Selasa, 28 Oktober 2014

Umar Abduh (Mantan Napol Woyla)
BAGI trio terpidana mati kasus Bom Bali I, Amrozi, Ali Ghufron dan
Imam Samudra, dijuluki teroris oleh media massa lokal dan
internasional, atau oleh siapapun juga, tidak membuat mereka marah
atau kecil hati. Mereka yakin, apa yang mereka lakukan adalah jihad.
Sehingga mereka pun yakin Allah akan memberi mereka gelar mujahid.

Bahkan, mereka sama sekali tidak merasa keberatan dengan apapun yang
ditempuh pemerintah di dalam menjalankan hukuman mati atas diri
mereka. Ditembak mati dengan bedil, dipancung, dialiri listrik, atau
cara lainnya, bagi mereka sama saja. Semuanya menuju mati syahid.
Bagaimana kita memposisikan Amrozi, Ali Ghufron dan Imam Samudra :
Mujahid atau Teroris? Yang jelas, mereka juga manusia.

Sebagai manusia, mereka termasuk yang mempunyai ketaatan kepada ajaran
agamanya, mempunyai keseriusan di dalam mendalami ajaran agamanya,
mempunyai keberpihakan kepada umat Islam

Kalau toh akhirnya ada yang menilai mereka mengalami distorsi di dalam
memaknai dan mempraktekkan jihad, itu urusan mereka dengan Allah. Bagi
yang sepaham dengan ‘ijtihad’ mereka, maka Amrozi, Ali Ghufron dan
Imam Samudra adalah Mujahid. Sebaliknya, bagi yang tidak sepaham,
ketiganya dijuluki Teroris.





Amrozi cs adalah alumni Mujahidin Afghan


Alumni Afghan
Dua dari trio terpidana mati Bom Bali I adalah alumni Afghan. Ali
Ghufron alias Mukhlas adalah alumni Afghan angkatan kedua (masuk pada
akhir 1987), satu angkatan dengan Abu Rushdan dan Mustapha alias
Pranata Yudha. Sedangkan Imam Samudra angkatan kesembilan (masuk pada
tahun 1991), seangkatan dengan Ali Imran (adik Ali Ghufran alias
Mukhlas, yang juga terlibat kasus Bom Bali I namun tidak divonis
hukuman mati).

Rombongan pertama dari Indonesia yang berjihad ke Afghan terjadi
sekitar akhir 1984 hingga awal 1985, antara lain diikuti oleh Sa’ad
alias Ahmad Roihan, yang juga terlibat dalam kasus Bom Bali I, bahkan
beberapa kasus peledakan sebelumnya. Abu Dujana menutup rombongan
warga Indonesia berlatih militer untuk berjihad di Afghan. Abu Dujana
sebagaimana Ahmad Roihan juga sudah ditangkap aparat.


US dead: 58,159; 2,000 missing; wounded: 303,635 / South Vietnam dead:
220,357; wounded: 1,170,000 / South Korea dead: 4,407; wounded:
11,000 / Thailand dead: 1,351 / Australia dead: 520; wounded: 2,400* /
New Zealand dead: 37; wounded: 187 / Total dead: 285,831 - Total
wounded: ~1,490,000
Sidney Jones, Direktur International Crisis Group (ICG) Biro Jakarta,
pada salah satu kesempatan pernah mengatakan, kalau saja orang-orang
seperti Imam Samudra tahu bahwa ‘proyek’ Aghan merupakan rancangan
CIA, niscaya mereka tidak akan mau pergi ke Afghan untuk berlatih
militer dan berjihad. Benarkah demikian?

Tidak! Meski mereka tahu CIA berada di belakang ‘proyek’ Afghan, tekad
dan semangat jihad mereka membebaskan Muslim Afghan dari penjajahan
rezim komunis Soviet, dapat mengalahkan realitas itu.

Sebagai superpower AS seharusnya mampu mengirimkan sejumlah pasukannya
untuk mengusir komunisme Soviet dari Afghanistan. Namun kala itu AS
belum pulih dari trauma akibat mengalami kekalahan siginfikan pada
perang Vietnam yang berlangsung sejak 1961 hingga 30 April 1975. AS
kehilangan lebih dari 58.000 prajuritnya dan menghabiskan lebih dari
15 miliar dollar AS.

Presiden AS terpilih, Kennedy, pada tahun 1961 mengirimkan 400 tentara
ke Vietnam. Tahun berikutnya, Kennedy menambah pasukannya di Vietnam
menjadi 11.000 tentara. Di tahun 1968, AS mengirimkan 500 ribu
pasukannya ke Vietnam, belum termasuk berbagai pasukan dari Australia,
Selandia Baru, Korea Selatan, Filipina dan Thailand yang berjumlah
90.000 orang.

Perang Afghan sendiri berlangsung awal 1980-an hingga awal 1990-an. AS
tidak mau mengorbankan prajuritnya sebagaimana terjadi di Vietnam.
Maka, pilihan jatuh kepada pemuda Islam di pelosok dunia yang terkenal
dengan semangat jihadnya, termasuk dari Indonesia. Osama bin Laden
menjadi sosok yang sangat penting, di samping tokoh-tokoh lainnya, di
dalam merekrut dan memfasilitasi pemuda-pemuda Islam yang mau berjihad
ke Afghan.

Membangkitkan Harimau
Sejak 1990 hingga 1995, alumni Afghan asal Indonesia berangsur-angsur
pulang ke tanah air. Sebagian melanjutkan jihadnya ke Moro
(Philipina), menghidupkan Kamp Hudaibiyah hingga akhir 1990-an.

Di Afghan, sebelum berjihad mereka melengkapi diri di Kamp Latihan
dengan berbagai hal, seperti menggunakan senjata, kursus mengenali
berbagai jenis bahan kimia dan meracik bahan peledak (bom), kursus
menggunakan tank tempur, latihan tempur pada berbagai medan perang.
Namun ketika kembali ke tanah air, keterampilan itu sama sekali tidak
digunakan untuk melakukan aksi teror. Karena, mereka sama sekali tidak
bercita-cita menjadi teroris, apalagi di negerinya sendiri.


H. Rachmat Basoeki : Jangan Lupakan Poso

Jangan Lupakan Poso
Akan tetapi sejak tragedi 25 Desember 1998, ketika umat Islam sedang
menjalankan shaum Ramadhan, dan umat Kristiani masih dalam suasana
Natal yang seharusnya damai penuh kasih.

Tiba-tiba kedamaian itu dirobek-robek oleh pemuda kristiani yang dalam
keadaan mabuk memasuki Mesjid kemudian membacok Ridwan.

Inilah kasus Poso pertama, yang mengawali kasus-kasus Poso lainnya.

Sekitar tiga pekan kemudian, 19 Januari 1999 pecah lagi kasus Ambon,
yang diawali dengan aksi pemalakan yang dilakukan pemuda Kristen
terhadap dua pemuda Muslim.

Konflik berlanjut secara meluas dan berdarah-darah. Hingga puncaknya
terjadi pada 24 Desember 1999 hingga 7 Januari 2000, yang dinamakan
kasus Tobelo-Galela, dengan korban terbanyak dari kalangan Muslim. Ada
yang menyebutkan jumlah korban mencapai 3000 jiwa, dan 2800 di
antaranya Muslim.


Baca Buku Rustam Kastor : Konspirasi RMS dan Kristen Menghancurkan
Umat Islam di Ambon

Baca Buku Rustam Kastor : Konspirasi RMS dan Kristen Menghancurkan
Umat Islam di Ambon
Menurut versi Gus Dur, korbannya hanya lima orang. Sedangkan menuruut
versi Max Tamela, Pangdam Pattimura kala itu, korban yang diakuinya
berjumlah 771 jiwa, mayoritas Muslim.

Belakangan diketahui, pada tragedi pembantaian di Tobelo-Galela ini,
ada keterlibatan Sinode GMIH (Gereja Masehi Injil di Halmahera), yang
mengkoordinir pengungsian umat Kristen ke Tobelo berjumlah sekitar
30.000 orang. Pengungsian dilakukan secara bertahap sejak pertengahan
November hingga awal Desember 1999. Bahkan, pada Jumat 24 Desember
1999 dengan alasan pengamanan gereja, diangkut ratusan warga kristen
dari Desa Leloto, Desa Paso dan Desa Tobe ke Tobelo. Mereka datang
mengendarai truk dengan berbagai atribut perang seperti kain ikat
kepala berwarna merah, tombak, parang dan panah.

Mei 2000, pecah lagi kasus Poso ketiga. Ratusan warga pesantren
Walisongo, dibantai oleh Tibo dan kawan-kawan. Belakangan diketahui,
ada keterlibatan Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST)
yang berpusat di Tentena. Juga, sejumlah tokoh (16 orang), sebagaimana
disebutkan Tibo sebelum dieksekusi mati.

Peristiwa-peristiwa itu ibarat membangkitkan harimau yang sedang
istirahat. Maka meledaklah aksi teror yang pertama kali dilakukan para
alumni Afghan, yaitu peledakan Bom di Kediaman Kedubes Philipina. Aksi
peledakan itu terjadi pada tanggal 01 Augst 2000. Alasannya, para
pelaku pemboman menduga Philipina secara ilegal turut mengirimkan
senjata ke Ambon (Maluku) yang kala itu sedang konflik, dan tentu saja
menguntungkan salah satu pihak yaitu kelompok merah (kristen).


Aksi Pamer Kekuatan Laskar Jihad



Kemudian, pada malam Natal 24 Desember 2000, terjadi ledakan di
sejumlah gereja di berbagai kota di Indonesia, seperti di depan Gereja
Katedral (Jakarta Pusat), Gereja Santo Yosef, dan halte bus sekolah
katolik Marsudi Rini di Jalan Matraman Raya (Jakarta Timur), Gereja
Koinonia (di Jatinegara, Jakarta Timur), juga gereja dan sekolah
Kanisius, Jalan Menteng Raya (Jakarta Pusat). Ledakan juga terjadi di
dekat gereja di Medan, Sumatera Utara, Mojokerto Jawa Timur, Mataram
NTB dan Pekanbaru dan Batam Riau, serta Bekasi. Alasannya jelas,
merupakan peringatan keras kepada kalangan Kristen terutama tokoh
rohaniwan, yang sejumlah petinggi gerejanya justru menjadi aktor
intelektual tragedi pembantaian Muslim di Ambon (Maluku) dan Poso.

Februari 2001 terjadi lagi pengusiran dan pembantaian terhadap warga
Madura di Sampit, yang dilakukan oleh Dayak Kristen dan animis.
Tragedi Pemenggalan kepala warga Madura oleh suku Dayak dilakukan
secara demonstratif di siang hari dan di depan kamera teve lokal dan
internasional yang sedang meliput. Dua bulan kemudian, April 2001,
pecah lagi kasus Poso ke-empat.

Meski tidak ada kaitannya dengan kasus Sampit, Ambon dan Poso, yang
jelas pada 11 September 2001, terjadi tragedi WTC 911 di negerinya
Bush. Tudingan teroris yang dilekatkan kepada Islam, mulai
disosialisasikan Bush. Kekhawatiran Bush terhadap aksi terorisme yang
dilekatkan kepada Islam, ibarat senjata makan tuan. Perang melawan
terorisme pun dicanangkan, karena AS (CIA) yang paling tahu kualitas
mujahid alumni Afghan. Ibarat sang guru yang tahu betul kualitas murid-
muridnya.

Setahun kemudian, 12 Oktober 2002, barulah meledak kasus Bom Bali I
yang menewaskan 202 korban jiwa dan 350 orang lainnya mengalami luka-
luka berat dan ringan. Secara keseluruhan, korban tewas pada kasus
Ambon, Poso dan Sampit, terutama dari pihak Islam, jumlahnya puluhan
bahkan ratusan kali jauh lebih besar dibandingkan dengan korban tewas
pada kasus Bom Bali I dan II.

Kurang setahun dari kasus Bom Bali I, terjadi peledakan di depan lobi
Hotel JW Marriott, tanggal 5 Agustus 2003 sekitar pukul 12.40 wib,
menyebabkan 10 orang tewas dan 152 luka-luka. Setahun kemudian,
terjadi Bom Kuningan (9 September 2004), di depan Kedubes Australia
jalan HR Rasuna Said, Jakarta. Setahun kemudian, terjadi Bom Bali II
(01 Oktober 2005). Sekitar sebulan kemudian, Doktor Azhari yang selama
ini menjadi hantu teroris berhasil ditembak mati, di kawasan Batu,
Malang, pada 09 November 2005.


Adult Material
The Picture Tell Everything

Beberapa foto korban Konflik di Poso, Sampit, Sanggau Ledo, Tobelo
(Ambon)

Objektif dan Adil
Pasca tertembaknya Azahari, kasus peledakan betul-betul terhenti,
sampai saat ini. Namun, potensi teror tetap ada, bila merujuk pada
adanya penangkapan di Palembang (01 Juli 2008) dan Kelapa Gading (21
Oktober 2008), yang menjadikan target peledakannya Depo Pertamina
Plumpang, Jakarta Utara.

Meski Azahari sudah ditembak mati, dan tiga ratusan anggota jaringan
teroris sudah ditangkap, termasuk tokoh-tokoh penting seperti Abu
Dujana, para pengamat pun menyatakan prediksinya tentang potensi
destruktif dari gerakan terorisme Jama’ah Islamiyah tinggal sepuluh
persen saja namun potensi teror dinyatakan tetap ada, bahkan pihak
kepala Polri yang baru menyebutkan terorisme kini justru ada di mana-
mana. Dengan alasan, Noordin M Top yang selama ini dinilai ahli
melakukan rekrutmen, dinyatakan belum tertangkap. Artinya, meski
Amrozi cs ditembak mati sekalipun, potensi teror masih tetap tinggi.

Lantas, bagaimana mengeliminasi potensi teror sebagaimana terjadi
selama ini? Semua pihak seyogyanya, terutama pemerintah harus bersikap
objektif dan berlaku adil lihat akar masalahnya. Ini resepnya. Akar
masalahnya, pertama, ada pembantaian yang dilakukan umat Kristiani
terhadap umat Islam baik di Ambon (Maluku) maupun di Poso. Ini bukan
konflik horizontal biasa. Fakta ini diabaikan, bahkan dipaksakan
menjadi konflik horizontal biasa, yang dimulai dari adanya pertikaian
antara preman dari kedua belah pihak. Padahal, faktanya tidaklah
demikian.


Kamis, 25 Jan 2007, Ust. Ahmad didampingi beberapa tokoh Forum Umat
Islam, termasuk Ust. Abu Bakar Ba’asyir dari MMI dan Habib Rizieq dari
FPI, mendatangi Komnas HAM untuk menyampaikan fakta Rekaman Video Yang
Menjijikkan
Yang terjadi sesungguhnya adalah ummat non Muslim (Kristen-Katholik)
sebagai pihak yang memulai pertikaian ini, yang diyakini ada
keterlibatan gereja serta tokoh-tokoh masyarakat Kristen-Katholik di
sana sebagai perancang aksi (aktor intelektual). Mereka memulai
penyerangan dan pembunuhan, sedangkan ummat Islam hanya melakukan
reaksi balik, sekaligus dalam rangka mempertahankan diri. Bantuan yang
datang dari luar titik konflik, karena ummat Islam menyadari posisi
aparat baik pusat maupun daerah meberi porsi berat sebelah, sama
sekali tidak melindungi masyarakat muslimnya.

Akar masalah kedua, sikap arogan dan tidak loyal kalangan Kristen-
Katholik (dan kemudian Hindu). Sikap arogan ini terjadi terutama di
daerah-daerah tertentu yang masyoritas penduduknya non-Muslim.
Pengusiran hingga pembantaian (muslim cleansing) terjadi di beberapa
daerah-daerah ini. Sedangkan di daerah-daerah yang masyoritas
penduduknya Muslim, umat Kristen-Katholik dan Hindu tidak pernah ada
pengusiran apalagi pembantaian. Dari daerah-daerah ini pula ancaman
dan gertakan memisahkan diri dari NKRI sering dikumandangkan. Ini
menunjukkan bahwa non-Muslim (kecuali umat Budha) secara konsisten
menebar benih dan memang tidak loyal kepada NKRI.

Seharusnya, pemerintah dan aparat keamanan mendorong tokoh Kristen-
Katholik berjiwa besar, dengan mengakui kekeliruan sebagian ummatnya
maupun tokoh gereja, yang secara sengaja menjadi aktor intelektual
dalam pembunuhan umamt Islam. Permintaan maaf tersebut dilakukan
secara terbuka, sehingga terbaca oleh alumni Afghan, insya Allah hal
tersebut dapat menyejukkan hati mereka.

Selain itu, aparat juga harus berlaku adil. Dalam menangani kasus Poso
yang berkepanjangan, misalnya, untuk operasi pemulihan keamanan yang
targetnya pelaku teror dan pembantaian dari pihak Kristen, aparat
menggunakan sandi Operasi Cinta Damai. Sedangkan bila hal yang sama
ditujukan kepada komunitas Islam, aparat menggunakan sebutan Operasi
Raid yang bermakna serbu atau basmi, hal ini mengingatkan kita pada
racun pembasmi nyamuk. Ini jelas tidak adil dan sangat provokatif.
Setidaknya menimbulkan kegeraman.

Saya yakin mereka tidak bercita-cita jadi teroris. Mereka manusia
biasa saja. Namun bila ratusan (atau ribuan) saudara seagamanya
dibantai oleh saudara lainnya yang berbeda agama, jelas dan pasti
mereka tentu tidak mungkin berpangku tangan. Ke Afghan yang jauh saja
mereka siap bersabung nyawa. Apalagi hanya ke Ambon dan Poso. Demikian
halnya soal keberanian dalam jihad, saya pastikan bahwa ummat Islam
Indonesia memiliki sangat banyak pemuda muslim yang jauh lebih berani
dan pintar dari Azahari atau Amrozi cs, apalagi kalau hanya sekedar
meletakkan sebuah atau beberapa rangkaian bom di tempat-tempat yang
tidak beresiko. Masalahnya, ummat Islam yang potensinya lebih baik
tersebut masih diberi kesadaran dan akal sehat, dan yang lebih penting
lagi adalah apakah pihak pemerintah punya kemauan politik untuk
menyelesaikan atau tidak?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar