitar sebulan kemudian, Doktor Azhari yang selama
ini menjadi hantu teroris berhasil ditembak mati, di kawasan Batu,
Malang, pada 09 November 2005.


Adult Material
The Picture Tell Everything

Beberapa foto korban Konflik di Poso, Sampit, Sanggau Ledo, Tobelo
(Ambon)

Objektif dan Adil
Pasca tertembaknya Azahari, kasus peledakan betul-betul terhenti,
sampai saat ini. Namun, potensi teror tetap ada, bila merujuk pada
adanya penangkapan di Palembang (01 Juli 2008) dan Kelapa Gading (21
Oktober 2008), yang menjadikan target peledakannya Depo Pertamina
Plumpang, Jakarta Utara.

Meski Azahari sudah ditembak mati, dan tiga ratusan anggota jaringan
teroris sudah ditangkap, termasuk tokoh-tokoh penting seperti Abu
Dujana, para pengamat pun menyatakan prediksinya tentang potensi
destruktif dari gerakan terorisme Jama’ah Islamiyah tinggal sepuluh
persen saja namun potensi teror dinyatakan tetap ada, bahkan pihak
kepala Polri yang baru menyebutkan terorisme kini justru ada di mana-
mana. Dengan alasan, Noordin M Top yang selama ini dinilai ahli
melakukan rekrutmen, dinyatakan belum tertangkap. Artinya, meski
Amrozi cs ditembak mati sekalipun, potensi teror masih tetap tinggi.

Lantas, bagaimana mengeliminasi potensi teror sebagaimana terjadi
selama ini? Semua pihak seyogyanya, terutama pemerintah harus bersikap
objektif dan berlaku adil lihat akar masalahnya. Ini resepnya. Akar
masalahnya, pertama, ada pembantaian yang dilakukan umat Kristiani
terhadap umat Islam baik di Ambon (Maluku) maupun di Poso. Ini bukan
konflik horizontal biasa. Fakta ini diabaikan, bahkan dipaksakan
menjadi konflik horizontal biasa, yang dimulai dari adanya pertikaian
antara preman dari kedua belah pihak. Padahal, faktanya tidaklah
demikian.


Kamis, 25 Jan 2007, Ust. Ahmad didampingi beberapa tokoh Forum Umat
Islam, termasuk Ust. Abu Bakar Ba’asyir dari MMI dan Habib Rizieq dari
FPI, mendatangi Komnas HAM untuk menyampaikan fakta Rekaman Video Yang
Menjijikkan
Yang terjadi sesungguhnya adalah ummat non Muslim (Kristen-Katholik)
sebagai pihak yang memulai pertikaian ini, yang diyakini ada
keterlibatan gereja serta tokoh-tokoh masyarakat Kristen-Katholik di
sana sebagai perancang aksi (aktor intelektual). Mereka memulai
penyerangan dan pembunuhan, sedangkan ummat Islam hanya melakukan
reaksi balik, sekaligus dalam rangka mempertahankan diri. Bantuan yang
datang dari luar titik konflik, karena ummat Islam menyadari posisi
aparat baik pusat maupun daerah meberi porsi berat sebelah, sama
sekali tidak melindungi masyarakat muslimnya.

Akar masalah kedua, sikap arogan dan tidak loyal kalangan Kristen-
Katholik (dan kemudian Hindu). Sikap arogan ini terjadi terutama di
daerah-daerah tertentu yang masyoritas penduduknya non-Muslim.
Pengusiran hingga pembantaian (muslim cleansing) terjadi di beberapa
daerah-daerah ini. Sedangkan di daerah-daerah yang masyoritas
penduduknya Muslim, umat Kristen-Katholik dan Hindu tidak pernah ada
pengusiran apalagi pembantaian. Dari daerah-daerah ini pula ancaman
dan gertakan memisahkan diri dari NKRI sering dikumandangkan. Ini
menunjukkan bahwa non-Muslim (kecuali umat Budha) secara konsisten
menebar benih dan memang tidak loyal kepada NKRI.

Seharusnya, pemerintah dan aparat keamanan mendorong tokoh Kristen-
Katholik berjiwa besar, dengan mengakui kekeliruan sebagian ummatnya
maupun tokoh gereja, yang secara sengaja menjadi aktor intelektual
dalam pembunuhan umamt Islam. Permintaan maaf tersebut dilakukan
secara terbuka, sehingga terbaca oleh alumni Afghan, insya Allah hal
tersebut dapat menyejukkan hati mereka.

Selain itu, aparat juga harus berlaku adil. Dalam menangani kasus Poso
yang berkepanjangan, misalnya, untuk operasi pemulihan keamanan yang
targetnya pelaku teror dan pembantaian dari pihak Kristen, aparat
menggunakan sandi Operasi Cinta Damai. Sedangkan bila hal yang sama
ditujukan kepada komunitas Islam, aparat menggunakan sebutan Operasi
Raid yang bermakna serbu atau basmi, hal ini mengingatkan kita pada
racun pembasmi nyamuk. Ini jelas tidak adil dan sangat provokatif.
Setidaknya menimbulkan kegeraman.

Saya yakin mereka tidak bercita-cita jadi teroris. Mereka manusia
biasa saja. Namun bila ratusan (atau ribuan) saudara seagamanya
dibantai oleh saudara lainnya yang berbeda agama, jelas dan pasti
mereka tentu tidak mungkin berpangku tangan. Ke Afghan yang jauh saja
mereka siap bersabung nyawa. Apalagi hanya ke Ambon dan Poso. Demikian
halnya soal keberanian dalam jihad, saya pastikan bahwa ummat Islam
Indonesia memiliki sangat banyak pemuda muslim yang jauh lebih berani
dan pintar dari Azahari atau Amrozi cs, apalagi kalau hanya sekedar
meletakkan sebuah atau beberapa rangkaian bom di tempat-tempat yang
tidak beresiko. Masalahnya, ummat Islam yang potensinya lebih baik
tersebut masih diberi kesadaran dan akal sehat, dan yang lebih penting
lagi adalah apakah pihak pemerintah punya kemauan politik untuk
menyelesaikan atau tidak?