Berbagai Fakta tentang Jokowi Selama Menjadi Walikota Solo
July 3, 2012
Selama satu periode lebih sedikit, menjabat Walikota Solo Jokowi seperti sosok yang istimewa di mata media. Tapi kenyataan yang terjadi di lapangan seharusnya membukakan mata bagi siapa saja yang selama ini mendewa-dewakan Jokowi.
Berikut berbagai fakta di Solo berkaitan dengan Jokowi:
1. Jokowi, PKL dan konspirasi para preman dibawah FX Hady Rudiatmo
Pada tahun kedua menjadi walikota, Jokowi sudah mulai menyita perhatian media karena dianggap sukses menangani permasalahan PKL di Solo yang selama puluhan tahun memusingkan pemerntah daerah. Drama pemindahan PKL dari kawasan monumen Banjarsari (Monjari) yang berdekatan dengan rumah pngusaha Lukminto, disebut-sebut menjadi kunci suksesnya menangani PKL secara keseluruhan di kota Solo.
Proses penanganan PKL ini, jadi menarik karena berjalan secara damai tanpa melibatkan aparat keamanan, satpol PP maupun kepolisian. Bahkan PKL yang jumlahnya ribuan menjalani ritual boyongan dengan sukarela ketika menempati areal relokasi ke pasar baru yang kini dikenal dengan Notoharjo.
“Kesukesan” mengelola PKL tersebut menjadikan Jokowi kemudian dikenal sebagai Walikota kaki lima karena keberpihakannya kepada pedagang kaki lima. Ia sering diundang ke berbagai kota untuk menceritakan pengalamannya. Tak hanya di dalam negeri tapi juga keluar negeri. Bahkan tahun ini, Solo bakal menjadi tuan rumah untuk acara konferensi international khusus untuk penanganan pedagang kaki lima.
Belakangan mulai muncul suara-suara sumbang berkaitan dengan proses relokasi PKL ke pasar Notoharjo. Keberhasilan tersebut ternyata merupakan hasil skenario yang sudah dirancang secara matang. Ada yang menyebut kesuksesan ini hasil persekongkolan antara preman dan penguasa.
Sebagaimana diketahui, dalam berbagai kesempatan, Jokowi selalu menjelaskan bahwa proses pemindahan tersebut merupakan hasil dari loby yang cukup panjang dengan cara nguwongke komunikasi dari hati ke hati. Ia berkali-kali mengundang tokoh pentholan di kalangan PKL untuk diajak makan malam di Loji Gandrung, rumah dinasnya sebagai walikota. Dalam setiap kali makan bersama, Jokowi mengaku tidak pernah bicara tentang penataan PKL karena katanya pasti akan menimbulkan perlawanan. Baru setelah puluhan kali makan bersama dan terjalin komunikasi yang baik, Jokowi mulai memunculkan rencana relokasi PKL tersebut. Dan konon semua langsung sepakat dengan apa yang dikatakannya. Ia menyebut sebagai buah dari diplomasi meja makan.
Jokowi boleh mengklaim ada diplomasi meja makan dibalik kesuksesannya merelokasi PKL ke Pasar Notoharjo. Tapi ada sebuah sumber yang menyatakan bahwa keberhasilan itu tidak lepas dari skenario besar yang dirancang wawalinya, FX Hady Rudiyatmo. Wawali yang akrab disapa Rudy ini sebenarnya menjadi penguasa riil di Solo. Sedangkan sang walikota, Jokowi hanya seperti boneka yang digerakkan Rudy.
Sekedar diketahui saja, selama ini Rudy adalah tokoh yang memiliki massa hingga ke akar rumput. Massa yang dikuasainya berasal dari berbagai latar belakang, mulai dari pedagang kaki lima, tukang parkir, hingga preman jalanan maupun yang berdasi. Sebagai penguasa di dunia hitam, ada yang bilang Rudy bisa membuat merah hijaunya Solo. Ia sebenarnya juga punya peluang menjadi walikota, namun karena statusnya yang non muslim menjadi pengganjal bagi Rudi. Dan ia pun sadar diri.
Kalau melihat dana yang digelontorkan dari APBD untuk relokasi PKL ke Pasar Notoharjo sebenarnya terlihat jelas ada kejanggalan. Jumlahnya memang sangat fantastis, mencapai hampir ratusan milyar. Maklum semua semua proses ditanggung Pemda. PKL dibebaskan dari semua biaya alias gratis. Selain dapat tempat, juga dapat modal kerja, bahkan uang makan selama sebelum dagangannya laku.
Besarnya anggaran ini sempat menggelitik anggota dewan di Solo. Untuk membiayai PKL yang jumlahnya ribuan, mengalahkan anggaran operasional kelurahan. Padahal berdasarkan survai, sekitar 20 % PKL Notoharjo bukan orang asli Solo. “Anggaran PKL Notoharjo banyak yang salah sasaran karena yang menikmati bukan orang Solo,” kata M Rodhi, anggota dewan dari PKS.
Selain salah sasaran, ada yang terang-terangan mengatakan bahwa yang menikmati anggaran PKL Notoharjo tersebut hanya kelompok masyarkaat tertentu yang selama ini dikelola Rudy. Tepatnya mereka yang bernaung dibawah partai pimpinan wawali ini. “Ini salah satu cara mereka mendapatkan uang,” kata salah satu sumber di DPRD Solo.
Terlepas dari itu, semua Jokowi sudah telanjur dicitrakan sebagai walikota yang sukses mengelola PKL dengan cara-cara yang manusiawi. Tapi apakah, dia juga sukses menangani sampah secara umum di kota Solo? Ternyata tidak.
Saat ini, PKL masih menjadi persoalan serius di kota Solo. Status Jokowi sebagai walikota kalilima memang menjadi dilema. Ia tidak tegas terhadap PKL. Ini terlihat dari makin banyaknya PKL yang sepertinya didiamkan saja berjualan di kawasan yang seharusnya steril dari keberadaan mereka.
Bukan hanya muncul PKL baru, tapi ada juga PKL yang sudah direlokasi ke tempat baru kemudian pindah ke tempat asal dengan dalih tidak laku di tempat baru. Dari pantauan di lapangan, para PKL masih dengan bebas di Jl. Slamet Riyadi, Jl, Veteran, Jl,. Kapten Mulyadi dan Jl. Urip Sumoharjo. Padahal jalan-jalan ini mestinya menjadi kawasan yang steril dari PKL.
Penanganan terhadap para PKL yang dilakukan Pemkot Surakarta, tak hanya dilakukan dengan relokasi, tapi juga dengan shelterisasi dan gerbakisasi. Pada kenyataannya, PKL yang sudah terkena penataan tersebut banyak kembali ke tempat semula atau mencari lokasi baru.
2. Jokowi dan City Walk
Salah satu impian Jokowi dalam mewujudkan kota Solo menjadi kota yang nyaman dan asri adalah dengan membangun kawasan City Walk di kawasan Jl. Slamet Riyadi, yang terbentang antara Purwosari sampai Gladag/Pasar Gede. Konsepnya, kawasan ini akan menjadi asset wisata baru. Para pengunjung berjalan kaki dan menikmati fasilitas yang ada di kawasan ini.
Dengan menghabiskan anggaran Rp 1.3 milyar, kawasan Citywalk mulai diresmikan sejak 1 Oktober 2007 bertepatan dengan t peringatan Hari Habitat Nasional. Kawasan ini sebenarnya diharapkan menjadi daya tarik tersendiri sebagai wahana wisata bagi warga dalam rangka berinteraksi, bersosialisasi, sekaligus rekreasi.
Sayang seribu sayang setelah memasuki tahun kelima, kawasan ini sepertinya tidak mendapatkan respon warga. Kawasan Citywalk belum menjadi daya tarik sebagai tujuan wisata sebenarnya. Kalangan anggota dewan, menganggap Citywalk merupakan salah satu proyek gagal yan dikelola Jokowi.”Ini jelas-jelas proyek gagal karena tidak ada kelanjutannya, sekarang hanya digunakan tempat mangkal PKL dan tukang becak,” kata Supriyadi, wakil ketua DPRD Kota Surakarta.
Karena itulah, Supriyadi mengaku langsung menolak ketika Pemkot Solo mengajukan anggaran untuk pembangunan citywalk di kawasan lain sepanajng 10 km yang akan menghubungkan jalan protocol di dalam kota. “Yang pertama saja gagal mau membangun Citywalk lagi,” kata Supriyadi.
Masih menurut Supriyadi, pembangunan Citywalk tanpa melalui kajian yang mendalam dan kesannya hanya gagah-gagahnya saja. Dampak dari proyek ini, justru menimbulkan banjir karena system drainase yang tidak digarap dengan baik. Selain itu, para pemilik toko di kawasan ini juga mengalami kerugian karena harus bongkar muat di tempat yang jauh, tidak lagi bisa dilakukan di depan toko seperti sebelum citywalk dibangun.
Sementara itu, dampak dari pembangunan Citywalk tersebut, tukang becak dan sepeda kehilangan akses jalan. Mereka tidak lagi memiliki jalur lintasan di kawasan Jl, Slamet Riyadi, apalagi tempat parkir.
Konsep City Walk mengadopsi dengan apa yang ada di Orchad Road di Singapura. Ketika berkunjung di negeri singa tersebut, Jokowi nampak terpana karena kawasan ini menarik bagi para wisatawan.
Di sepanjang Orchard Road banyak sekali bangunan-bangunan komersial seperti hotel dan pusat perbelanjaan berlabel mall, shopping center, galeri, plasa, square dan nama-nama pusat perbelanjaan lain. Ada lebih dari 50 pusat perbelanjaan dan deretan pertokoan di sepanjang Orchard Road. Di mana jalan ini bersambungan dan berdekatan dengan Marina Bay dan City Centre.
Di kawasan Orchad Road, juga banyak ditemukan bangunan penting seperti Museum Raffles Landing Site, Singapura Art Museum, Singapura City Gallery, Singapura History Museum, Singapura Philatalic Museum, Theatre dan Concert Hall, pengunjung juga bisa menemukan taman-taman kota dan bangunan-bangunan megah kantor Parliament House dan beberapa gedung kedutaan besar. Bahkan tempat ibadah mulai dari pura, mesjid dan gereja tersedia di sana.
Kehidupan di kawasan Orchad Road memang sangat nyaman dan aman. Hal ini terjadi karena didukung infrastruktur yang memadai, sumber daya manusia serta financial yang mencukupi untuk maintenannya. Selain itu juga aparat di lapangan dan birokrasi yang memang memiliki dedikasi yang sangat baik, tertib, teliti dan bertangungjawab.
Sarana tranportasi juga sangat mendukung, mulai dari kereta cepat maupun bus yang menjamin kecepatan, keamanan, kenyamanan bahkan keselamatan penumpangnya.
Yang juga tak kalah penting, jumlah kendaraan bermotor pribadi di Singapura sangat dibatasi. Parkir mobil juga diatur dengan tertib. Setiap bangunan memiliki ruang parkir khusus.
Yang jelas mereka yang berlalu lalang di Orchid dijamin tidak akan menemukan pengamen, gelandangan apalagi pengemis, maupun pemulung. Kalaupun ada PKL, keberadaannya sangat diatur dengan rapi. Tidak adanya kesenjangan sosial, memang memungkinkan semuanya terjadi.
Ir. Kusumastuti,MURP dosen Arsitektur UNS melihat bahwa potensi yang ada di kawasan Jl. Slamet Riyadi tidak cukup mendukung untuk membuat City walk seperti yang ada di Orchad Road Singapura.
Kalaupun ada bangunan perkantoran, hotel, mall, museum, sriwedari, toko batik Danarhadi, Luwes, dsb, belum mampu menjadikan Citywalk sebagai magnet yang menarik wisatawan datang ke sana. Tak mengherankan bila saat ini, proyek City walk terkesan mangkrak.
3. Jokowi Gagal Mengurangi Kemiskinan
Kalau melihat fakta dan data jumlah warga miskin yang ternyata terus meningkat, pantas dipertanyakan apa ukuran kesuksesan bagi Jokowi dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Siapa sebenarnya yang diuntungkan dengan konsep pembangunan kota Solo yang selama ini dikembangkannya. Orang kaya atau orang miskin?
Berdasarkan data yang dirilis Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) ternyata jumlah warga miskin di Kota Solo dari tahun ke tahun justru terus mengalami peningkatan. Tidak menurun seperti yang selama ini dipublikasikan. Tahun 2012 ini, jumlah warga miskin mencapai 133.000 jiwa atau sekitar 25% dari total jumlah penduduk Solo yang mencapai 530.000 jiwa.
Data tersebut tentu sangat mengejutkan, karena melebihi data yang dilansir oleh Program Perlindungan Sosial (PPLS’08) dari Badan Pusat Statistik (BPS), termasuk data Pemkot sebelumnya yang dikeluarkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda). Jumlah warga miskin berdasarkan PPLS’08 tercatat sebanyak 21.945 keluarga atau sekitar 85.000 jiwa dengan asumsi setiap keluarga terdiri atas empat anggota. Sedangkan data warga miskin yang dimiliki Bappeda tercatat sebanyak 125.000-an jiwa.
Wawali FX Hadi Rudyatmo selaku Ketua TKPKD mengakui data warga miskin yang lebih besar itu memang tidak bagus dari sisi politis maupun citra Kota Solo. Namun, data itu harus diakui karena lebih mendekati kenyataan di lapangan.
Setelah mendapatkan data yang riil itu, Rudy mengatakan tantangan besar yang menanti di depan adalah bagaimana agar data itu diterima oleh semua satuan kerja perangkat daerah (SKPD) dan dijadikan dasar dalam kegiatan-kegiatan dari sumber APBD yang berhubungan dengan penanggulangan kemiskinan. Selama ini, data kemiskinan itu berbeda-beda di masing-masing SKPD sehingga sulit sekali untuk mengukur keberhasilan penanggulangan kemiskinan.
Kepala Kesekretariatan TKPKD Solo, Shemmy Samuel Rory menyatakan yang diperlukan adalah sikap legawa dari masing-masing pihak. Tidak hanya kalangan SKPD, tetapi juga ormas, LSM dan kalangan usaha. Mereka harus mau melepaskan ego sektoral masing-masing, melihat kenyataan yang ada, duduk bersama, mengeksplorasi masalah, memahami dan membagi peran dalam penyelesaian masalah itu.
Ada pernyataan dari wawali yang kemudian mengundang kontroversi. Entah apa alasanya, dia justru merasa patut bersyukur dengan penambahan angka kemiskinan di kota Surakarta. Pernyataan itulah yang mengundang keprihatinan dari kalangan DPRD Kota Surakarta. “Makin banyak orang miskin kok malah disyukuri,” kata ketua Fraksi PAN, Umar Hasyim kepada Media Indonesia (9/5/2012).
Menurut Umar Hasyim, penambahan angka kemiskinan membuktikan bahwa selama ini Pemkot Solo gagal dalam menjalankan program pengentasan kemiskinan. “Kemiskinan tidak perlu ditutup-tutupi tapi juga jangan disyukuri,” katanya politisi PAN tersebut.
Umar Hasyim menambahkan, kebijakan Pemkot Solo yang belum berhasil menekan jumlah kemiskinan menandakan kinerja SKPD tidak berjalan maksimal, sehingga kesenjangan semakin lebar.
Peningkatan kemiskinan tersebut juga menandakan pemberdayaan ekomi tidak berjalan sukses. Kegagalan program pemberdayaan ekonomi ini, bisa dilihat dari jumlah pendapatan perkapita warga Solo yang hanya Rp 18 juta pertahun.
Sedangkan, unsur pimpinan DPRD dari Partai Demokrat Supriyanto menegaskan duet Joko Widodo-Hadi Rudyatmo dalam memimpin kota Solo selama dua periode memang hanya sering memberikan kejutan dan bukan keberhasilan. “Seperti kemiskinan ini. Meski DPRD sudah berupaya memenuhi anggaran yang dibutuhkan eksekutif di dalam melaksanakan program pengentasan kemiskinan, ternyata jumlahnya malah makin membengkak. Anehnya lagi, hasil pendataan BPS pun seolah menggunakan indikator tersendiri,” ungkap Supriyanto.
Pemadaman listrik selama beberapa malam di penghujung tahun 2011 tersebut, menunjukan bahwa ada ketidakberesan dalam pengelolaan keuangan daerah. “Tunggakan ini semestinya tidak perlu terjadi karena dana sudah ada, ini menunjukkan ada yang tidak beres dalam manajemen pengelolaan keuangan daerah,” kata Muhammad Rodhi, wakil ketua DPRD kota Surakata.
Pihak PLN sebagaimana diungkapkan Manajer Area Pelayanan dan Jaringan Surakarta, Puguh Dwi Atmanto, pemadaman tersebut terpaksa dilakukan karena jumlah tunggakan rekening listrik yang dilakukan Pemkot Solo sudah tidak bisa ditolerir lagi.
Puguh mengatakan, selama ini Pemkot Surakarta mendapat setoran pajak rekening listrik rata-rata 2.4 milyar tiap bulannya. Dari jumlah itu, sebenarnya masih ada kelebihan karena tagihan yang harus dibayar ke PLN rata-rata hanya sekitar Rp 2 milyar saja. Artinya Pemkot Surakarta mendapat surplus hingga Rp 400 juta tiap bulannya dari pajak penerangan jalan umum (PPJU).
Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan, Pemkot Surakarta memang selalu mengalami surplus dari pembayaran rekening PPJU, karena hasil pajak yang didapat dari konsumen listrik jauh lebih besar dibandingkan dengan rekening yang harus dibayarkan. Surplus yang diperoleh antara Rp 184 juta hingga Rp 467 juta. Bahkan pada Juni 2010 lalu surplusnya mencapai lebih dari Rp 1 miliar. “Anehnya Pemkot Solo masih memiliki tunggakan rekening PPJU Rp 13 milyar,” kata anggota dewan dari PKS tersebut.
Pihak PLN rupanya habis kesabaran, karena kasus tunggakan listrik ternyata tidak hanya terjadi sekali saja. Tahun 2010, kasus serupa juga terjadi tapi jumlahnya lebih kecil Rp 3.6 milyar. “Waktu itu kami masih tolerir,” kata Puguh.
Menurut Puguh, dampak tunggakan listrik Pemkot Surakarta tersebut berakibat pada perjalanan karir mereka sebagai karyawan PLN. Jajaran manajer PLN Surakarta terpaksa mendapat sanki penundaan kenaikan golongan dan pangkat selama satu semester. “Kami diberi sanksi karena dianggap tidak becus menangani masalah tunggakan listrik,” ujar Puguh lebih lanjut.
Kala itu Wakil Wali Kota Surakarta, FX Hadi Rudyatmo, menyebut langkah pemutusan itu akan menimbulkan keresahan di masyarakat. “Kami berjanji segera melunasinya setelah APBD tahun depan disahkan,” kata Rudyatmo. Menurutnya, anggaran untuk pelunasan utang tersebut sudah disiapkan.
Seperti diungkapkan Puguh, Pemkot Surakarta masih memiliki tunggakan rekening senilai Rp 13 milyar. Pemkot belum bersedia membayar karena masih mempersoalkan keabsahan catatan PLN mengenai jumlah lampu yang mencapai 17.000 titik, “Masalah titik lampu sudah klar, kini Pemkot mempersoalkan dasar pengenaan tarifnya,” ungkap Puguh kepada media.
Kalangan anggota dewan Kota Surakarta menilai, kasus pemadam listrik tersebut menggambarkan betapa buruknya manajemen keuangan di Pemkot Solo. Mestinya Pemkot tidak perlu menunggu pencairan APBD karena dana pembayaran tersebut dibebankan kepada masyarakat yang dibayar setiap bulannya.
Berikut berbagai fakta di Solo berkaitan dengan Jokowi:
1. Jokowi, PKL dan konspirasi para preman dibawah FX Hady Rudiatmo
Pada tahun kedua menjadi walikota, Jokowi sudah mulai menyita perhatian media karena dianggap sukses menangani permasalahan PKL di Solo yang selama puluhan tahun memusingkan pemerntah daerah. Drama pemindahan PKL dari kawasan monumen Banjarsari (Monjari) yang berdekatan dengan rumah pngusaha Lukminto, disebut-sebut menjadi kunci suksesnya menangani PKL secara keseluruhan di kota Solo.
Proses penanganan PKL ini, jadi menarik karena berjalan secara damai tanpa melibatkan aparat keamanan, satpol PP maupun kepolisian. Bahkan PKL yang jumlahnya ribuan menjalani ritual boyongan dengan sukarela ketika menempati areal relokasi ke pasar baru yang kini dikenal dengan Notoharjo.
“Kesukesan” mengelola PKL tersebut menjadikan Jokowi kemudian dikenal sebagai Walikota kaki lima karena keberpihakannya kepada pedagang kaki lima. Ia sering diundang ke berbagai kota untuk menceritakan pengalamannya. Tak hanya di dalam negeri tapi juga keluar negeri. Bahkan tahun ini, Solo bakal menjadi tuan rumah untuk acara konferensi international khusus untuk penanganan pedagang kaki lima.
Belakangan mulai muncul suara-suara sumbang berkaitan dengan proses relokasi PKL ke pasar Notoharjo. Keberhasilan tersebut ternyata merupakan hasil skenario yang sudah dirancang secara matang. Ada yang menyebut kesuksesan ini hasil persekongkolan antara preman dan penguasa.
Sebagaimana diketahui, dalam berbagai kesempatan, Jokowi selalu menjelaskan bahwa proses pemindahan tersebut merupakan hasil dari loby yang cukup panjang dengan cara nguwongke komunikasi dari hati ke hati. Ia berkali-kali mengundang tokoh pentholan di kalangan PKL untuk diajak makan malam di Loji Gandrung, rumah dinasnya sebagai walikota. Dalam setiap kali makan bersama, Jokowi mengaku tidak pernah bicara tentang penataan PKL karena katanya pasti akan menimbulkan perlawanan. Baru setelah puluhan kali makan bersama dan terjalin komunikasi yang baik, Jokowi mulai memunculkan rencana relokasi PKL tersebut. Dan konon semua langsung sepakat dengan apa yang dikatakannya. Ia menyebut sebagai buah dari diplomasi meja makan.
Jokowi boleh mengklaim ada diplomasi meja makan dibalik kesuksesannya merelokasi PKL ke Pasar Notoharjo. Tapi ada sebuah sumber yang menyatakan bahwa keberhasilan itu tidak lepas dari skenario besar yang dirancang wawalinya, FX Hady Rudiyatmo. Wawali yang akrab disapa Rudy ini sebenarnya menjadi penguasa riil di Solo. Sedangkan sang walikota, Jokowi hanya seperti boneka yang digerakkan Rudy.
Sekedar diketahui saja, selama ini Rudy adalah tokoh yang memiliki massa hingga ke akar rumput. Massa yang dikuasainya berasal dari berbagai latar belakang, mulai dari pedagang kaki lima, tukang parkir, hingga preman jalanan maupun yang berdasi. Sebagai penguasa di dunia hitam, ada yang bilang Rudy bisa membuat merah hijaunya Solo. Ia sebenarnya juga punya peluang menjadi walikota, namun karena statusnya yang non muslim menjadi pengganjal bagi Rudi. Dan ia pun sadar diri.
Kalau melihat dana yang digelontorkan dari APBD untuk relokasi PKL ke Pasar Notoharjo sebenarnya terlihat jelas ada kejanggalan. Jumlahnya memang sangat fantastis, mencapai hampir ratusan milyar. Maklum semua semua proses ditanggung Pemda. PKL dibebaskan dari semua biaya alias gratis. Selain dapat tempat, juga dapat modal kerja, bahkan uang makan selama sebelum dagangannya laku.
Besarnya anggaran ini sempat menggelitik anggota dewan di Solo. Untuk membiayai PKL yang jumlahnya ribuan, mengalahkan anggaran operasional kelurahan. Padahal berdasarkan survai, sekitar 20 % PKL Notoharjo bukan orang asli Solo. “Anggaran PKL Notoharjo banyak yang salah sasaran karena yang menikmati bukan orang Solo,” kata M Rodhi, anggota dewan dari PKS.
Selain salah sasaran, ada yang terang-terangan mengatakan bahwa yang menikmati anggaran PKL Notoharjo tersebut hanya kelompok masyarkaat tertentu yang selama ini dikelola Rudy. Tepatnya mereka yang bernaung dibawah partai pimpinan wawali ini. “Ini salah satu cara mereka mendapatkan uang,” kata salah satu sumber di DPRD Solo.
Terlepas dari itu, semua Jokowi sudah telanjur dicitrakan sebagai walikota yang sukses mengelola PKL dengan cara-cara yang manusiawi. Tapi apakah, dia juga sukses menangani sampah secara umum di kota Solo? Ternyata tidak.
Saat ini, PKL masih menjadi persoalan serius di kota Solo. Status Jokowi sebagai walikota kalilima memang menjadi dilema. Ia tidak tegas terhadap PKL. Ini terlihat dari makin banyaknya PKL yang sepertinya didiamkan saja berjualan di kawasan yang seharusnya steril dari keberadaan mereka.
Bukan hanya muncul PKL baru, tapi ada juga PKL yang sudah direlokasi ke tempat baru kemudian pindah ke tempat asal dengan dalih tidak laku di tempat baru. Dari pantauan di lapangan, para PKL masih dengan bebas di Jl. Slamet Riyadi, Jl, Veteran, Jl,. Kapten Mulyadi dan Jl. Urip Sumoharjo. Padahal jalan-jalan ini mestinya menjadi kawasan yang steril dari PKL.
Penanganan terhadap para PKL yang dilakukan Pemkot Surakarta, tak hanya dilakukan dengan relokasi, tapi juga dengan shelterisasi dan gerbakisasi. Pada kenyataannya, PKL yang sudah terkena penataan tersebut banyak kembali ke tempat semula atau mencari lokasi baru.
2. Jokowi dan City Walk
Salah satu impian Jokowi dalam mewujudkan kota Solo menjadi kota yang nyaman dan asri adalah dengan membangun kawasan City Walk di kawasan Jl. Slamet Riyadi, yang terbentang antara Purwosari sampai Gladag/Pasar Gede. Konsepnya, kawasan ini akan menjadi asset wisata baru. Para pengunjung berjalan kaki dan menikmati fasilitas yang ada di kawasan ini.
Dengan menghabiskan anggaran Rp 1.3 milyar, kawasan Citywalk mulai diresmikan sejak 1 Oktober 2007 bertepatan dengan t peringatan Hari Habitat Nasional. Kawasan ini sebenarnya diharapkan menjadi daya tarik tersendiri sebagai wahana wisata bagi warga dalam rangka berinteraksi, bersosialisasi, sekaligus rekreasi.
Sayang seribu sayang setelah memasuki tahun kelima, kawasan ini sepertinya tidak mendapatkan respon warga. Kawasan Citywalk belum menjadi daya tarik sebagai tujuan wisata sebenarnya. Kalangan anggota dewan, menganggap Citywalk merupakan salah satu proyek gagal yan dikelola Jokowi.”Ini jelas-jelas proyek gagal karena tidak ada kelanjutannya, sekarang hanya digunakan tempat mangkal PKL dan tukang becak,” kata Supriyadi, wakil ketua DPRD Kota Surakarta.
Karena itulah, Supriyadi mengaku langsung menolak ketika Pemkot Solo mengajukan anggaran untuk pembangunan citywalk di kawasan lain sepanajng 10 km yang akan menghubungkan jalan protocol di dalam kota. “Yang pertama saja gagal mau membangun Citywalk lagi,” kata Supriyadi.
Masih menurut Supriyadi, pembangunan Citywalk tanpa melalui kajian yang mendalam dan kesannya hanya gagah-gagahnya saja. Dampak dari proyek ini, justru menimbulkan banjir karena system drainase yang tidak digarap dengan baik. Selain itu, para pemilik toko di kawasan ini juga mengalami kerugian karena harus bongkar muat di tempat yang jauh, tidak lagi bisa dilakukan di depan toko seperti sebelum citywalk dibangun.
Sementara itu, dampak dari pembangunan Citywalk tersebut, tukang becak dan sepeda kehilangan akses jalan. Mereka tidak lagi memiliki jalur lintasan di kawasan Jl, Slamet Riyadi, apalagi tempat parkir.
Konsep City Walk mengadopsi dengan apa yang ada di Orchad Road di Singapura. Ketika berkunjung di negeri singa tersebut, Jokowi nampak terpana karena kawasan ini menarik bagi para wisatawan.
Di sepanjang Orchard Road banyak sekali bangunan-bangunan komersial seperti hotel dan pusat perbelanjaan berlabel mall, shopping center, galeri, plasa, square dan nama-nama pusat perbelanjaan lain. Ada lebih dari 50 pusat perbelanjaan dan deretan pertokoan di sepanjang Orchard Road. Di mana jalan ini bersambungan dan berdekatan dengan Marina Bay dan City Centre.
Di kawasan Orchad Road, juga banyak ditemukan bangunan penting seperti Museum Raffles Landing Site, Singapura Art Museum, Singapura City Gallery, Singapura History Museum, Singapura Philatalic Museum, Theatre dan Concert Hall, pengunjung juga bisa menemukan taman-taman kota dan bangunan-bangunan megah kantor Parliament House dan beberapa gedung kedutaan besar. Bahkan tempat ibadah mulai dari pura, mesjid dan gereja tersedia di sana.
Kehidupan di kawasan Orchad Road memang sangat nyaman dan aman. Hal ini terjadi karena didukung infrastruktur yang memadai, sumber daya manusia serta financial yang mencukupi untuk maintenannya. Selain itu juga aparat di lapangan dan birokrasi yang memang memiliki dedikasi yang sangat baik, tertib, teliti dan bertangungjawab.
Sarana tranportasi juga sangat mendukung, mulai dari kereta cepat maupun bus yang menjamin kecepatan, keamanan, kenyamanan bahkan keselamatan penumpangnya.
Yang juga tak kalah penting, jumlah kendaraan bermotor pribadi di Singapura sangat dibatasi. Parkir mobil juga diatur dengan tertib. Setiap bangunan memiliki ruang parkir khusus.
Yang jelas mereka yang berlalu lalang di Orchid dijamin tidak akan menemukan pengamen, gelandangan apalagi pengemis, maupun pemulung. Kalaupun ada PKL, keberadaannya sangat diatur dengan rapi. Tidak adanya kesenjangan sosial, memang memungkinkan semuanya terjadi.
Ir. Kusumastuti,MURP dosen Arsitektur UNS melihat bahwa potensi yang ada di kawasan Jl. Slamet Riyadi tidak cukup mendukung untuk membuat City walk seperti yang ada di Orchad Road Singapura.
Kalaupun ada bangunan perkantoran, hotel, mall, museum, sriwedari, toko batik Danarhadi, Luwes, dsb, belum mampu menjadikan Citywalk sebagai magnet yang menarik wisatawan datang ke sana. Tak mengherankan bila saat ini, proyek City walk terkesan mangkrak.
3. Jokowi Gagal Mengurangi Kemiskinan
Kalau melihat fakta dan data jumlah warga miskin yang ternyata terus meningkat, pantas dipertanyakan apa ukuran kesuksesan bagi Jokowi dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Siapa sebenarnya yang diuntungkan dengan konsep pembangunan kota Solo yang selama ini dikembangkannya. Orang kaya atau orang miskin?
Berdasarkan data yang dirilis Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) ternyata jumlah warga miskin di Kota Solo dari tahun ke tahun justru terus mengalami peningkatan. Tidak menurun seperti yang selama ini dipublikasikan. Tahun 2012 ini, jumlah warga miskin mencapai 133.000 jiwa atau sekitar 25% dari total jumlah penduduk Solo yang mencapai 530.000 jiwa.
Data tersebut tentu sangat mengejutkan, karena melebihi data yang dilansir oleh Program Perlindungan Sosial (PPLS’08) dari Badan Pusat Statistik (BPS), termasuk data Pemkot sebelumnya yang dikeluarkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda). Jumlah warga miskin berdasarkan PPLS’08 tercatat sebanyak 21.945 keluarga atau sekitar 85.000 jiwa dengan asumsi setiap keluarga terdiri atas empat anggota. Sedangkan data warga miskin yang dimiliki Bappeda tercatat sebanyak 125.000-an jiwa.
Wawali FX Hadi Rudyatmo selaku Ketua TKPKD mengakui data warga miskin yang lebih besar itu memang tidak bagus dari sisi politis maupun citra Kota Solo. Namun, data itu harus diakui karena lebih mendekati kenyataan di lapangan.
Setelah mendapatkan data yang riil itu, Rudy mengatakan tantangan besar yang menanti di depan adalah bagaimana agar data itu diterima oleh semua satuan kerja perangkat daerah (SKPD) dan dijadikan dasar dalam kegiatan-kegiatan dari sumber APBD yang berhubungan dengan penanggulangan kemiskinan. Selama ini, data kemiskinan itu berbeda-beda di masing-masing SKPD sehingga sulit sekali untuk mengukur keberhasilan penanggulangan kemiskinan.
Kepala Kesekretariatan TKPKD Solo, Shemmy Samuel Rory menyatakan yang diperlukan adalah sikap legawa dari masing-masing pihak. Tidak hanya kalangan SKPD, tetapi juga ormas, LSM dan kalangan usaha. Mereka harus mau melepaskan ego sektoral masing-masing, melihat kenyataan yang ada, duduk bersama, mengeksplorasi masalah, memahami dan membagi peran dalam penyelesaian masalah itu.
Ada pernyataan dari wawali yang kemudian mengundang kontroversi. Entah apa alasanya, dia justru merasa patut bersyukur dengan penambahan angka kemiskinan di kota Surakarta. Pernyataan itulah yang mengundang keprihatinan dari kalangan DPRD Kota Surakarta. “Makin banyak orang miskin kok malah disyukuri,” kata ketua Fraksi PAN, Umar Hasyim kepada Media Indonesia (9/5/2012).
Menurut Umar Hasyim, penambahan angka kemiskinan membuktikan bahwa selama ini Pemkot Solo gagal dalam menjalankan program pengentasan kemiskinan. “Kemiskinan tidak perlu ditutup-tutupi tapi juga jangan disyukuri,” katanya politisi PAN tersebut.
Umar Hasyim menambahkan, kebijakan Pemkot Solo yang belum berhasil menekan jumlah kemiskinan menandakan kinerja SKPD tidak berjalan maksimal, sehingga kesenjangan semakin lebar.
Peningkatan kemiskinan tersebut juga menandakan pemberdayaan ekomi tidak berjalan sukses. Kegagalan program pemberdayaan ekonomi ini, bisa dilihat dari jumlah pendapatan perkapita warga Solo yang hanya Rp 18 juta pertahun.
Sedangkan, unsur pimpinan DPRD dari Partai Demokrat Supriyanto menegaskan duet Joko Widodo-Hadi Rudyatmo dalam memimpin kota Solo selama dua periode memang hanya sering memberikan kejutan dan bukan keberhasilan. “Seperti kemiskinan ini. Meski DPRD sudah berupaya memenuhi anggaran yang dibutuhkan eksekutif di dalam melaksanakan program pengentasan kemiskinan, ternyata jumlahnya malah makin membengkak. Anehnya lagi, hasil pendataan BPS pun seolah menggunakan indikator tersendiri,” ungkap Supriyanto.
penduduk miskin Kota Solo versi TKPKD
1. Tahun 2009: 107.000 jiwa
2. Tahun 2010: 125.000 jiwa
3. Tahun 2011: sekitar 130.000 jiwa
Peningkatan penduduk miskin
1. Dari tahun 2009 ke tahun 2010: 18.000 jiwa atau 16,8%
2. Dari tahun 2010 ke tahun 2011: 5.000 jiwa atau 4%
5 Kelurahan berpenduduk miskin paling banyak tahun 2010
1. Sudiroprajan, Jebres
2. Sangkrah, Pasar Kliwon
3. Kepatihan Wetan, Jebres
4. Semanggi, Pasar Kliwon
5. Ketelan, Banjarsari
1. Tahun 2009: 107.000 jiwa
2. Tahun 2010: 125.000 jiwa
3. Tahun 2011: sekitar 130.000 jiwa
Peningkatan penduduk miskin
1. Dari tahun 2009 ke tahun 2010: 18.000 jiwa atau 16,8%
2. Dari tahun 2010 ke tahun 2011: 5.000 jiwa atau 4%
5 Kelurahan berpenduduk miskin paling banyak tahun 2010
1. Sudiroprajan, Jebres
2. Sangkrah, Pasar Kliwon
3. Kepatihan Wetan, Jebres
4. Semanggi, Pasar Kliwon
5. Ketelan, Banjarsari
4. Jokowi dan keburukan manajemen Pemerintahan
Ada peristiwa menarik di penghujung tahun 2011 lalu. Tepatnya sejak 23 Desember kota Solo gelap gulita. Ini terjadi karena PLN memutuskan jaringan listik untuk 17.000 titik lampu penerangan jalan. Penyebabnya tak lain karena Pemkot untuk kesekian kalinya menunggak pembayaran rekening listrik untuk penerangan jalan umum. Pemkot Solo menunggak rekening sejumlah Rp 8.9 milyar.Pemadaman listrik selama beberapa malam di penghujung tahun 2011 tersebut, menunjukan bahwa ada ketidakberesan dalam pengelolaan keuangan daerah. “Tunggakan ini semestinya tidak perlu terjadi karena dana sudah ada, ini menunjukkan ada yang tidak beres dalam manajemen pengelolaan keuangan daerah,” kata Muhammad Rodhi, wakil ketua DPRD kota Surakata.
Pihak PLN sebagaimana diungkapkan Manajer Area Pelayanan dan Jaringan Surakarta, Puguh Dwi Atmanto, pemadaman tersebut terpaksa dilakukan karena jumlah tunggakan rekening listrik yang dilakukan Pemkot Solo sudah tidak bisa ditolerir lagi.
Puguh mengatakan, selama ini Pemkot Surakarta mendapat setoran pajak rekening listrik rata-rata 2.4 milyar tiap bulannya. Dari jumlah itu, sebenarnya masih ada kelebihan karena tagihan yang harus dibayar ke PLN rata-rata hanya sekitar Rp 2 milyar saja. Artinya Pemkot Surakarta mendapat surplus hingga Rp 400 juta tiap bulannya dari pajak penerangan jalan umum (PPJU).
Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan, Pemkot Surakarta memang selalu mengalami surplus dari pembayaran rekening PPJU, karena hasil pajak yang didapat dari konsumen listrik jauh lebih besar dibandingkan dengan rekening yang harus dibayarkan. Surplus yang diperoleh antara Rp 184 juta hingga Rp 467 juta. Bahkan pada Juni 2010 lalu surplusnya mencapai lebih dari Rp 1 miliar. “Anehnya Pemkot Solo masih memiliki tunggakan rekening PPJU Rp 13 milyar,” kata anggota dewan dari PKS tersebut.
Pihak PLN rupanya habis kesabaran, karena kasus tunggakan listrik ternyata tidak hanya terjadi sekali saja. Tahun 2010, kasus serupa juga terjadi tapi jumlahnya lebih kecil Rp 3.6 milyar. “Waktu itu kami masih tolerir,” kata Puguh.
Menurut Puguh, dampak tunggakan listrik Pemkot Surakarta tersebut berakibat pada perjalanan karir mereka sebagai karyawan PLN. Jajaran manajer PLN Surakarta terpaksa mendapat sanki penundaan kenaikan golongan dan pangkat selama satu semester. “Kami diberi sanksi karena dianggap tidak becus menangani masalah tunggakan listrik,” ujar Puguh lebih lanjut.
Kala itu Wakil Wali Kota Surakarta, FX Hadi Rudyatmo, menyebut langkah pemutusan itu akan menimbulkan keresahan di masyarakat. “Kami berjanji segera melunasinya setelah APBD tahun depan disahkan,” kata Rudyatmo. Menurutnya, anggaran untuk pelunasan utang tersebut sudah disiapkan.
Seperti diungkapkan Puguh, Pemkot Surakarta masih memiliki tunggakan rekening senilai Rp 13 milyar. Pemkot belum bersedia membayar karena masih mempersoalkan keabsahan catatan PLN mengenai jumlah lampu yang mencapai 17.000 titik, “Masalah titik lampu sudah klar, kini Pemkot mempersoalkan dasar pengenaan tarifnya,” ungkap Puguh kepada media.
Kalangan anggota dewan Kota Surakarta menilai, kasus pemadam listrik tersebut menggambarkan betapa buruknya manajemen keuangan di Pemkot Solo. Mestinya Pemkot tidak perlu menunggu pencairan APBD karena dana pembayaran tersebut dibebankan kepada masyarakat yang dibayar setiap bulannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar