Pasangan underdog ini tiba-tiba melejit begitu pesat diluar prediksi sejumlah pengamat/lembaga survei. Sederet slogan/jargon dalam sekejap mampu membius warga Jakarta. Melalui icon ‘Perubahan’, Kartu Sehat dan Pintar plus menebar kartu nama seketika dapat menghipnotis pemilih. Di tengah euphoria hasil quick-count lembaga survei, pasangan Jokowi-Ahok serasa di atas angin. Baik Jokowi maupun Ahok membungkus citra personalnya sedemikian rupa agar bisa meyakinkan pemilih berlatar etnik/suku tertentu di Jakarta.
Siapa sesungguhnya H. Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama/BTP? Rumors yang menyebutkan nama depan Joko Widodo adalah Handoko sepertinya benar. Dan bukan seperti yang diwartakan atau disebut-sebut oleh timses atau para pendukungnya. Awalnya, saya tidak begitu percaya kepada isu gelap itu. Setelah dikonfirmasi memang begitu adanya. Informasi itu saya dapatkan dari orang dalam Keraton Kasunanan Surakarta Solo yang tidak ingin disebut namanya. Maklum saja, saat ini konflik di internal Keraton Kasunanan Surakarta tengah mencuat kembali.
“Nama aslinya itu Handoko Joko Widodo mas,” jawabnya saat saya ingin konfirmasi kebenaran isu tersebut. “Setahu saya, beliau itu mualaf,” ujarnya lagi. “Saya kurang tahu persis, apakah beliau sudah pergi haji atau belum. Saya juga kurang tahu apakah mualaf itu karena politik atau tidak,” sergahnya ketika saya tanya apakah benar hijrahnya Jokowi memeluk Islam disebabkan karena faktor politik atau tidak. Informasi ini saya gali ketika tengah berlibur ke Solo. Sebagian profil H. Joko Widodo mungkin sudah dapat dibaca di media-media mainstream. Hanya saja, saya ingin melihatnya dari perspektif yang berbeda. Sederhananya, bila inisial H merupakan Haji, dapatkah Jokowi membeberkan kepada konstituennya/pendukungnya/simpatisannya kapan beliau berangkat ke Mekkah?
Walikota Solo yang konon dilabeli ‘Obama van Java’ itu sangat lihai, lincah dan gesit mengubah persepsi masyarakat muslim Jakarta. Menyusup ke sejumlah tokoh dan kelompok-kelompok agamawan di Jakarta. Jokowi begitu piawai menyembunyikan identitasnya agar memunculkan kesan sebagai seorang muslim sejati. Sisi lain, mayoritas muslim di Jakarta memang tidak banyak yang mengetahui sepenuhnya rekam-jejak spiritual seorang Jokowi. Sebagaimana diketahui akar ke-Islaman yang tumbuh dan berkembang di Solo mayoritas berhaluan kepercayaan atau Islam garis keras (fundamentalis). Adapun kelompok-kelompok Islam yang berlatar moderat sangat langka pertumbuhannya. Percaya atau tidak, penggalan cerita itu dapat membuka persepsi kita tentang Jokowi.
Kita tidak menyoal perihal Jokowi memeluk Islam serta apapun haluan yang berkembang dalam Islam. Yang kita sesalkan adalah ketidakjujuran Jokowi. Saking cemasnya, Jokowi, atau timsesnya menuding sekelompok orang yang melayangkan isu mualaf, atau suara segelintir orang yang meragukan ke-Islaman Jokowi dianggap fitnah. Konon, penyembunyian identitas ini sengaja dilakukan agar Jokowi bisa leluasa menggandeng kelompok-kelompok Islam di Jakarta untuk kepentingan politik dirinya. Aktor utama yang membungkus rapih profile Jokowi adalah Kemenpera RI Djan Faridz. Sebagaimana diketahui, Djan Faridz berperan untuk menghimpun sekaligus memobilisasi kelompok-kelompok Islam di Jakarta guna memenangkan Jokowi-Ahok dalam pentas Pemilukada DKI Jakarta. Motif Djan Faridz sendiri dilatari oleh kepentingan bisnis agar bisa menguasai seluruh sektor bisnis di Jakarta, terutama sektor properti.
Rekam jejak Jokowi sebagai walikota Solo (Surakarta) bila disebut berhasil sangat relatif. Mengingat popularitas Jokowi di media berbanding terbalik dengan sejumlah fakta di lapangan. Di balik sanjungan dan pujian atas keberhasilannya, Walikota Solo Jokowi memiliki setumpuk pekerjaan rumah yang tidak (belum) terselesaikan. Apa sajakah itu? Mari kita bahas satu-persatu
1) Kemacetan
Dengan jumlah penduduk yang hanya sekitar 559.318 ribu jiwa (BPS 2011), beberapa ruas jalan di kota Solo masih terjadi kemacetan. Celakanya, kepadatan arus lalu lintas menjadikan Jalan Slamet Riyadi Solo dikabarkan bakal naik level dari C (lancar) menjadi D (macet). Hal tersebut menyusul menurunnya kinerja atau level of service (LOS) akibat sering terjadinya kemacetan di salah satu jalan protokol di Kota Bengawan itu. Menurut Kepala Bidang (Kabid) Lalu Lintas Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika (Dishubkominfo) Kota Solo, Sri Baskoro, level Jl Slamet Riyadi saat ini masuk pada level C, yaitu padat merayap. Menyusul adanya rencana pembangunan dua hotel di jalan tersebut, kini tengah dilakukan kajian terhadap level/status jalan itu. Ke depan, levelnya akan naik menjadi D, yaitu macet. Baskoro menjelaskan kondisi Jl Slamet Riyadi saat ini sudah cukup padat. “Kalau kenaikan jumlah kendaraan baik roda dua maupun roda empat yang dulunya 7,5 persen, saat ini sudah melebihi angka itu,” kata Baskoro. Ia berharap agar ada terobosan-terobosan yang dilakukan pemerintah pusat untuk mengurangi angka kemacetan, termasuk di Kota Solo.
Di kota kecil Solo saja Jokowi belum berhasil mengurai kemacetan, apalagi di Jakarta. Dengan jumah penduduk Jakarta yang mencapai 9.607.787 jiwa dan status khusus, serta kewenangan yang terbatas kita meragukan Jokowi bisa meretas kemacetan dalam waktu singkat.
2) Tata Kelola Pasar di Solo
Di media mainstream Jokowi disebut-sebut sebagai walikota terbaik, terutama dalam melokalisasi dan mengelola pasar tradisional. Benarkah demikian? Dibalik kesuksesan tersebut, program relokasi Jokowi terhadap PKL berbanding terbalik dengan program revitalisasi pasar tradisional.
Beberapa pedagang di Pasar Panggungrejo, Jebres nasibnya kian terpuruk akibat omset mereka yang terus merosot. Sebelum direlokasi rata-rata para pedagang mampu mendapat masukan sekitar Rp400.000 per hari. Kini, mereka mengaku hanya mendapat sekitar Rp50.000 hingga Rp100.000. Kondisi Pasar Panggungerjo, Jebres, Solo semakin memprihatinkan. Sejak penyegelan terhadap 24 kios yang tidak ditempati oleh pedagang bulan Mei silam, kini belum ada perkembangan yang berarti. Dari 201 kios yang ada di pasar tersebut, hanya sekitar 40 kios yang secara rutin ditempati pedagang.
Pemkot Solo telah berjanji untuk memindahkan Pedagang Kaki Lima (PKL) yang sekarang masih berjualan di sepanjang Jalan KH Dewantoro untuk dimasukkan ke Pasar Panggungrejo. “Namun sekarang kenyataannya PKL di sana masih banyak. Salah satu faktor itulah yang membuat pasar ini sampai sekarang sepi pengunjung,” ujar Sukinah, salah satu pedagang di sana. Masalah lainnya, saat ini masih banyak pedagang yang belum mau membuka kiosnya secara rutin. “Padahal walikota sudah meminta, kios yang tutup segera dialihkan ke pedagang yang lain. Tapi sampai sekarang juga belum ada tindakan lebih lanjut,” tukas Sukinah.
Sukinah yang berdagang di lantai 3 meminta kepada Pemkot Solo untuk segera mengambil langkah yang konkret untuk mengatasi masalah tersebut. “Yang terpenting pedagang bisa laku seperti dulu lagi,” katanya. Selain Pasar Panggungrejo, Walikota Jokowi juga masih dihadapi persoalan revitalisasi Pasar Klewer. Hal ini menjadi perhatian kalangan DPRD Kota Solo. Menurut sejumlah anggota dewan, pro-kontra di antara pedagang Pasar Klewer, sebaiknya Pemkot Solo menyelesaikan lebih dulu. Wakil Ketua DPRD Kota Solo, Supriyanto meminta Pemkot masalah lebih dulu terkait rencana revitalisasi Pasar Klewer secara internal dengan kalangan pedagang pasar itu. Sebelum melaksanakan berbagai tahapan ataupun persiapan. Mengingat, rencana tersebut juga belum jelas dan detil hingga detik ini.
Sebelumnya, jajaran pengurus HPPK juga telah menyampaikan aspirasi mereka terkait rencana revitalisasi Pasar Klewer, kepada Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN) DPRD. Ketua FPAN DPRD Kota Solo, Umar Hasyim menyatakan pihaknya segera menyampaikan aspirasi dan keluhan kalangan pedagang Pasar Klewer tersebut kepada Pemkot Solo agar bisa diperhatikan dan segera ditindaklanjuti.
3) Kemiskinan di Solo
Sebagai Walikota Solo, Jokowi juga tidak prestius dalam menekan jumlah penduduk miskin di Solo. Berdasarkan data Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) Solo, jumlah penduduk miskin di Solo setiap tahun mengalami kenaikan. Pada 2009 tercatat ada 107.00 jiwa, naik menjadi130 ribu jiwa pada 2011 atau meningkat sekitar empat persen. Berikut ini data kemiskinan di Solo
Data penduduk miskin Kota Solo versi TKPKD
1. Tahun 2009: 107.000 jiwa
2. Tahun 2010: 125.000 jiwa
3. Tahun 2011: sekitar 130.000 jiwa
1. Tahun 2009: 107.000 jiwa
2. Tahun 2010: 125.000 jiwa
3. Tahun 2011: sekitar 130.000 jiwa
Peningkatan penduduk miskin1. Dari tahun 2009 ke tahun 2010: 18.000 jiwa atau 16,8%
2. Dari tahun 2010 ke tahun 2011: 5.000 jiwa atau 4%
2. Dari tahun 2010 ke tahun 2011: 5.000 jiwa atau 4%
Kelurahan berpenduduk miskin paling banyak tahun 20101. Sudiroprajan, Jebres
2. Sangkrah, Pasar Kliwon
3. Kepatihan Wetan, Jebres
4. Semanggi, Pasar Kliwon
5. Ketelan, Banjarsari
4) Banjir dan Sampah di Solo
Jokowi juga belum berhasil menanggulangi bencana alam banjir yang setiap tahun merendam Kota Solo. Pada awal 2012 banjir di kota ini meluas hingga merendam 1.470 keluarga dengan ketinggian air 1 hingga 1,5 meter. Warga Kota Solo pun mengeluhkan soal sampah yang bakal menjadi bom waktu, karena hingga kini di kota Solo hanya ada satu Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang usianya sudah mencapai dua tahun dan dikhawatirkan tak mampu menampung sampah warga yang terus menumpuk.
Saking tak bisa ditangani dengan baik, luapan air juga merendam rumah Wakil Walikota FX Hadi Rudyatmo di Kampung Badran, Kelurahan Pucangsawit, Solo. Yang lokasinya tak jauh dari kawasan Bengawan Solo. Akibat kebanjiran, kelaurga Rudy terpaksa mengungsi di kantor percetakan milik salah seorang anaknya. Kantor tersebut tak jauh dari rumahnya namun lokasinya lebih tinggi sehingga aman dari luapan banjir.
Luapan air dilaporkan telah merambah pula di kawasan-kawasan yang selama ini cukup aman dari banjir. Kawasan sekitar kampus UNS dilaporkan juga tergenang air. Ribuan warga telah meninggalkan rumahnya untuk mengungsi di berbagai tempat yang aman.
Luapan air dilaporkan telah merambah pula di kawasan-kawasan yang selama ini cukup aman dari banjir. Kawasan sekitar kampus UNS dilaporkan juga tergenang air. Ribuan warga telah meninggalkan rumahnya untuk mengungsi di berbagai tempat yang aman.
5) Praktik Good Governance Jokowi Gagal
Praktik good governance (tata kelola pemerintahan yang bersih) di Kota Solo yang masih dijabat Jokowi jauh dari aspek keberhasilan. Data dari KP2KKN Propinsi Jateng, pada 2010 Kota Solo menempati urutan ke-empat di Jawa Tengah. Kemampuannya memainkan isu melalui media massa, menutupi beberapa kekurangannya selama menjadi Walikota Solo. Mantan Ketua Komisi E DPRD Kota Surakarta, Heru S Notonegoro membeberkan, dari sisi manajemen kepemimpinan dan penataan kota, sebetulnya masih banyak yang perlu dibenahi, dan Jokowi masih jauh bila disebut berhasil. Dia mencontohkan kasus pemadaman listrik jalanan Kota Solo selama beberapa malam pada akhir 2011 lalu. Ini terjadi karena Pemkot Solo menunggak pembayaran pajak penerangan jalan umum sebesar Rp9 miliar adalah contoh ketidakberesan menajemen Pemkot Solo. “Padahal rakyat sudah membayarnya lunas,” ujar Heru seperti dilansir dari detik.com, Kamis (5/4/2012).
Selain itu sistem manajemen informasi dan akses publik terhadap data dan informasi yang ada di Pemkot Surakarta masih sulit diakses, padahal UU KIP (keterbukaan informasi publik) telah menjamin hak-hak rakyat atas informasi. Persoalan lain, lanjut Heru kepada detik, adalah banyak perda yang belum bisa dilaksanakan dengan baik. "Perda Parkir, Perda tentang pajak dan restoran, juga Perda tentang iklan maupun hiburan, hampir semuanya belum berjalan maksimal. Begitu pula proyek citywalk dan Galabo adalah proyek miliaran rupiah yang gagal," papar Heru.
Sebelumnya, kalangan DPRD juga menyoroti sejumlah ide, program serta proyek Jokowi yang belum terselesaikan atau bahkan tidak terealisasi. F-PKS DPRD Kota Surakarta mempertanyakan kelanjutan berbagai ide serta program Jokowi, di antaranya citywalk, bus tingkat Werkudara, kereta uap Jaladara hingga railbus Batara Kresna. F-PKS DPRD Kota Surakarta melihat ada indikasi proyek-proyek tersebut belum dipersiapkan secara matang dan dimaksudkan untuk jangka panjang tidak hanya sekadar mode. Sedangkan F-PD mempersoalkan laporan keterangan pertanggungjawaban (LKPJ) Walikota tahun 2011. Yakni, berdasarkan LKPJ 2011 dikatakan bahwa ruang terbuka hijau (RTH) di Kota Solo tahun 2011 mencapai 18 persen. Namun faktanya, banyak RTH yang kondisinya terbengkalai atau tidak terawat.
6) Jokowi Gagal Sebagai Tokoh Pengayom?
Pendekatan humanis yang dilakukan Jokowi kepada warganya, ternyata belum terlalu jitu untuk menghindari terjadi gesekan di Kota Solo. Awal Mei 2012 lalu contohnya. Dua kelompok massa terlibat bentrok di Jalan RE Martadinata Gandekan, Kecamatan Jebres, Kota Solo, Jawa Tengah yang menyebabkan dua korban luka terkena sabetan pedang. Menurut pantauan di Jalan RE Martadinata Gandekan Solo, ribuan kelompok ormas mendatangi daerah Kampung Sewu dan Gandekan dengan berjalan kaki. Mereka membawa senjata tajam, batang besi, ketapel dan tongkat pemukul, melintas di Jalan Tanggul dan memutar melalui RE Martadinata, seperti yang dilansir Antara News.
Sejumlah orang dari kelompok ormas, sebagian bersenjata tajam, masuk di gang Bangunharjo RT 1 RW 9, Gandekan dan langsung membacok korban, Ngadiman (60)-seorang tukang bengkel sepeda yang sedang duduk-duduk. Ngadiman terkena sabetan dari kelompok Ormas itu, terluka di kepala dan tangannya. Korban lainya, Haris, warga sekitar, tiga jarinya putus diduga terkena sabetan pedang dari kelompok Ormas. Kedatangan kelompok Ormas tersebut membuat Kampung Sewu dan Gandekan cukup mencekam terutama di Jalan RE Martadinata. Toko-toko di sepanjang jalan itu tutup, karena khawatir akan terjadi bentrok antara kedua kelompok tersebut. Dari enam aspek tersebut, kita dapat menilai rekam jejaknya dan siapa sesungguhnya Jokowi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar