Jumat, 18 Juli 2014

Skenario Cadangan CSIS Bila Jokowi Kalah

Oleh. A m Panjaitan
Hari ini Ulin Yusron melalui akun twitternya secara implisit menuduh Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Husni Kamil Manik memihak Prabowo-Hatta karena menolak diwawancara Tempo dan tidak mau dukung Jokowi-Jusuf Kalla: "Ketua KPU menolak diwawancarai Tempo. Dia bilang, 'Buat apa diwawancara Tempo? Buat mendukung misi Tempo endorsing salah satu calon?' Ketahuan deh di mana posisi dia," 

(http://m.inilah.com/read/detail/2119762/inilah-bantahan-ketua-kpu-soal-tudingan-tempo)

Pernyataan Ulin Yusron tidak pantas dan tidak pada tempatnya karena dia mencoba menginsinuasikan bahwa bila Ketua KPU menolak mendukung Jokowi-JK maka dia sudah tidak netral. Yang lebih aneh lagi, pernyataan Ulin Yusron ini sebenarnya senada dengan pernyataan pendukung Jokowi-JK beberapa hari lalu seperti:

- Burhanuddin Muhtadi: salahkan KPU apabila mereka mengumumkan hasil yang berbeda dari quick count versi Jokowi-JK; 

- Ahmad Riyani (Koordinator ProJo Nasional dan Pemenangan Jawa Barat): mereka menggalang massa di seluruh kota besar untuk mendesak KPU agar netral dengan tidak memenangkan Prabowo-Hatta dan mereka akan menentang keputusan KPU yang memenangkan Prabowo-Hatta; 

- Boni Hargens: mengancam KPU akan berhadapan dengan rakyat bila hasil hitung KPU berbeda dengan hasil quick count yang memenangkan Jokowi-JK; dan

- Andrianof Chaniago, pendukung Jokowi-Jusuf Kalla sekaligus ketua persepsi akan mengeluarkan Puskaptis dari Persepsi karena mengeluarkan Quick Count yang tidak memenangkan Jokowi-Jusuf Kalla.

http://news.detik.com/read/2014/07/15/203335/2638175/1562/persepsi-akan-keluarkan-puskaptis-dari-keanggotaan

Kok bisa para pendukung Jokowi-Jusuf Kalla mengeluarkan pernyataan senada yang sama dalam beberapa hari terakhir bahwa netralitas KPU berarti Jokowi-JK menang dan bila tidak maka KPU akan "berhadapan dengan rakyat," yang merupakan petunjuk bahwa kubu Jokowi-JK akan benar-benar menganggap bahwa "hanya kecurangan yang bisa mengalahkan pasangan Jokowi-JK," dan oleh karena itu akan menurunkan aksi massa apabila tanggal 22 Juli 2014 nanti KPU memenangkan Prabowo-Hatta dengan tujuan mendesak KPU menganulir keputusan mereka yang memenangkan Prabowo-Hatta dengan alasan terjadi kecurangan sehingga Jokowi-JK. 

Tentu saja aksi massa besar-besaran tadi juga dimaksudkan untuk memberi tekanan kepada Mahkamah Konstitusi sebagai lokasi terakhir penentuan pemenang pilpres dengan harapan Mahkamah Konstitusi pada akhirnya akan memenangkan mereka. Bila skenario ini yang terjadi maka proses terpilihnya Jokowi-JK adalah 100% identik dengan proses terpilihnya Viktor Andriyovych Yushchenko menjadi presiden Ukraina dari 2005 s.d. 2010 sebagai bagian dari peristiwa yang dikenal sebagai Orange Revolution, dan sejauh ini kesamaan Jokowi dengan Yushchenko sangat banyak, antara lain:

- Berbeda dari presiden sebelumnya yaitu Leonid Kuchma dan capres yang didukung oleh Kuchma yakni Viktor Yanukovych yang pro kemandirian dan kerja sama dengan Rusia, Yushchenko politisi paling populer saat itu sangat pro integrasi dengan NATO, pro Amerika Serikat dan pro Eropa Barat. Ini jelas serupa dengan Jokowi yang merupakan politisi paling populer di Indonesia saat ini yang pro US serta mendukung program obral aset negara kepada asing yang terjadi pada zaman Megawati, dan sikap pro asing Jokowi ini berbeda secara diametral dengan lawannya yaitu Prabowo yang didukung presiden incumbent karena kesamaan visi yaitu kemandirian bangsa.

- Yushchenko melakukan kampanye dengan cara blusukan dan bertatap muka serta berkomunikasi langsung dengan masyarakat Ukraina dan pilpres hanya diikuti dua orang kandidat yaitu Yushchenko dan Yanukovych. Blusukan tentu saja adalah salah satu senjata andalan Jokowi dan saat ini pilpres di Indonesia hanya diikuti oleh dua pasang kandidat yaitu Jokowi dan Prabowo.

- Saat melakukan kampanye pada September 2004, Yushchenko tiba-tiba masuk ke klinik Rudolfinerhaus di Wina dan kemudian di dalam tubuhnya ditemukan zat bernama Tetrachlorodibenzodioxin (TCDD) yang sangat beracun dan menyebabkan sekujur wajahnya rusak. Yushchenko menuding bahwa pemerintah Ukraina telah meracuninya dalam acara makan malam dengan pejabat senior Ukraina pada 5 September 2004. Belakangan pada Juni 2008, David Zhavania, teman Yushchenko mengungkap kepada BBC bahwa cerita Yushchenko diracun adalah tidak benar dan hasil pemeriksaan laboratorium sudah dipalsukan. 

Keterangan ini dikonfirmasi majalah The Lancet pada Agustus 2009 di mana peneliti Swiss dan Ukraina menyimpulkan bahwa hasil lab yang menyatakan tingkat TCDD di dalam darah Yushchenko terlalu murni sehingga pasti dibuat dalam sebuah laboratorium karena tidak ada di pasaran. Selanjutnya pada September 2009, Larysa Cherenichenko, kepala penyidikan pidana pada Kejaksaan Agung Ukraina dan komisi bentukan Verkhovna Rada menyimpulkan bahwa laporan Yushchenko diracun adalah palsu untuk meningkatkan elektabilitasnya pada pilpres tahun 2004 dan racun di tubu Yushchenko disuntikan oleh dinas intelijen Amerika Serikat demi melaksanakan politik dizolimi atau play victim tersebut.

Walaupun tidak seekstrim Yushchenko yang sengaja meracuni dirinya sendiri sekedar untuk mencari simpati saat pilpres, namun politik dizolimi atau play victim berupa mau dilukai atau mau dibunuh dengan tujuan meningkatkan elektabilitas pada pilpres adalah taktik favorit Jokowi seperti kasus "mau diledakan di kapal" yang ternyata tidak benar atau Iklan RIP Jokowi yang terbukti dibuat dan disebar pendukungnya sendiri dan lain sebagainya.

- Setelah putaran kedua pilpres, pendukung Yushchenko mulai melempar isu bahwa pilpres penuh kecurangan antara lain pemilih yang sama memilih berulang kali. Kendati demikian hasil Exit Polls menyatakan bahwa Yushchenko menang dengan margin 11% tapi saat pengumuman resmi ternyata Yanukovych dinyatakan menang dengan margin 3%. Tudingan bahwa pilpres curang dan perbedaan Exit Polls dengan hasil perhitungan akhir adalah alasan Yushchenko dan pendukungnya menolak hasil pilpres dan selanjutnya melancarkan demonstrasi besar-besaran selama 13 hari di berbagai kota besar Ukraina yang melumpuhkan negara tersebut yang dikenal sebagai Orange Revolution sampai akhirnya Mahkamah Agung membatalkan hasil pilpres dan memerintahkan pemilihan ulang dengan hasil Yushchenko mendapat 52% suara.

Perkembangan terakhir kubu Jokowi-JK dinyatakan menang oleh berbagai Quick Count dan Exit Polls dari lembaga survei milik pendukungnya dengan perbedaan antara 3% sampai 5% dari Prabowo-Hatta. Selain itu kubu Jokowi-JK juga mengancam KPU supaya hasil perhitungan mereka tidak berbeda dari hasil perhitungan QC dan Exit Polls atau mereka akan melakukan aksi massa besar-besaran sebagai bentuk protes atas "ketidaknetralan KPU," Selanjutnya kubu Jokowi-JK mulai membangun opini bahwa pilpres berjalan curang, dan lain sebagainya.

- Setelah terpilih ternyata baru ketahuan bahwa Yushchenko adalah pemimpin yang sangat buruk dan tidak memiliki kompetensi dan hal ini menyebabkan Yushchenko gagal terpilih untuk kedua kalinya karena pada pilpres tahun 2010 hanya memperoleh 5,5% suara dan pada pileg tahun 2012, partainya hanya memperoleh 1,11% suara sehingga tidak bisa masuk ke dalam parlemen.

Rasanya Jokowi akan mengalami nasib yang sama khususnya bila kita melihat Laporan Audit BPK terhadap Pengelolaan APBD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2013 bahwa: aset Jakarta merosot dari Rp. 342trilyun menjadi Rp. 331trilyun; ada 86 transaksi tidak wajar yang merugikan keuangan daerah sebesar Rp. 1,54trilyun; kekurangan penerimaan daerah sebesar Rp. 95,01miliar dan 3E (tidak efektif, tidak efisien dan tidak ekonomis) menyebabkan kerugian Rp. 23,13miliar. Selain itu banyak dari realisasi belanja APBD DKI Jakarta itu yang tidak didukung dengan bukti pertanggung jawaban.

Apa sebenarnya alasan kubu Jokowi-JK terus dan konsisten melakukan kampanye hitam terhadap Prabowo setelah pencoblosan selesai sebagaimana isi twit Ulin Yusron di atas padahal tindakan tersebut tidak akan mempengaruhi perolehan suara karena pilpres sudah selesai dilakukan. Mengapa kubu Jokowi-JK melakukan pekerjaan yang sia-sia seperti itu?

Dari rentetan kejadian di atas maka hampir dapat dipastikan bahwa rencana cadangan CSIS seandainya Jokowi kalah mengarah kepada operasi untuk menjadikan Jokowi sebagai Yushchenko-nya Indonesia sehingga saat ini CSIS dan kubu Jokowi-JK sedang melakukan framing dan agenda setting bahwa pilpres berjalan curang, intimidasi dan terjadinya politik uang sesuai modus Orange Revolution. Setelah pengumuman kekalahan Jokowi-JK, maka CSIS yang berpengalaman menggalang aksi massa untuk membuat kerusuhan sejak peristiwa Malari itu akan segera bergerak dengan demonstrasi besar-besaran di kota-kota Indonesia yang melumpuhkan perekonomian negeri ini dan ketika TNI/Polri mencoba mengatasi kerusuhan tersebut, maka Jokowi-JK akan meminta bantuan "internasional" alias Amerika untuk melakukan intervensi dan tekanan langsung dengan alasan militer Indonesia melanggar HAM sipil. Skenario intervensi Amerika Serikat ini sudah mulai dilaksanakan melalui kedatangan Bill Clinton ke Indonesia.

Saya sebenarnya marah dengan skenario menang atau rusuh yang dicanangkan kubu Jokowi-JK ini. Berkali-kali saya berpikir mengapa mereka sangat ingin berkuasa sehingga menghalalkan segala cara yang haram sekalipun menyebabkan penderitaan rakyat yang berkepanjangan? Semoga Indonesia bisa selamat dari cobaan ini.
Share.
- See more at: http://www.presidenbernyali.com/2014/07/skenario-cadangan-csis-bila-jokowi-kalah.html#sthash.6AOqcXSe.PvKv9Znx.dpuf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar