Selasa, 28 Oktober 2014

muslim philipina

FILIPINA terus bergolak. Kali ini beberapa gerilyawan muslim Moro terkesan “lelah”.  Peta kekuatan umat muslim Moro sama sekali belum pudar di Filipina. Dukungan negara tetangga yang penduduknya mayoritas Islam sangat dibutuhkan.


Islam masuk Filipina pada Abad XIII-XV M seiring dengan arus penyebarannya ke pedalaman Asia. Peneterasi Islam di kawasan Asia berbeda dengan penyebaran Islam di daerah lainnya. Islam masuk ke Asia dibawa oleh para pedagang dan kaum sufi. Sedangkan di daerah-daerah lain—terutama di kawasan Arab dan Turki—Islam masuk dengan cara penaklukan.
Islam dikenal luas di Kepulauan Sulu dan Mindanao. Namun walau memeluk Islam secara damai, sejarah menyimpan catatan yang panjang dan berliku akan perjuangan muslim Filipina. Penduduk Sulu-Mindanao konon mengalami perjuangan fisik yang lama melawan kekuatan asing. Ratusan tahun, muslim Moro berkonfrontasi melawan Spanyol.
Jauh sebelum itu, muslim Moro menguasai kerajaan yang kawasan kekuasaannya meliputi Asia Tenggara. Kerajaan ini sendiri diperoleh dengan menaklukkan Raja Sulaiman di Manila. Spanyol sendiri akhirnya terusir dari bumi Filipina pada tahun 1898 oleh Amerika. Selama kurun waktu 320 tahun muslim Moro tak henti melakukan perlawanan pada Negeri Matador itu.
Spanyol menyimpan dendam berkepanjangan terhadap muslim Moro. Pasalnya, muslim Moro melakukan aliansi dengan kerajaan Eropa lain. Ini menjadikan bisnis Spanyol dalam perdagangan rempah-rempah menjadi seret. Selain itu, penyebaran kristen (katolik) di Filipina otomatis menjadi macet.
Namun ironisnya, setelah berhasil mengusir Spanyol, muslim Moro justru masuk ke sarang buaya. Mereka takluk ke tangan AS pada tahun 1898. AS menggunakan cara yang licik. Kepercayaan umat muslim Moro disitir sedemikian rupa dan kemudian menjadikan mereka sebagai bagian dari Filipina yang kemudian “dimerdekakan” tahun 1946. Pengkhianatan AS ini menjadikan bangsa Moro tidak pernah sudi mengakui dirinya sebagai Filipinos—orang Filipina. Dengan hanya jumlah 5% dari rakyat Filipina, muslim Moro terus berjuang untuk identitas pribadi. Mereka memilih menjadi kaum separatis.
Perjuangan muslim Moro yang mau tidak mau berada di bawah kekuasaan Manila menjadi sangat berat. Bertahun-tahun, mereka mendapatkan perlakukan yang diskriminatif. Tahun 1948, hanya 20 persen muslim Moro yang mempunyai pekerjaan—itupun lebih sebagai petani atau pelayan. Sementara kecurigaan dan ketakutan pemerintah Filipina terhadap muslim Moro semakin menjadi-jadi. Mereka akhirnya melakukan migrasi umat kristen ke negara bermata uang Peso itu. Dan dampaknya, muslim Moro kehilangan tanah milik mereka. Populasi muslim Moro semakin mengerucut sedangkan jumlah non-Moro semakin membengkak saja.
Namun kondisi yang masih berlanjut hingga sekarang itu tidak semata-mata terjadi begitu saja. Tahun 1946, sejumlah politisi muslim Moro menyetujui kebijakan pemerintah, termasuk juga migrasi orang-orang Kristen ke kawasan selatan Filipina yang merupakan basis umat Islam Filipina. Tapi justru dengan semakin membanjirnya orang kristen di bagian selatan inilah yang kemudian memicu perlawanan muslim Moro, terutama dari kalangan bawah. Massa pun kemudian banyak yang memberikan dukungannya pada gerakan perlawanan muslim Moro.
Tahun 1947, perjuangan muslim Moro berubah menjadi gerakan bersenjata. Ini karena pemerintah setempat bertindak semakin keras.  Tahun 1948, terjadi pembantaian muslim Moro dalam jumlah besar. Muslim Moro saat itu sangat minim pengalaman. Mereka benar-benar mati kutu. Untuk menghadapi tindakan represif pemerintah Manila itu, tahun 1969, sejumlah pemuda muslim Moro dilatih perang gerilya di Malaysia. [sa/islampos/saksi]





KETIKA Ferdinand Marcos naik tahta tahun 1972, muslim Moro diklaim sebagai kelompok pemberontak bersenjata. Tahun inilah kemudian perjuangan muslim Moro mulai melakukan manajemen. Sebuah organisasi—MNLF (Moro National Liberation Front)—didirikan. Nur Misuari terpilih sebagai ketuanya. Misuari adalah muslim asli sulu dan ia adalah mahasiswa Universitas Filipina. MNLF mencanangkan syariat Islam harus tegak di Manila. Karena hanya dengan itulah umat muslim di negara itu bisa mendapat perlakukan yang adil.

Selama bertahun-tahun, kawasan selatan Filipina kemudian menjadi ajang kecamuk peperangan. Namun kemudian MNLF terecah. Rashid Lukman—seorang sultan di Lanao—bekerja sama dengan Salipada Pendatum. Mereka mendeklarasikan  BMLO (Bangsa Moro Liberation Organization).
Tahun 1976, terjadi perubahan metode gerakan para pejuang Moro. Pasalnya, OKI (Organisasi Konferensi Islam) menawarkan ‘Kawasan Otonomi Muslim’. Dalam perjanjian yang dilaksanakan di Tripoli, muslim Moro mendapatkan 14  provinsi meliputi Basilan, Sulu, Tawi-Tawi, Zamboanga del Sur, Zamboanga del Norte, North Cotabago, Maguindanao, Sultan Kudarat, Lanao Norte, Lanao Sur, Davao Sur, South Cotabato, Palawan, serta semua kota dan desa yang berada di wilayah tersebut. Namun Marcos tidak pernah melaksanakan perjanjian itu. Ketika Marcos jatuh tahun 1985, msulim Moro terjun ke dunia politik secara total. Demonstrasi dan petisi gencar dilaksanakan. Partai politik pun berdiri di negara itu.
Perjuangan muslim Moro sedikit berkurang ketika pengganti Marcos, Corazon Aquino mulai melakukan pendekatan sebagai kampanye rekonsialiasi nasionalnya. Melalui referendum 1989, Aquino merealisasikan apa yang disebut dengan kawasan otonomi di atas. 2 September 1996, terbentuklah Pemerintah Otonomi Mindanao.
Namun di balik kebaikan Aquino itu bukannya tidak menyimpan “bom waktu”. Orang-orang nonmuslim di kawasan selatan Filipina yang dijadikan kawasan otonomi tersebut tidak menyetujui konsep otonomi ini. Bahkan separuh dari tentara Filipina terang-terangan menolak keinginan kaum muslim Moro. Tahun 2001, “bom waktu” yang disiapkan oleh Aquino meledak. 21 turis ditangkap dan disandera oleh kelompok Abu Sayyaf. Abu Sayyaf sesungguhnya kecewa berat terhadap keputusan Nur Misuary tentang kawasan otonomi. Abu Sayyyaf menginginkan terbentuknya negara Islam di Filipina.
Kelompok Abu Sayyaf terhitung profesional. Gerakan militer ini berbasis di Kepulauan Sulu dan didirikan oleh Abduragak Abubakar Janjalani. Janjani sendiri kemudian terbunuh tahun 1998 oleh pihak pemerintahan Filipina. Abu Sayyaf kemudian ditangani oleh saudara kandungnya, Khadafy Janjalani. Khadafy inilah yang melakukan aksi penculikan 21 turis yang tentu saja kemudian mencoreng-moreng muka Filipina di mata dunia internasional.
Gloria Arroyo, seorang presiden wanita Filipina pernah mengerahkan kekuatan militernya all-out untuk memberantas Abu Sayyaf.  Sialnya, negara-negara tetangga Filipina juga seolah menutup mata terhadap hal ini. Padahal Malaysia, Brunei, dan Indonesia mempunyai warga muslim yang tidak sedikit. Muslim Filipina yang berjumlah 6 juta orang dari keseluruhan 80 juta rakyat Filipina memang menghadapi perjuangan yang sangat berat.  [sa/islampos/saksi]


 
AS selalu berada dibalik mereka yang memerangi Islam. Terbukti Amerika Serikat memberi Filipina enam kapal patroli militer pada Rabu untuk digunakan di wilayah selatan, tempat kelompok Moro bergiat, kata militer.
Seperti yang dilansir Republika online (25/9), panglima Angkatan Laut Filipina Laksamana Madya Jose Alano dalam pernyataan yang dikutip AFP, Rabu (9/25), mengatakan kapal kecil itu (SURC) adalah bagian dari program AS melatih dan melengkapi pasukan asing untuk tujuan yang mereka klaim sebagai “kontra-terorisme”.
Dalam tiga pekan belakangan ini, ribuan anggota pasukan elit telah berperang menghadapi gerilyawan Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF) yang menduduki beberapa desa pesisir di kota pelabuhan penting Zamboanga, pulau Mindanao.
Hubungan AS-Filipina juga akan semakin mesra dengan kunjungan Obama ke negeri itu Oktober mendatang. “Presiden Obama akan bertemu dengan Presiden Aquino untuk membahas berbagai jalan guna memperkuat aliansi Filipina-AS, termasuk mengekspansi hubungan keamanan, ekonomi dan antar warga,” ujar juru bicara Presiden Benigno Aquino, Edwin Lacierda, dalam sebuah pernyataan.
Wahai kaum Muslim, Ketika penguasa Kufar AS-Filipina bahu-membahu memerangi Islam, siapakah yang akan menjadi pelindung bagi Muslim Moro yang minoritas di Filipina Selatan?
Penindasan minoritas Muslim Moro telah mengorbankan lebih dari 120 ribu nyawa Muslim selama 40 tahun terakhir. Kepada siapakah mereka harus berlindung?
وَٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ ۚ إِلَّا تَفْعَلُوهُ تَكُن فِتْنَةٌۭ فِى ٱلْأَرْضِ وَفَسَادٌۭ كَبِيرٌۭ
“Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” QS. al-Anfal (8) : 73(sumber : Far-Eastern Women’s Voices for the Khilafah)

Jihad Bangsa Moro Melawan Pemerintah Filipina



Moro 4AntiLiberalNews - Cahaya Islam memasuki tanah air Bangsa Moro pada tahun 1310 M (sekitar 710 H) melalui para pedagang Arab, perantau, pengembara Sufi, dan para dai. Institusi-institusi politik dan pengaruh islami berasal dari Sumatera melalui kedatangan Raja Baginda Ali dengan menteri dan prajuritnya. Islam berkembang pesat sehingga berdirilah negara muslim Sulu dan Maguindanao pada tahun 1830. Sultan pertama dari Kesultanan Sulu ialah Sayyid Abu Bakar. Kesultanan ini merupakan sebuah negara yang merdeka dan berdaulat, yang memiliki hubungan diplomatik dan perdagangan dengan negara-negara lain di wilayah tersebut. Sedangkan Syarif Muhammad Kabungsuan, seorang Arab Melayu dari Malaysia, mendirikan Kesultanan Maguindanao yang berada di pulau kedua yang terbesar dan terkaya di Filipina.
Ketika dua kesultanan Muslim di selatan berkembang dengan cepat dan semakin kuat dan menjadi bangsa yang merdeka, kabupaten-kabupaten muslim lain lahir dan kemudian dikenal sebagai emirat (keamiran) seperti Emirat Raja Sulaiman (Manila ) dan Emirat Panay. Dapat dikatakan pula bahwa negara-negara Islam dan emirat muslim merdeka berdiri 600-an tahun yang lalu, jauh sebelum Barat (Spanyol) menemukan Filipina. Kesultanan Sulu dan Maguindanao eksis secara de facto sampai tahun 1933 dan terus eksis secara seremonial saja dari tahun 1935 hingga 1946.
Fakta-fakta penting tentang tanah air Bangsa Moro yang tidak bisa diabaikan oleh para sarjana dan ahli sejarah modern yang meneliti akar permasalahan Bangsa Moro adalah sebagai berikut :
1. Institusi politik pertama yang berdiri di tanah air Bangsa Moro bersifat islami.
2. Agama samawi pertama yang sampai di wilayah tersebut adalah Islam.
3. Sistem pendidikan pertama di pulau itu adalah pendidikan Islam dengan naskah pertama kali yang dikenalkan adalah berbahasa Arab.
4. Peradaban pertama yang diperkenalkan di Filipina adalah peradaban Islam.
Invasi Spanyol sekitar 160 tahun setelah eksistensi kesultanan dan kabupaten-kabupaten Islam menandai permulaan pengawasan Spanyol dan hambatan terhadap perkembangan Islam di kepulauan bagian utara (Luzon dan Visayas). Selanjutnya Bangsa Moro dari Mindanao dan Sulu berjuang melawan kolonialisme Barat atas nama Islam selama 377 tahun (1521-1898).
Hispanisasi dan kristenisasi yang dilakukan oleh orang-orang Filipina Baru (muda) menjadi landasan kuat bagi kampanye antimuslim—baik secara militer maupun lainnya—setelah Perjanjian Paris 10 Desember 1898 yang menyerahkan Filipina kepada Amerika Serikat dengan kompensasi 20 juta dolar AS. Agresi AS pada tahun 1899 dihadapi dengan ketahanan kaum muslimin di selatan yang bertekad untuk bertempur sampai titik darah penghabisan. Dengan keyakinan bahwa Spanyol tidak pernah punya hak untuk menjual tanah air mereka dan tidak mau menerima aturan Amerika, kaum muslimin memberikan perlawanan berdarah yang berlangsung selama 47 tahun (1899-1946).
Amerika membalas secara taktis dengan menawarkan sebuah gencatan senjata yang menghasilkan Bates Treaty, The Carpenter Agreement, dan seterusnya. Ini merupakan manuver politis dan sosial ekonomi yang membuat Amerika mampu untuk menaklukkan Bangsa Moro.
JANJALANI SABAYA SAJIRONAneksasi (perebutan) Filipina terhadap Kesultanan Islam Bangsa Moro
Di samping memperlakukan Kesultanan Sulu dan Maguindanao sebagai wilayah protektorat, Amerika Serikat mendirikan pemerintahan Persemakmuran Filipina pada tahun 1935. Pemerintahan semacam ini berfungsi sebagai transisi ke arah kemerdekaan penuh yang akan dihadiahkan segera kepada Filipina. Sebenarnya pada situasi semacam ini sekalipun tanah air Bangsa Moro tidak pernah dimasukkan oleh Amerika ke dalam wilayah administrasi Filipina.
Dengan memanfaatkan pemerintahan transisi dan ketidakpedulian politis masyarakat awal Bangsa Moro, para pemimpin politik Kristen Filipina melakukan manuver dan berusaha menganeksasi Tanah Air Bangsa Moro yang terdiri dari Kepulauan Mindanao, Basilan, Sulu, Tawi-Tawi, dan Palawan.
Di samping memberikan kemerdekaan pada Filipina pada tanggal 4 Juli 1946 AS juga menganeksasi Tanah Air Bangsa Moro ke dalam negara Filipina Merdeka. Tindakan pemerintah AS ini berlawanan dengan kemauan masyarakat Bangsa Moro.
Ketika orang-orang Kristen Filipina dari Luzon, Visayas, dan daerah-daerah lain di kepulauan bagian utara dengan gembira ria merayakan apa yang mereka anggap sebagai awal dari kebebasan dan kelahiran bangsa baru, masyarakat Bangsa Moro bersedih karena mereka menganggap itu sebagai akhir dari kebebasan, kemerdekaan, dan kedaulatan selama ratusan tahun. Namun Bangsa Moro tidak bisa bereaksi secara cepat karena mereka berperang melawan Spanyol selama 377 tahun dan 47 tahun melawan Amerika. Hal itu memperlemah mereka bahkan lebih dari itu membawa mereka kepada kemiskinan, kebodohan, dan kesehatan yang buruk.
Bangsa Moro seolah menjadi orang sakit yang tidak mempunyai obat untuk menyembuhkan dirinya sendiri serta tidak cukup makanan dan ketika alam menyembuhkannya dia mendapati dirinya diperbudak oleh orang yang lebih kuat dan sehat. Karena itu, ketika Bangsa Moro masih dalam taraf penyembuhan dari kerusakan-kerusakan parah akibat peperangan, pemerintah Filipina memanfaatkan kelemahan Bangsa Moro untuk merintis jalan penegakan pendudukan orang-orang Kristen di Tanah Air Bangsa Moro.
Penting dicatat bahwa selama masa Pra-Spanyol tidak diketahui ada seorang Kristen pun di tanah air Bangsa Moro. Orang-orang Kristen yang tinggal di negeri itu adalah budak-budak Spanyol atau buruh-buruh Amerika yang memilih untuk tinggal di tanah air Bangsa Moro untuk menikmati kebebasan daripada pulang ke negeri asal di bagian utara dan tetap menjadi budak dan pekerja..
Langkah-langkah yang diambil orang-orang Kristen Filipina untuk menaklukkan dan menggagalkan aspirasi Bangsa Moro selama rezim sipil mengindikasikan pengaruh yang semakin kuat dari teori bahwa kristenisasi atau filipinisasi merupakan satu-satunya jalan untuk menghentikan perlawanan kaum Muslimin. Kali ini masa depan Bangsa Moro sebagai Muslim terancam.
Sebuah hukum Filipina diberlakukan untuk mendorong pendudukan orang-orang Kristen dari selatan dengan membuka lahan-lahan besar dari tanah-tanah Bangsa Moro kepada para penghuni Kristen dengan bantuan pemerintah secara langsung dan material-material.
Pada tahun 1946 dasar hukum yang lebih kuat diberlakukan yang memberi orang-orang Kristen Filipina pengaruh dan kekuatan lebih di wilayah-wilayah kaum Muslimin yang menimbulkan migrasi besar-besaran orang-orang Kristen dari tahun 1950-1970 untuk merebut tanah leluhur Bangsa Moro Muslim. Penduduk Kristen ini berkembang secara cepat sehingga melebihi penduduk asli Bangsa Moro dan pemilik sah dari tanah-tanah tersebut pada tahun 70-an di berbagai area di Mindanao. Bersamaan dengan meningkatnya jumlah orang-orang Kristen, gangguan terhadap Bangsa Moro Muslim juga meningkat. Tujuan utamanya adalah untuk meraih kekuasaan politik.
MILF PrayGerakan Ilaga dan Teror Orang-Orang Kristen
Pada tahun 1970 para penduduk Kristen di Tanah Air Moro mengorganisir dan mendirikan sebuah organisasi bersenjata yang dinamai ILAGA yang para pemimpin serta perintisnya adalah personil militer Kristen yang aktif, perwira purnawirawan angkatan darat Kristen dan para politisi Kristen.
Organisasi teroris ini digerakkan dengan persetujuan pemerintah Manila. Operasinya dimulai dengan membunuh individu muslim dilanjutkan dengan pembantaian keluarga-keluarga muslim. Bersamaan dengan meningkatnya semangat permusuhan, orang-orang kristen fanatik mulai menyerang desa-desa muslim, membunuh wanita-wanita muslimah, anak-anak, dan orang-orang lanjut usia. Para teroris itu membakar rumah-rumah, masjid-masjid, madrasah-madrasah, buku-buku Islam termasuk setiap kopian Al-Qur’an. Mereka menghancurkan ladang-ladang pertanian Bangsa Moro, kebun buah-buahan, ladang-ladang dan hampir segala hal yang dimiliki orang Muslim.
Otoritas pemerintah Filipina tetap tuli terhadap keluhan-keluhan kaum Muslimin dan tidak menghiraukan seruan kaum muslimin untuk menciptakan kedamaian. Kedamaian dan keteraturan telah menjadi agak genting. Darah orang Islam yang tak bersalah berceceran di berbagai sudut tanah air Bangsa Moro.
Ketika peristiwa-peristiwa tersebut berkembang sehingga meningkatkan ketegangan, kaum Muslimin tidak punya pilihan lain lagi kecuali balas memerangi dan mempertahankan diri. Dalam perkembangan pergerakan Moro di tanah airnya, kaum muslimin menyaksikan munculnya sebuah pergerakan revolusioner baru yang berbeda dalam hal sifat dan pendekatan dari pergerakan Moro pada era yang lalu. Elemen baru tersebut adalah para pemimpin Moro muda yang merupakan keturunan dari kaum Muslimin yang gagah berani melawan Spanyol dan Amerika selama lebih dari 400 tahun.
Dengan persenjataan yang kurang, para pembela kaum muslimin menunjukkan superioritas mereka dalam perang. Ketika milisi teroris Kristen tidak mampu menghadapinya, oknum-oknum dari Angkatan Darat Filipina turut campur dan membantu ILAGA. Pada tahun 1972 Martial Law (Hukum Perang) diumumkan untuk menerobos pertahanan kaum Muslimin.
Moro MuslimahJihad Bangsa Moro Melawan Pemerintah Filipina
Bangsa Moro Muslim menderita berbagai macam tekanan dan ketidakadilan di bawah pemerintahan Filipina. Pemerintah Filipina mendiskriminasi mereka sebagai warga negara kelas dua, bahkan berlanjut mencapai titik terendah dengan memperlakukan mereka secara tidak manusiawi. Pembunuhan Wanton terhadap kaum Muslimin dimulai pada tahun 1972 dan puncaknya deklarasi Martial Law (Hukum Perang) pada tanggal 21 September tahun itu juga.
Selama rezim Martial Law, Angkatan Bersenjata Filipina melancarkan serangan udara, laut dan darat besar-besaran terhadap desa-desa atau masyarakat Muslim di Mindanao, Basilam, Sulu, Palawan dan Tawi-Tawi. Konon, sebagian pengamat mengatakan serangan tersebut melebihi serangan yang dilakukan oleh Jepang ke Pearl Harbour dan bagian-bagian lain di Pasifik selama Perang Dunia II.
Pada tahap awal perang, Mujahidin Moro mampu untuk menahan agresi musuh dan menghentikan gerak maju kekuatan militer Filipina yang berjumlah sekitar seratus ribu personil yang menguasai udara dan laut secara penuh. Mujahidin mampu untuk mempertahankan beberapa wilayah sebelum mundur ke hutan karena kekurangan amunisi. Kali ini perang gerilya terus dilakukan tanpa henti, sehingga memaksa Pemerintah Filipina meminta gencatan senjata sehingga diambil solusi damai terhadap problem Bangsa Moro. Dengan demikian masuklah Perjanjian Tripoli pada tahun 1976.
Meskipun demikian, serangan terhadap masyarakat muslim yang dilakukan oleh militer dan milisi Filipina terus berlangsung, guna menumpas kekuatan perjuangan Bangsa Moro. Bangsa Moro pun balas menyerang meski daya tahan hidup mereka dalam keadaan darurat. Hingga berlanjut ke meja perundingan atas mediasi OKI.
Tiba-tiba sejarah berbalik terhadap rezim diktator Ferdinand Marcos. Revolusi EDSA pada tanggal 24 Februari 1986 telah menggulingkan Marcos, dan mengantarkan Corazon Aquino, janda musuh bebuyutan Marcos, Benigno Aquino Jr. ke kursi kepresidenan. Di bawah rezim Aquino, mujahidin Bangsa Moro dijanjikan gencatan senjata yang lain, kali ini dengan MILF (Moro Islamic Liberation Front) untuk merintis jalan menuju perdamaian, pembangunan dan kemajuan di tanah air.
Sayangnya, kesepakatan tersebut gagal mencapai sasarannya karena Presiden Aquino menyelisihi perjanjian dengan MILF. Sehingga pertempuran antara mujahidin MILF dan elemen-elemen Angkatan Bersenjata Filipina dan milisi-milisi fanatiknya berlanjut secara sporadis diberbagai wilayah dari Davao Oriental di Timur ke Surigao Del Norte di utara dan Tawi-Tawi di barat daya.
Sebagai upaya untuk mengakhiri aspirasi kaum Muslimin untuk mendirikan negara Islam, pemerintah Aquino membuat dan mengumumkan Republic Act No. 6734, sebuah undang-undang untuk mendirikan wilayah otonomi dalam Mindanao Muslim (ARMM) di tanah air yang terdiri dari Sulu, Tawi-Tawi Lanao Del Sur dan Maguindanao. Bagi penduduk Moro ini merupakan aturan yang dibuat untuk memisahkan kaum muslimin di wilayah-wilayah yang disebutkan di atas dengan saudara-saudaranya yang lain di tanah air yang sama, dalam rangka melemahkan kekuatan Bangsa Moro.
Agar tetap bertahan, Bangsa Moro tidak punya pilihan kecuali menolak seluruh undang-undang yang bertentangan dengan eksistensi mereka. Berbekal segala keterampilan untuk membela diri, mereka harus berjihad di jalan Allah dan membayar harga kemerdekaan dari tekanan dan penjajahan dengan darah dan jiwa mereka.
Dengan peran utama yang dimainkan oleh BIAF (Angkatan Perang Islam Bangsa Moro), masyarakat bertempur dengan hebat untuk mempertahankan tanah air. Ujian pun semakin berat setelah kini Angkatan Bersenjata Filipina dibantu militer AS di bawah kampanye global perang melawan terorisme.
Sumber: Majalah Islam An-Najah/ An-Najah.Net
Red: Randy


Tidak ada komentar:

Posting Komentar