Sejarah Kelam Tambang Freeport (1)
Muhammad Nuh – Senin, 18 Muharram 1431 H / 4 Januari 2010 11:16 WIB
Berikut ini merupakan laporan khusus yang ditulis oleh Ketua KPK-N (Komite Penyelamat Kekayaan Negara), Marwan Batubara *). Laporan khusus ini tersaji dalam sebuah buku beliau yang berjudul ‘Menggugat Pengelolaan Sumber Daya Alam, Menuju Negara Berdaulat’.
Insya Allah, Eramuslim akan memuat tulisan ini dalam rubrik laporan khusus yang disajikan secara berseri.
***
Latar Belakang
Aktivitas pertambangan PT Freeport McMoran Indonesia (Freeport) di Papua yang dimulai sejak tahun 1967 hingga saat ini telah berlangsung selama 42 tahun. Selama ini, kegiatan bisnis dan ekonomi Freeport di Papua, telah mencetak keuntungan finansial yang sangat besar bagi perusahaan asing tersebut, namun belum memberikan manfaat optimal bagi negara, Papua, dan masyarakat lokal di sekitar wilayah pertambangan.
Dari tahun ke tahun Freeport terus mereguk keuntungan dari tambang emas, perak, dan tembaga terbesar di dunia. Para petinggi Freeport terus mendapatkan fasilitas, tunjangan dan keuntungan yang besarnya mencapai 1 juta kali lipat pendapatan tahunan penduduk Timika, Papua. Keuntungan Freeport tak serta merta melahirkan kesejahteraan bagi warga sekitar. Kondisi wilayah Timika bagai api dalam sekam, tidak ada kondisi stabil yang menjamin masa depan penduduk Papua.
Penandatanganan Kontrak Karya (KK) I pertambangan antara pemerintah Indonesia dengan Freeport pada 1967, menjadi landasan bagi perusahaan ini mulai melakukan aktivitas pertambangan. Tak hanya itu, KK ini juga menjadi dasar penyusunan UU Pertambangan Nomor 11/1967, yang disahkan pada Desember 1967 atau delapan bulan berselang setelah penandatanganan KK.
Pada Maret 1973, Freeport memulai pertambangan terbuka di Ertsberg, kawasan yang selesai ditambang pada tahun 1980-an dan menyisakan lubang sedalam 360 meter. Pada tahun 1988, Freeport mulai mengeruk cadangan raksasa lainnya, Grasberg, yang masih berlangsung saat ini. Dari eksploitasi kedua wilayah ini, sekitar 7,3 juta ton tembaga dan 724, 7 juta ton emas telah mereka keruk. Pada bulan Juli 2005, lubang tambang Grasberg telah mencapai diameter 2,4 kilometer pada daerah seluas 499 ha dengan kedalaman 800m. Diperkirakan terdapat 18 juta ton cadangan tembaga, dan 1.430 ton cadangan emas yang tersisa hingga rencana penutupan tambang pada 2041.
Aktivitas Freeport yang berlangsung dalam kurun waktu lama ini telah menimbulkan berbagai masalah, terutama dalam hal penerimaan negara yang tidak optimal, peran negara/BUMN untuk ikut mengelola tambang yang sangat minim dan dampak lingkungan yang sangat signifikan, berupa rusaknya bentang alam pegunungan Grasberg dan Erstberg. Kerusakan lingkungan telah mengubah bentang alam seluas 166 km persegi di daerah aliran sungai Ajkwa.
Permasalahan
Freeport mengelola tambang terbesar di dunia di berbagai negara, yang didalamnya termasuk 50% cadangan emas di kepulauan Indonesia. Namun, sebagai hasil eksploitasi potensi tambang tersebut, hanya sebagian kecil pendapatan yang yang masuk ke kas negara dibandingkan dengan miliaran US$ keuntungan yang diperoleh Freeport. Kehadiran Freeport pun tidak mampu menyejahterakan masyarakat di sekitar wilayah pertambangan, namun berkontribusi sangat besar pada perkembangan perusahaan asing tersebut.
Pada tahun 1995 Freeport baru secara’resmi mengakui menambang emas di Papua. Sebelumnya sejak tahun 1973 hingga tahun 1994, Freeport mengaku hanya sebagai penambang tembaga. Jumlah volume emas yang ditambang selama 21 tahun tersebut tidak pernah diketahui publik, bahkan oleh orang Papua sendiri. Panitia Kerja Freeport dan beberapa anggota DPR RI Komisi VII pun mencurigai telah terjadi manipulasi dana atas potensi produksi emas Freeport. Mereka mencurigai jumlahnya lebih dari yang diperkirakan sebesar 2,16 hingga 2,5 miliar ton emas. DPR juga tidak percaya atas data kandungan konsentrat yang diinformasikan sepihak oleh Freeport. Anggota DPR berkesimpulan bahwa negara telah dirugikan selama lebih dari 30 tahun akibat tidak adanya pengawasan yang serius. Bahkan Departemen Keuangan melalui Dirjen Pajak dan Bea Cukai mengaku tidak tahu pasti berapa produksi Freeport berikut penerimaannya.
Di sisi lain, pemiskinan juga berlangsung di wilayah Mimika, yang penghasilannya hanya sekitar $132/tahun, pada tahun 2005. Kesejahteraan penduduk Papua tak secara otomatis terkerek naik dengan kehadiran Freeport yang ada di wilayah mereka tinggal. Di wilayah operasi Freeport, sebagian besar penduduk asli berada di bawah garis kemiskinan dan terpaksa hidup mengais emas yang tersisa dari limbah Freeport. Selain permasalahan kesenjangan ekonomi, aktivitas pertambangan Freeport juga merusak lingkungan secara masif serta menimbulkan pelanggaran HAM.
Timika bahkan menjadi tempat berkembangnya penyakit mematikan seperti HIV/AIDS dan jumlah tertinggi penderita HIV/AIDS berada di Papua. Keberadaan Freeport juga menyisakan persoalan pelanggaran HAM yang terkait dengan tindakan aparat keamanan Indonesia di masa lalu dan kini. Ratusan orang telah menjadi korban pelanggaran HAM berat bahkan meninggal dunia tanpa kejelasan. Hingga kini, tidak ada satu pun pelanggaran HAM yang ditindaklanjuti serius oleh pemerintah bahkan terkesan diabaikan.
Pemiskinan di Papua
Kegiatan penambangan dan ekonomi Freeport telah mencetak keuntungan finansial bagi perusahaan tersebut namun tidak bagi masyarakat lokal di sekitar wilayah pertambangan. Dari tahun ke tahun Freeport terus mereguk keuntungan dari tambang emas, perak, dan tembaga terbesar di dunia. Pendapatan utama Freeport adalah dari operasi tambangnya di Indonesia (sekitar 60%, Investor Daily, 10 Agustus 2009). Setiap hari hampir 700 ribu ton material dibongkar untuk menghasilkan 225 ribu ton bijih emas. Jumlah ini bisa disamakan dengan 70 ribu truk kapasitas angkut 10 ton berjejer sepanjang Jakarta hingga Surabaya (sepanjang 700 km).
Para petinggi Freeport mendapatkan fasilitas, tunjangan dan keuntungan yang besarnya mencapai 1 juta kali lipat pendapatan tahunan penduduk Timika, Papua. Keuntungan Freeport tak serta merta melahirkan kesejahteraan bagi warga sekitar. Di sisi lain, negara pun mengalami kerugian karena keuntungan Freeport yang masuk ke kas negara sangatlah kecil jika dibandingkan keuntungan total yang dinikmati Freeport.
Keberadaan Freeport tidak banyak berkontribusi bagi masyarakat Papua, bahkan pembangunan di Papua dinilai gagal. Kegagalan pembangunan di Papua dapat dilihat dari buruknya angka kesejahteraan manusia di Kabupaten Mimika. Penduduk Kabupaten Mimika, lokasi di mana Freeport berada, terdiri dari 35% penduduk asli dan 65% pendatang. Pada tahun 2002, BPS mencatat sekitar 41 persen penduduk Papua dalam kondisi miskin, dengan komposisi 60% penduduk asli dan sisanya pendatang. Pada tahun 2005, Kemiskinan rakyat di Provinsi Papua, yang mencapai 80,07% atau 1,5 juta penduduk.
Hampir seluruh penduduk miskin Papua adalah warga asli Papua. Jadi penduduk asli Papua yang miskin adalah lebih dari 66% dan umumnya tinggal di pegunungan tengah, wilayah Kontrak Karya Frepoort. Kepala Biro Pusat Statistik propinsi Papua JA Djarot Soesanto, merelease data kemiskinan tahun 2006, bahwa setengah penduduk Papua miskin (47,99 %).
Di sisi lain, pendapatan pemerintah daerah Papua demikian bergantung pada sektor pertambangan. Sejak tahun 1975-2002 sebanyak 50% lebih PDRB Papua berasal dari pembayaran pajak, royalti dan bagi hasil sumberdaya alam tidak terbarukan, termasuk perusahaan migas. Artinya ketergantungan pendapatan daerah dari sektor ekstraktif akan menciptakan ketergantungan dan kerapuhan yang kronik bagi wilayah Papua.
Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Papua Barat memang menempati peringkat ke 3 dari 30 propinsi di Indonesi pada tahun 2005. Namun Indeks Pembangunan Manusi (IPM) Papua, yang diekspresikan dengan tingginya angka kematian ibu hamil dan balita karena masalah-masalah kekurangan gizi berada di urutan ke-29. Lebih parah lagi, kantong-kantong kemiskinan tersebut berada di kawasan konsesi pertambangan Freeport.
Selain itu, situs tambang Freeport di puncak gunung berada pada ketinggian 4.270 meter, suhu terendah mencapai 2 derajat Celcius. Kilang pemrosesan berada pada ketinggian 3.000 m, curah hujan tahuan di daerah tersebut 4.000-5.000 mm, sedangkan kaki bukit menerima curah hujan tahunan lebih tinggi, 12.100 mm dan suhu berkisar 18-30 derajat Celcius. Dengan kondisi alam seperti ini, kawasan di bawah areal pertambangan Freeport mempunyai tingkat kerawanan tinggi terhadap bencana tanah longsor. Pada 9 Oktober 2003, terjadi longsor di bagian selatan area tambang terbuka Grasberg, menewaskan 13 orang karyawan Freeport. Walhi merelease longsor terjadi akibat lemahnya kepedulian Freeport terhadap lingkungan. Padahal, mereka mengetahui lokasi penambangan Grasberg adalah daerah rawan bencana akibat topografi wilayah serta tingginya curah hujan. Jebolnya dam penampungan tailing di Danau Wanagon pada tahun 2000, menyebabkan tewasnya empat pekerja sub-kontraktor Freeport. Terjadi longsor di lokasi pertambangan Grasberg pada Kamis, 9 Oktober 2003.
Kronologi Sosial-Ekonomi
Kegiatan bisnis dan ekonomi Freeport di Papua selama ini, tak hanya mencetak keuntungan finansial bagi perusahaan tersebut tetapi juga memantik munculnya masalah sosial. Belum ada solusi yang dianggap efektif dalam penyelesaian masalah yang muncul itu dan sewaktu-waktu berpotensi untuk meletup. Berikut disampaikan kronologi aspek sosial-ekonomi operasi Freeport:
16 Februari 1623.
Kapten Jan Carstensz, seorang pelaut Belanda, melihat puncak gunung tertinggi di Irian, lalu mencatat dalam log book-nya. Inilah catatan pertama orang asing tentang Puncak Carstenz dan kelak menjadi daerah operasi PT Freeport Indonesia.
23 November 1936.
Ekspedisi Colijn dan Jean Jacquez Dozy dari Belanda, berhasil mencapai Carstenz. Mereka kemudian mengumpulkan contoh batuan.
Tahun 1936.
Geolog Dr. C. Shouten menyimpulkan bahwa kawasan Carstenz mengandung tembaga dan emas. Sejak itu nama Ertsberg (gunung bijih) dipakai untuk menyebut kawasan tertinggi di New Guinea itu. Ekspedisi napak tilas dilakukan pada Juni 1960, dipimpin Forbes Wilson dan Del Flint–berdasar laporan Colijn–seiring dengan pemetaan geologi.
Maret 1966.
Soeharto dan pemerintah Orde Baru mulai menggenjot masuknya modal asing dengan berbagai deregulasi baru. Prof. M. Sadli, Menteri Pertambangan, mengumumkan pemberian konsesi kepada Freeport Mc Moran di Irian, dengan alasan merekalah satu-satunya yang lebih dulu meminta konsesi di kawasan itu.
Juni 1966.
Tim Freeport datang ke Jakarta untuk memprakarsai suatu pembicaraan untuk mewujudkan kontrak pertambangan di Ertsberg. Orang yang dipilih sebagai negosiator dan kelak menjadi presiden Freeport Indonesia (FI) adalah Ali Budiardjo, yakni mantan sekjen Hankam dan direktur Bappenas tahun 1950-an.
5 April 1967.
Kontrak kerja (KK) I ditandatangani dan membuat Freeport menjadi perusahaan satu-satunya yang ditunjuk untuk menangani kawasan Ertsberg seluas 10 kilometer persegi. KK I ini lamanya 30 tahun. Kontrak dinyatakan mulai berlaku saat perusahaan mulai beroperasi. Bulan Desember, eksplorasi Ertsberg dimulai.
Desember 1969.
Studi kelayakan proyek selesai dan disetujui. Mei 1970, konstruksi keseluruhan proyek mulai dikerjakan. Teknologi rekayasa FCX di remote area tertinggi di Asia Tenggara ini mengundang decak kagum tersendiri karena tingkat kesulitannya sangat tinggi.
Desember 1972.
Pengapalan 10.000 ton tembaga dari tambang Ertsberg dilakukan untuk pertama kalinya ke Jepang.
Maret 1973.
Presiden Soeharto meninjau daerah operasi Freeport dan memberikan nama Tembagapura untuk kota baru Freeport.
Tahun 1974.
Sepanjang 1972 sampai 1973 terjadi beberapa perkelahian yang mengakibatkan terbunuhnya karyawan Freeport, hingga memaksa mereka membuat ”January Agreement” dengan warga desa Wa-Amungme untuk membangun sekolah dan fasilitas umum lainnya.
Juli 1976
Pemerintah Indonesia mendapat bagian saham sebesar 8,5% dari saham Freeport. Angka ini hingga 1998 bertahan di level 10 persen dan royalti satu persen.
April 1981.
Ertsberg Timur mulai ditambang dan produksi FI mencapai 16.000 ton per hari sebelum cadangan Grasberg ditemukan.
28 Januari 1988.
Dugaan deposit emas di kawasan Grasberg menunjukkan hasil positif. Freeport Mc Moran Copper and Gold (FCX) akhirnya go public di lantai bursa New York. Menurut Yuli Ismartono–pejabat public relations FI–setiap hari dalam tahun 1988 kira-kira dua juta lembar saham FCX terjual.
Dengan tambahan cadangan emas di Grasberg dan cadangan lainnya, jumlah depositnya diperkirakan mencapai jumlah 200 juta ton. Dalam laporan studi evaluasi lingkungan (SEL) 160 K yang disetujui pada 1994, total deposit yang ada meningkat hingga dua miliar ton.
30 Desember 1991.
KK I berakhir dan Freeport memperoleh kembali KK II selama 30 tahun. Bagi banyak orang, KK II ini berlangsung tidak transparan, bahkan tertutup. Anehnya, pemerintah yang ditawari untuk memperbesar sahamnya menyatakan tidak berminat, padahal perusahaan ini jelas-jelas menguntungkan.
Mulai saat itu, masuklah pengusaha nasional Aburizal Bakrie (Bakrie Grup). ”Kami sudah menawarkan, tapi hanya Bakrie yang datang,” kata James Moffet, Preskom Freeport berbasa-basi. Preskom. Belakangan masuk Bob Hasan (Nusamba), yang dikenal sebagai kroni Soeharto, dan Menaker kabinet Soeharto, Abdul Latief (A Latief Corp.)
22 Agustus – 15 September 1995
Komnas HAM melakukan investigasi pelanggaran HAM yang terjadi di daerah Timika dan sekitarnya. Kesimpulan anggota tim investigasi Komnas HAM, mengungkapkan bahwa selama 1993-1995 telah terjadi 6 jenis pelanggaran HAM, yang mengakibatkan 16 penduduk terbunuh dan empat orang masih dinyatakan hilang. Pelanggaran ini dilakukan baik oleh aparat keamanan FI maupun pihak tentara Indonesia.
17 Januari 1996
Dalam selembar surat jawaban kepada editor American Statement, Ralph Haurwitz, Atase Penerangan Kedubes Amerika Serikat di Jakarta Craig J. Stromme menyatakan bahwa tidak ditemukan bukti yang dapat dipercaya atas tuduhan pelanggaran HAM oleh Freeport di Irian Jaya.
29 April 1966
Gugatan Tom Beanal, Ketua Lembaga Adat Suku Amungme (Lemasa) terdaftar di pengadilan Louisiana, markas besar FCX, dengan kasus no.96-1474. Belakangan, gugatan ini ditolak dan pengadilan menyatakan Freeport tidak terbukti melakukan pelanggaran HAM.
29 Juni 1996
Lemasa menolak dana sebesar 1 persen keuntungan Freeport (US$ 15 juta) yang rencananya diberikan kepada suku di daerah operasi Freeport. Penolakan juga datang dari gereja setempat.
30 September 1997
Menteri Lingkungan Hidup Sarwono Kusumaatmadja, melalui Bapedal, selesai memeriksa dan menyetujui laporan Amdal Regional untuk perluasan kegiatan penambangan dan peningkatan kapasitas produksi Freeport hingga 300.000 ton per hari.
Tetapi Walhi yang ikut dalam komisi itu menyatakan tidak setuju : “Atmosfer pertemuan itu kental dengan bau politis, sementara banyak anggota komisi sebenarnya tidak setuju dengan perluasan itu, tapi tak kuasa menolak,” kata Emmy Hafid, Direktur Walhi.
11 Maret 1998
Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dalam pemandangan umumnya pada Sidang Umum MPR 1998, secara terbuka menyebut pembagian keuntungan antara Freeport dan pemerintah Indonesia adalah salah satu kontrak yang sangat merugikan negara dan rakyat Indonesia.
5 November 1998
Direktur PT Freeport Indonesia, Jim “bob” Moffett datang ke Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk menjelaskan dugaan KKN di Freeport, termasuk perpanjangan KK II yang tertutup dan diduga sarat KKN. “Tidak ada KKN di Freeport, dan tidak adil kalau Anda menyuruh saya juga mengurusi masalah pembagian keuntungan. Saya bukan orang pemerintahan,“ kata Jim Moffet dalam jumpa persnya seusai menghadap Kejagung.
Tahun 2002
Keterlibatan salah seorang prajurit TNI dalam kasus penyerangan bus karyawan Freeport di Timika
September 2008
Freeport menciutkan target produksi tembaga dan emas tahun 2008 ini lantaran ada gangguan teknis di lokasi penambangan Grasberg, Papua. Awalnya, Freeport mematok produksi tembaga 1,2 miliar pounds dan emas 1,3 juta ounce. Karena gangguan ini, produksi dibuat lebih mini, tembaga 1,1 miliar pounds dan emas 1,1 juta ounc.
11 Desember 2008
Freeport memecat 75 karyawan, Freeport melakukan efisiensi dari sisi jumlah karyawan untuk mengurangi sedikit biaya operasional perusahaan, sebagai imbas dari resesi ekonomi dunia.
27 Juli 2009
Dua Karyawan Freeport menjadi tersangka kasus penembakan. Polisi menetapkan tujuh tersangka terkait kasus penembakan di Freeport, Timika, Provinsi Papua. Dua dari tujuh tersangka tersebut merupakan karyawan Freeport. (bersambung)
foto ilustrasi: welkis.wordpress
*) Tentang Penulis:
Marwan Batubara, lahir di Delitua, Sumatera Utara, 6 Juli 1955. Marwan adalah anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI periode 2004-2009, mewakili provinsi DKI Jakarta. Menamatkan S1 di Jurusan Tehnik Elektro Universitas Indonesia dan S2 bidang Computing di Monash University (Australia). Marwan adalah mantan karyawan Indosat 1977-2003 dengan jabatan terakhir sebagai General Manager di Indosat. Melalui wadah Komite Penyelamatan Kekayaan Negara (KPK-N), ke depan Marwan berharap bisa berperan untuk mengadvokasi kebijakan-kebijakan pengelolaan sumberdaya alam, agar dapat bermanfaat untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Insya Allah, Eramuslim akan memuat tulisan ini dalam rubrik laporan khusus yang disajikan secara berseri.
***
Latar Belakang
Aktivitas pertambangan PT Freeport McMoran Indonesia (Freeport) di Papua yang dimulai sejak tahun 1967 hingga saat ini telah berlangsung selama 42 tahun. Selama ini, kegiatan bisnis dan ekonomi Freeport di Papua, telah mencetak keuntungan finansial yang sangat besar bagi perusahaan asing tersebut, namun belum memberikan manfaat optimal bagi negara, Papua, dan masyarakat lokal di sekitar wilayah pertambangan.
Dari tahun ke tahun Freeport terus mereguk keuntungan dari tambang emas, perak, dan tembaga terbesar di dunia. Para petinggi Freeport terus mendapatkan fasilitas, tunjangan dan keuntungan yang besarnya mencapai 1 juta kali lipat pendapatan tahunan penduduk Timika, Papua. Keuntungan Freeport tak serta merta melahirkan kesejahteraan bagi warga sekitar. Kondisi wilayah Timika bagai api dalam sekam, tidak ada kondisi stabil yang menjamin masa depan penduduk Papua.
Penandatanganan Kontrak Karya (KK) I pertambangan antara pemerintah Indonesia dengan Freeport pada 1967, menjadi landasan bagi perusahaan ini mulai melakukan aktivitas pertambangan. Tak hanya itu, KK ini juga menjadi dasar penyusunan UU Pertambangan Nomor 11/1967, yang disahkan pada Desember 1967 atau delapan bulan berselang setelah penandatanganan KK.
Pada Maret 1973, Freeport memulai pertambangan terbuka di Ertsberg, kawasan yang selesai ditambang pada tahun 1980-an dan menyisakan lubang sedalam 360 meter. Pada tahun 1988, Freeport mulai mengeruk cadangan raksasa lainnya, Grasberg, yang masih berlangsung saat ini. Dari eksploitasi kedua wilayah ini, sekitar 7,3 juta ton tembaga dan 724, 7 juta ton emas telah mereka keruk. Pada bulan Juli 2005, lubang tambang Grasberg telah mencapai diameter 2,4 kilometer pada daerah seluas 499 ha dengan kedalaman 800m. Diperkirakan terdapat 18 juta ton cadangan tembaga, dan 1.430 ton cadangan emas yang tersisa hingga rencana penutupan tambang pada 2041.
Aktivitas Freeport yang berlangsung dalam kurun waktu lama ini telah menimbulkan berbagai masalah, terutama dalam hal penerimaan negara yang tidak optimal, peran negara/BUMN untuk ikut mengelola tambang yang sangat minim dan dampak lingkungan yang sangat signifikan, berupa rusaknya bentang alam pegunungan Grasberg dan Erstberg. Kerusakan lingkungan telah mengubah bentang alam seluas 166 km persegi di daerah aliran sungai Ajkwa.
Permasalahan
Freeport mengelola tambang terbesar di dunia di berbagai negara, yang didalamnya termasuk 50% cadangan emas di kepulauan Indonesia. Namun, sebagai hasil eksploitasi potensi tambang tersebut, hanya sebagian kecil pendapatan yang yang masuk ke kas negara dibandingkan dengan miliaran US$ keuntungan yang diperoleh Freeport. Kehadiran Freeport pun tidak mampu menyejahterakan masyarakat di sekitar wilayah pertambangan, namun berkontribusi sangat besar pada perkembangan perusahaan asing tersebut.
Pada tahun 1995 Freeport baru secara’resmi mengakui menambang emas di Papua. Sebelumnya sejak tahun 1973 hingga tahun 1994, Freeport mengaku hanya sebagai penambang tembaga. Jumlah volume emas yang ditambang selama 21 tahun tersebut tidak pernah diketahui publik, bahkan oleh orang Papua sendiri. Panitia Kerja Freeport dan beberapa anggota DPR RI Komisi VII pun mencurigai telah terjadi manipulasi dana atas potensi produksi emas Freeport. Mereka mencurigai jumlahnya lebih dari yang diperkirakan sebesar 2,16 hingga 2,5 miliar ton emas. DPR juga tidak percaya atas data kandungan konsentrat yang diinformasikan sepihak oleh Freeport. Anggota DPR berkesimpulan bahwa negara telah dirugikan selama lebih dari 30 tahun akibat tidak adanya pengawasan yang serius. Bahkan Departemen Keuangan melalui Dirjen Pajak dan Bea Cukai mengaku tidak tahu pasti berapa produksi Freeport berikut penerimaannya.
Di sisi lain, pemiskinan juga berlangsung di wilayah Mimika, yang penghasilannya hanya sekitar $132/tahun, pada tahun 2005. Kesejahteraan penduduk Papua tak secara otomatis terkerek naik dengan kehadiran Freeport yang ada di wilayah mereka tinggal. Di wilayah operasi Freeport, sebagian besar penduduk asli berada di bawah garis kemiskinan dan terpaksa hidup mengais emas yang tersisa dari limbah Freeport. Selain permasalahan kesenjangan ekonomi, aktivitas pertambangan Freeport juga merusak lingkungan secara masif serta menimbulkan pelanggaran HAM.
Timika bahkan menjadi tempat berkembangnya penyakit mematikan seperti HIV/AIDS dan jumlah tertinggi penderita HIV/AIDS berada di Papua. Keberadaan Freeport juga menyisakan persoalan pelanggaran HAM yang terkait dengan tindakan aparat keamanan Indonesia di masa lalu dan kini. Ratusan orang telah menjadi korban pelanggaran HAM berat bahkan meninggal dunia tanpa kejelasan. Hingga kini, tidak ada satu pun pelanggaran HAM yang ditindaklanjuti serius oleh pemerintah bahkan terkesan diabaikan.
Pemiskinan di Papua
Kegiatan penambangan dan ekonomi Freeport telah mencetak keuntungan finansial bagi perusahaan tersebut namun tidak bagi masyarakat lokal di sekitar wilayah pertambangan. Dari tahun ke tahun Freeport terus mereguk keuntungan dari tambang emas, perak, dan tembaga terbesar di dunia. Pendapatan utama Freeport adalah dari operasi tambangnya di Indonesia (sekitar 60%, Investor Daily, 10 Agustus 2009). Setiap hari hampir 700 ribu ton material dibongkar untuk menghasilkan 225 ribu ton bijih emas. Jumlah ini bisa disamakan dengan 70 ribu truk kapasitas angkut 10 ton berjejer sepanjang Jakarta hingga Surabaya (sepanjang 700 km).
Para petinggi Freeport mendapatkan fasilitas, tunjangan dan keuntungan yang besarnya mencapai 1 juta kali lipat pendapatan tahunan penduduk Timika, Papua. Keuntungan Freeport tak serta merta melahirkan kesejahteraan bagi warga sekitar. Di sisi lain, negara pun mengalami kerugian karena keuntungan Freeport yang masuk ke kas negara sangatlah kecil jika dibandingkan keuntungan total yang dinikmati Freeport.
Keberadaan Freeport tidak banyak berkontribusi bagi masyarakat Papua, bahkan pembangunan di Papua dinilai gagal. Kegagalan pembangunan di Papua dapat dilihat dari buruknya angka kesejahteraan manusia di Kabupaten Mimika. Penduduk Kabupaten Mimika, lokasi di mana Freeport berada, terdiri dari 35% penduduk asli dan 65% pendatang. Pada tahun 2002, BPS mencatat sekitar 41 persen penduduk Papua dalam kondisi miskin, dengan komposisi 60% penduduk asli dan sisanya pendatang. Pada tahun 2005, Kemiskinan rakyat di Provinsi Papua, yang mencapai 80,07% atau 1,5 juta penduduk.
Hampir seluruh penduduk miskin Papua adalah warga asli Papua. Jadi penduduk asli Papua yang miskin adalah lebih dari 66% dan umumnya tinggal di pegunungan tengah, wilayah Kontrak Karya Frepoort. Kepala Biro Pusat Statistik propinsi Papua JA Djarot Soesanto, merelease data kemiskinan tahun 2006, bahwa setengah penduduk Papua miskin (47,99 %).
Di sisi lain, pendapatan pemerintah daerah Papua demikian bergantung pada sektor pertambangan. Sejak tahun 1975-2002 sebanyak 50% lebih PDRB Papua berasal dari pembayaran pajak, royalti dan bagi hasil sumberdaya alam tidak terbarukan, termasuk perusahaan migas. Artinya ketergantungan pendapatan daerah dari sektor ekstraktif akan menciptakan ketergantungan dan kerapuhan yang kronik bagi wilayah Papua.
Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Papua Barat memang menempati peringkat ke 3 dari 30 propinsi di Indonesi pada tahun 2005. Namun Indeks Pembangunan Manusi (IPM) Papua, yang diekspresikan dengan tingginya angka kematian ibu hamil dan balita karena masalah-masalah kekurangan gizi berada di urutan ke-29. Lebih parah lagi, kantong-kantong kemiskinan tersebut berada di kawasan konsesi pertambangan Freeport.
Selain itu, situs tambang Freeport di puncak gunung berada pada ketinggian 4.270 meter, suhu terendah mencapai 2 derajat Celcius. Kilang pemrosesan berada pada ketinggian 3.000 m, curah hujan tahuan di daerah tersebut 4.000-5.000 mm, sedangkan kaki bukit menerima curah hujan tahunan lebih tinggi, 12.100 mm dan suhu berkisar 18-30 derajat Celcius. Dengan kondisi alam seperti ini, kawasan di bawah areal pertambangan Freeport mempunyai tingkat kerawanan tinggi terhadap bencana tanah longsor. Pada 9 Oktober 2003, terjadi longsor di bagian selatan area tambang terbuka Grasberg, menewaskan 13 orang karyawan Freeport. Walhi merelease longsor terjadi akibat lemahnya kepedulian Freeport terhadap lingkungan. Padahal, mereka mengetahui lokasi penambangan Grasberg adalah daerah rawan bencana akibat topografi wilayah serta tingginya curah hujan. Jebolnya dam penampungan tailing di Danau Wanagon pada tahun 2000, menyebabkan tewasnya empat pekerja sub-kontraktor Freeport. Terjadi longsor di lokasi pertambangan Grasberg pada Kamis, 9 Oktober 2003.
Kronologi Sosial-Ekonomi
Kegiatan bisnis dan ekonomi Freeport di Papua selama ini, tak hanya mencetak keuntungan finansial bagi perusahaan tersebut tetapi juga memantik munculnya masalah sosial. Belum ada solusi yang dianggap efektif dalam penyelesaian masalah yang muncul itu dan sewaktu-waktu berpotensi untuk meletup. Berikut disampaikan kronologi aspek sosial-ekonomi operasi Freeport:
16 Februari 1623.
Kapten Jan Carstensz, seorang pelaut Belanda, melihat puncak gunung tertinggi di Irian, lalu mencatat dalam log book-nya. Inilah catatan pertama orang asing tentang Puncak Carstenz dan kelak menjadi daerah operasi PT Freeport Indonesia.
23 November 1936.
Ekspedisi Colijn dan Jean Jacquez Dozy dari Belanda, berhasil mencapai Carstenz. Mereka kemudian mengumpulkan contoh batuan.
Tahun 1936.
Geolog Dr. C. Shouten menyimpulkan bahwa kawasan Carstenz mengandung tembaga dan emas. Sejak itu nama Ertsberg (gunung bijih) dipakai untuk menyebut kawasan tertinggi di New Guinea itu. Ekspedisi napak tilas dilakukan pada Juni 1960, dipimpin Forbes Wilson dan Del Flint–berdasar laporan Colijn–seiring dengan pemetaan geologi.
Maret 1966.
Soeharto dan pemerintah Orde Baru mulai menggenjot masuknya modal asing dengan berbagai deregulasi baru. Prof. M. Sadli, Menteri Pertambangan, mengumumkan pemberian konsesi kepada Freeport Mc Moran di Irian, dengan alasan merekalah satu-satunya yang lebih dulu meminta konsesi di kawasan itu.
Juni 1966.
Tim Freeport datang ke Jakarta untuk memprakarsai suatu pembicaraan untuk mewujudkan kontrak pertambangan di Ertsberg. Orang yang dipilih sebagai negosiator dan kelak menjadi presiden Freeport Indonesia (FI) adalah Ali Budiardjo, yakni mantan sekjen Hankam dan direktur Bappenas tahun 1950-an.
5 April 1967.
Kontrak kerja (KK) I ditandatangani dan membuat Freeport menjadi perusahaan satu-satunya yang ditunjuk untuk menangani kawasan Ertsberg seluas 10 kilometer persegi. KK I ini lamanya 30 tahun. Kontrak dinyatakan mulai berlaku saat perusahaan mulai beroperasi. Bulan Desember, eksplorasi Ertsberg dimulai.
Desember 1969.
Studi kelayakan proyek selesai dan disetujui. Mei 1970, konstruksi keseluruhan proyek mulai dikerjakan. Teknologi rekayasa FCX di remote area tertinggi di Asia Tenggara ini mengundang decak kagum tersendiri karena tingkat kesulitannya sangat tinggi.
Desember 1972.
Pengapalan 10.000 ton tembaga dari tambang Ertsberg dilakukan untuk pertama kalinya ke Jepang.
Maret 1973.
Presiden Soeharto meninjau daerah operasi Freeport dan memberikan nama Tembagapura untuk kota baru Freeport.
Tahun 1974.
Sepanjang 1972 sampai 1973 terjadi beberapa perkelahian yang mengakibatkan terbunuhnya karyawan Freeport, hingga memaksa mereka membuat ”January Agreement” dengan warga desa Wa-Amungme untuk membangun sekolah dan fasilitas umum lainnya.
Juli 1976
Pemerintah Indonesia mendapat bagian saham sebesar 8,5% dari saham Freeport. Angka ini hingga 1998 bertahan di level 10 persen dan royalti satu persen.
April 1981.
Ertsberg Timur mulai ditambang dan produksi FI mencapai 16.000 ton per hari sebelum cadangan Grasberg ditemukan.
28 Januari 1988.
Dugaan deposit emas di kawasan Grasberg menunjukkan hasil positif. Freeport Mc Moran Copper and Gold (FCX) akhirnya go public di lantai bursa New York. Menurut Yuli Ismartono–pejabat public relations FI–setiap hari dalam tahun 1988 kira-kira dua juta lembar saham FCX terjual.
Dengan tambahan cadangan emas di Grasberg dan cadangan lainnya, jumlah depositnya diperkirakan mencapai jumlah 200 juta ton. Dalam laporan studi evaluasi lingkungan (SEL) 160 K yang disetujui pada 1994, total deposit yang ada meningkat hingga dua miliar ton.
30 Desember 1991.
KK I berakhir dan Freeport memperoleh kembali KK II selama 30 tahun. Bagi banyak orang, KK II ini berlangsung tidak transparan, bahkan tertutup. Anehnya, pemerintah yang ditawari untuk memperbesar sahamnya menyatakan tidak berminat, padahal perusahaan ini jelas-jelas menguntungkan.
Mulai saat itu, masuklah pengusaha nasional Aburizal Bakrie (Bakrie Grup). ”Kami sudah menawarkan, tapi hanya Bakrie yang datang,” kata James Moffet, Preskom Freeport berbasa-basi. Preskom. Belakangan masuk Bob Hasan (Nusamba), yang dikenal sebagai kroni Soeharto, dan Menaker kabinet Soeharto, Abdul Latief (A Latief Corp.)
22 Agustus – 15 September 1995
Komnas HAM melakukan investigasi pelanggaran HAM yang terjadi di daerah Timika dan sekitarnya. Kesimpulan anggota tim investigasi Komnas HAM, mengungkapkan bahwa selama 1993-1995 telah terjadi 6 jenis pelanggaran HAM, yang mengakibatkan 16 penduduk terbunuh dan empat orang masih dinyatakan hilang. Pelanggaran ini dilakukan baik oleh aparat keamanan FI maupun pihak tentara Indonesia.
17 Januari 1996
Dalam selembar surat jawaban kepada editor American Statement, Ralph Haurwitz, Atase Penerangan Kedubes Amerika Serikat di Jakarta Craig J. Stromme menyatakan bahwa tidak ditemukan bukti yang dapat dipercaya atas tuduhan pelanggaran HAM oleh Freeport di Irian Jaya.
29 April 1966
Gugatan Tom Beanal, Ketua Lembaga Adat Suku Amungme (Lemasa) terdaftar di pengadilan Louisiana, markas besar FCX, dengan kasus no.96-1474. Belakangan, gugatan ini ditolak dan pengadilan menyatakan Freeport tidak terbukti melakukan pelanggaran HAM.
29 Juni 1996
Lemasa menolak dana sebesar 1 persen keuntungan Freeport (US$ 15 juta) yang rencananya diberikan kepada suku di daerah operasi Freeport. Penolakan juga datang dari gereja setempat.
30 September 1997
Menteri Lingkungan Hidup Sarwono Kusumaatmadja, melalui Bapedal, selesai memeriksa dan menyetujui laporan Amdal Regional untuk perluasan kegiatan penambangan dan peningkatan kapasitas produksi Freeport hingga 300.000 ton per hari.
Tetapi Walhi yang ikut dalam komisi itu menyatakan tidak setuju : “Atmosfer pertemuan itu kental dengan bau politis, sementara banyak anggota komisi sebenarnya tidak setuju dengan perluasan itu, tapi tak kuasa menolak,” kata Emmy Hafid, Direktur Walhi.
11 Maret 1998
Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dalam pemandangan umumnya pada Sidang Umum MPR 1998, secara terbuka menyebut pembagian keuntungan antara Freeport dan pemerintah Indonesia adalah salah satu kontrak yang sangat merugikan negara dan rakyat Indonesia.
5 November 1998
Direktur PT Freeport Indonesia, Jim “bob” Moffett datang ke Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk menjelaskan dugaan KKN di Freeport, termasuk perpanjangan KK II yang tertutup dan diduga sarat KKN. “Tidak ada KKN di Freeport, dan tidak adil kalau Anda menyuruh saya juga mengurusi masalah pembagian keuntungan. Saya bukan orang pemerintahan,“ kata Jim Moffet dalam jumpa persnya seusai menghadap Kejagung.
Tahun 2002
Keterlibatan salah seorang prajurit TNI dalam kasus penyerangan bus karyawan Freeport di Timika
September 2008
Freeport menciutkan target produksi tembaga dan emas tahun 2008 ini lantaran ada gangguan teknis di lokasi penambangan Grasberg, Papua. Awalnya, Freeport mematok produksi tembaga 1,2 miliar pounds dan emas 1,3 juta ounce. Karena gangguan ini, produksi dibuat lebih mini, tembaga 1,1 miliar pounds dan emas 1,1 juta ounc.
11 Desember 2008
Freeport memecat 75 karyawan, Freeport melakukan efisiensi dari sisi jumlah karyawan untuk mengurangi sedikit biaya operasional perusahaan, sebagai imbas dari resesi ekonomi dunia.
27 Juli 2009
Dua Karyawan Freeport menjadi tersangka kasus penembakan. Polisi menetapkan tujuh tersangka terkait kasus penembakan di Freeport, Timika, Provinsi Papua. Dua dari tujuh tersangka tersebut merupakan karyawan Freeport. (bersambung)
foto ilustrasi: welkis.wordpress
*) Tentang Penulis:
Marwan Batubara, lahir di Delitua, Sumatera Utara, 6 Juli 1955. Marwan adalah anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI periode 2004-2009, mewakili provinsi DKI Jakarta. Menamatkan S1 di Jurusan Tehnik Elektro Universitas Indonesia dan S2 bidang Computing di Monash University (Australia). Marwan adalah mantan karyawan Indosat 1977-2003 dengan jabatan terakhir sebagai General Manager di Indosat. Melalui wadah Komite Penyelamatan Kekayaan Negara (KPK-N), ke depan Marwan berharap bisa berperan untuk mengadvokasi kebijakan-kebijakan pengelolaan sumberdaya alam, agar dapat bermanfaat untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar