Jumat, 18 Juli 2014

THEO SYAFEI, NASIONALIS YANG WASPADA "KIRI" DAN "KANAN"
   
   SRI RAHARTI DAN JOHAN BUDI SP
     _________________________________________________________________
   
   KARIR THEO SYAFEI DI ABRI TERMASUK BAGUS. LELAKI PENDIAM INI PUN
   DIKENAL CUKUP VOKAL BERSUARA SELAMA MENJADI ANGGOTA DPR. INILAH CERITA
   TENTANG LELAKI YANG BARU-BARU INI DIGUGAT UMAT ISLAM KARENA ISI
   CERAMAHNYA DIANGGAP MENGHINA ISLAM.
   
   Semula, sosok lelaki bertubuh kekar itu hanya dikenal sebagai mantan
   Panglima Komando Pelaksana Operasi (Pangkolakops) di Timor Timur yang
   sukses membekuk gembong Fretilin, Xanana Gusmao. Bertahun-tahun
   kemudian, pria serius yang suka humor itu bikin berita lagi saat ia
   di-recall dari Fraksi ABRI di DPR lantaran dinilai terlalu vokal
   bicara.
   
   Kini, Theo Syafei Daeng Kulle, 57 tahun, kembali jadi buah bibir
   setelah kaset berisi ceramahnya dinilai menghujat Islam dan menghina
   Presiden B.J. Habibie. Gempuran datang dari segala arah. Tapi, pria
   Bugis yang kini menjadi salah seorang petinggi PDI Perjuangan itu
   mengaku siap menghadapi para penggugatnya.
   
   Hari-hari belakangan ini, boleh jadi, merupakan hari yang menggerahkan
   bagi Theo Syafei Daeng Kulle. Betapa tidak. Gempuran datang seolah
   tanpa henti setelah kaset yang berisi rekaman ceramahnya beredar di
   mana-mana. Jika saja isinya bermuatan kata-kata yang teduh, ceramah
   pria 57 tahun itu tentu tak akan jadi masalah. Tapi, sebaliknya, isi
   kaset ceramahnya dinilai telah melecehkan Islam, umat Islam, dan ormas
   Islam. Tak hanya itu. Isi ceramahnya juga dipandang mengganggu
   stabilitas dan persatuan bangsa, alias berpotensi menimbulkan
   pertikaian suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Apalagi kaset
   itu "ditemukan" ketika kasus Kupang meledak. Tak pelak, ceramah Theo
   dituding sebagai salah satu penyulut kerusuhan di Kupang.
   
   Transkrip ceramah yang kemudian dimuat dalam tabloid Abadi--jika itu
   benar-benar suara dan diucapkan Theo alias bukan rekayasa--memang
   "menggegerkan" dan bisa membuat umat Islam marah.
   
   Misalnya, ia "bicara" tentang Islam yang galau dan selalu memberontak,
   soal gagalnya umat Islam mendirikan republik Islam di Indonesia,
   hingga masalah tipisnya Alquran yang, katanya, tidak bisa
   menyelesaikan persoalan (dibandingkan Al-Kitab yang tebal dan bisa
   menyelesaikan segala soal). Ia juga mempertentangkan Muhammadiyah yang
   dituding sebagai Islam fundamentalis, dengan NU yang lebih
   "mengindonesia". Ia pun menjadikan Presiden Habibie sebagai bahan
   olokan. "Saya lihat Habibie lincah, saraf motoriknya bagus, jadi cocok
   menjadi penari Bali," demikian salah satu kutipan soal Habibie.
   "Mendengar ceramahnya, saya jadi panas," kata Ahmad Sumargono, Ketua
   KISDI (Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam), yang bersama
   organisasi Islam lainnya melaporkan kasus itu ke Polda Metro Jaya.
   
   Lantaran ceramahnya itu, yang konon dilakukan di bilangan Anyer, Jawa
   Barat, sekitar September 1998, Theo dituding melanggar banyak pasal
   dalam KUHP, yakni Pasal 156 dan 157 (pernyataan kebencian, penghinaan,
   permusuhan terhadap ras dan golongan di muka umum), Pasal 310 dan
   pasal 315 (penghinaan), Pasal 318 (persangkaan palsu), Pasal 134
   (penghinaan sengaja terhadap terhadap presiden dan wakil presiden),
   dan penyebaran rasa permusuhan kepada golongan Islam.
   
   Ahmad Sumargono yakin, suara dalam kaset itu nyata-nyata suara Theo.
   Lantaran itu, ia meminta pihak kepolisian mengusut tuntas masalah itu.
   Sebab, jika tidak, masyarakat dikhawatirkan akan mengambil langkah
   sendiri. "Jangan memicu kemarahan umat Islam. Kasusnya harus
   dituntaskan dan pelakunya diadili," katanya.
   
   "Ancaman" itu bukan tidak disadari Theo. Apalagi, sebagai orang Bugis,
   ia sadar bahwa masalah itu termasuk siri. "Harus berdarah," katanya.
   Tapi, anaknya yang tertua, Andi Widjajanto, 27 tahun, yang kini
   menjadi dosen di Universitas Indonesia, meyakinkannya agar ia tidak
   memakai budaya siri. Kekerasan toh tidak harus dibalas kekerasan. "Dia
   bilang, kalau kita dianiaya, kalau rumah kita diobrak-abrik atau
   dibakar, artinya kita menang," katanya. Dan, kemenangannya itu
   mendasar, kata Theo, sampai berapa belas tahun kemudian pun masih bisa
   terus dijadikan cerita.
   
   Karena itulah, ia tidak melakukan pengamanan diri secara luar biasa.
   Rumahnya yang luas di bilangan Cilangkap pun tidak diberi pengamanan
   khusus. Hanya beberapa anggota Satgas PDI Perjuangan yang terlihat
   berjaga-jaga. "Tiap Ketua PDI kan diberi satgas," katanya. Gerbang
   rumahnya yang tingginya hampir dua meter, yang terbuat dari kayu
   hitam, pun dibiarkan terbuka sampai pukul 24.00 WIB. "Sebelum
   anak-anak saya pulang, gerbang itu tidak ditutup," katanya.
   
   Tapi, benarkah suara di dalam kaset itu suara Anda?
   
   Yang pasti, sampai sekarang saya belum pernah mendengar isi kaset itu.
   
   Lalu, mengapa Anda melaporkan harian Abadi ke Polda Metro Jaya?
   
   Itu karena transkripnya merujuk saya sebagai penyulut kerusuhan
   Kupang. Saya sendiri merasa tidak begitu perlu untuk mengikuti mereka
   punya skenario. Jadi, saya tidak mau mendengar kaset itu. Saya tidak
   mau baca isi transkripnya. Banyaklah transkrip yang sekarang ada di
   tangan saya, barangkali ada tujuh versi. Saya pikir, kalau saya baca
   atau dengar transkrip itu, hanya akan menghanguskan saya punya emosi
   dan energi, dan tidak perlu. Lebih baik saya simpan emosi dan energi
   saya untuk mendengarkan musik Beethoven atau Mozart.
   
   Anda tidak penasaran untuk membuktikan apakah itu suara Anda?
   
   Saya pikir, karena itu pekerjaan mereka. Itu mesti ada yang benar,
   lalu disambung-sambung, dipotong-potong. Umpamanya, kalau saya katakan
   "katanya", nah kata "katanya" itu dihilangkan. Jadi, seolah saya yang
   punya pernyataan itu. Saya sudah bertemu Gus Dur. Gus Dur mengatakan,
   "Ah, itu sudah kerjaan mereka lama. Sebelum Pak Theo, saya sudah lama
   berhadapan dengan mereka." Apa Gus Dur memang benar sepenuhnya, atau
   karena dia memang tahu pokok-pokoknya.
   
   Siapa "mereka" itu?
   
   Musuh Pancasila dari segi ideologis itu cuma ada kiri atau kanan.
   Dalam sejarah kita, gerakan itu tidak pernah selesai.
   
   Benar-tidaknya isi ceramah itu, atau betul-tidaknya soal rekayasa isi
   rekaman dan transkrip seperti disinggung Theo, memang masih perlu
   pembuktian. Yang jelas, Mayjen Nugroho Djayusman, Kapolda Metro Jaya,
   menyatakan, pihaknya kini tengah menangani kasus itu. Dalam jumpa
   persnya di Hotel Kemang pada 8 Januari, Theo pun sudah meminta maaf.
   "Dengan tulus kami minta maaf. Tidak ada maksud kami menghujat agama
   lain," katanya.
   
   Ucapan itu, boleh jadi, memang murni keluar dari dasar sanubari ayah
   empat anak itu. Maklum, agama Islam bukan hal baru bagi Theo.
   Lingkungan keluarganya di Ujungpandang, Sulawesi Selatan, kebanyakan
   beragama Islam. Sang kakek, Ishaq Daeng Pawero, pemilik banyak perahu
   pinisi, adalah ayah dari tiga anak: Abdul Salam bin Daeng Munjung,
   Syokora Daeng Suji, dan Mohamad Sjafei Daeng Mambani--ayah Theo. Sang
   ibu, Khatarina Yonas berasal dari Banda, Maluku. "Ketika saya lahir,
   kedua orang tua saya sudah beragama Kristen," kata Theo, yang mengaku
   mendapat bekal agama cukup baik dari keluarganya itu.
   
   Kendati beragama Kristen, Theo tidak lantas terkucil dari keluarga
   besarnya. Justru ketika ayahnya wafat, saat ia berusia 11 tahun, ia
   ikut dengan Syoqora, bibinya. "Dia itu ibu kedua saya, yang memelihara
   dan membesarkan saya," katanya. Theo ingat, jika bulan Ramadan datang,
   ia ikut sahur di rumah bibinya itu. "Tapi, paginya saya pulang ke
   rumah untuk sarapan," ujarnya.
   
   Masa kecil hingga remaja dihabiskannya di Ujungpandang. Setamat SMA
   pada 1962, ia ikut ujian masuk Akademi Militer Nasional dan diterima.
   Soal ketertarikannya pada dunia militer, katanya, muncul karena tahun
   itu di Ujungpadang sedang ramai-ramainya kampanye pembebasan Irian
   Barat. "Ada demam serdadu," katanya. Semangatnya pun ikut terpancing.
   "Saya pikir, jadi tentara itu hebat, dia berikan jiwa raganya bagi
   negara," katanya. Di sisi lain, dengan masuk AMN, ia tidak perlu
   memikirkan ongkos sekolah dan segala macam. "Ibu saya tidak sanggup
   membiayai kuliah, jadi saya harus cari sendiri," katanya. Tiga tahun
   kemudian, ia pun lulus. Teman seangkatannya adalah Mayjen (Purn.)
   Tayub dan Letjen (Purn) Yunus Yosfiah.
   
   Sejak 1967, Theo bergabung dengan Resimen Para Komando Angkatan Darat
   (RPKAD, kini Kopassus). Pada 1975, ia pertama kali menginjakkan kaki
   di Timor Timur saat bergabung dalam Grup I. Dua tahun kemudian, ia
   masuk Seskoad, seangkatan dengan Jenderal (Purn.) Wismoyo
   Arismunandar. Sebagai siswa termuda, ia tentu sering ketiban pulung
   menyelesaikan tugas-tugas hasil diskusi dengan rekan seniornya. Tak
   aneh bila Theo lulus sebagai salah seorang siswa terbaik.
   
   Keandalannya menyiapkan taktik dan strategi itu digunakan sebaik
   mungkin saat ia kembali ke Timor Timur yang baru saja berintegrasi
   dengan Indonesia. Ia lantas memimpin satu batalyon putra Timor tahun
   1978. Batalyon lainnya dipimpin Yunus Yosfiah, sekarang Menteri
   Penerangan. Mendidik tentara yang 98 persen buta huruf memang bukan
   soal mudah. Toh, akhirnya ia berhasil mengantarkan Batalyon 745
   Sampada Yudha Bakti itu menjadi batalyon pemburu yang unggul bukan
   saja di Timor Timur, tapi juga di Indonesia. "Pak Theo cermat
   pemikirannya, analisanya tajam. Dan, ia sangat loyal pada
   teman-temannya," komentar Yunus Yosfiah.
   
   Toh, Theo tak hanya menghabiskan waktunya di wilayah Kodam IX/Udayana.
   Ia pun pernah bertugas di Madiun, Jakarta, dan Palembang. Saat menjadi
   Kasdam II/Sriwijaya, Desember 1991, panggilan tugas ke Timor Timur
   kembali datang. Saat itu, ia menggantikan posisi Brigjen Rudolf Samuel
   Warouw sebagai Panglima Komando Pelaksana Operasi (Pangkolakops) di
   provinsi termuda itu. Tugasnya jelas tidak ringan, apalagi Kota Dili
   baru saja diguncang pembantaian dalam Insiden 12 November. Meski
   begitu, boleh dibilang ia menyelesaikan tugasnya dengan baik.
   Buktinya, ia berhasil menangkap gembong Fretilin Xanana Gusmao dan
   menghalau Lusitania Expresso, kapal dari Portugal yang ingin memasuki
   perairan Timor Timur, tanpa insiden. Tak aneh bila kemudian ia
   dipromosikan menjadi Pangdam Udayana (Maret 1993). Setahun kemudian,
   ia ditarik ke Jawa untuk menduduki posisi Komandan Sesko ABRI.
   
   Sebagai Dansesko ABRI, ia dinilai sebagai komandan yang "tidak biasa".
   Maklum, alih-alih alergi terhadap tokoh-tokoh yang saat itu dipandang
   vokal dan kritis, ia malah mengundang Megawati Soekarnoputri untuk
   berceramah di depan peserta Sesko ABRI. "Saya pikir, kelas Sesko ABRI
   kan kelas kolonel, kader-kader yang disiapkan untuk jadi brigjen,
   mayjen, letjen. Jadi, mereka perlu mengetahui suara dari segala arah,"
   katanya beralasan. Barangkali, saat itulah ia mulai jatuh cinta kepada
   partai yang dipimpin putri Bung Karno itu. Buktinya, belakangan, ia
   memutuskan bergabung dengan PDI Perjuangan.
   
   Lepas dari Sesko ABRI, Theo diangkat menjadi anggota DPR/MPR. Toh,
   lagi-lagi ia "bikin ulah". Dalam pidatonya di Universitas Petra,
   Surabaya, ia menyatakan bahwa golongan putih (golput) itu sah-sah
   saja. Ia juga mempersoalkan banyaknya jenderal yang tak berjabatan di
   Mabes ABRI. "Itu membuktikan bahwa ABRI tidak memiliki manajemen
   promosi dan kepangkatan yang baik," katanya kala itu.
   Komentar-komentarnya itu tak urung menimbulkan polemik. Tak hanya di
   tubuh ABRI, tapi juga menjadi pembicaraan hangat di masyarakat.
   Recalling Theo yang dilakukan tak lama setelah pidatonya di
   Universitas Petra itu disebut-sebut sebagai akibat dari dosa-dosanya
   tadi.
   
   Sempat menghilang sebentar, akhir tahun silam, Wakil Sekretaris
   Barisan Nasional itu kembali bikin berita, yakni saat ia memutuskan
   bergabung dengan PDI Perjuangan dan ikut bursa ketua PDI yang digelar
   di Denpasar, Bali. Theo yang disebut-sebut sebagai perwira "Merah
   Putih" itu pun terpilih sebagai salah seorang ketua di DPP PDI
   Perjuangan.
   
   Apa yang membuat Anda tertarik masuk PDI Perjuangan?
   
   PDI Perjuangan itu telah mengalami penganiayaan politik. Dan saya
   bersimpati. Selain itu, PDI Perjuangan jelas-jelas nasionalis. Kalau
   saya mau dibilang nasionalis, juga bisa. Tapi, pemahaman saya terhadap
   bangsa ini begini: orang Manado, Rote, Yogya, dan Irian merasa
   sesaudara dan sebangsa karena ada proses, yakni penjajahan. Proses
   penjajahan selama 350 tahun itu membuat kita merasa menjadi satu
   bangsa. Dari kaca mata iman, saya melihat bahwa proses menjadi satu
   bangsa itu karena diizinkan Tuhan. Bangsa ada karena kehendak-Nya.
   Karena itu, harus kita jaga, kita terima, kita hormati. Itu jelas
   tidak mudah. Sebab, ada ribuan dialek dan suku.
   
   Bagi saya, kemerdekaan adalah pemberian Tuhan. Jadi, momen itu bukan
   momen yang tiba-tiba terjadi. Kemerdekaan ini diberikan Tuhan, plus
   Mukadimah UUD 1945, plus Pancasilanya. Itulah yang menurut keyakinan
   saya harus dijaga.
   
   Apa saja ancaman untuk Pancasila itu?
   
   Dari dulu ancaman Pancasila itu kiri atau kanan.
   
   Apa komunis memang masih punya kekuatan di Indonesia?
   
   Saya tidak melihat kekuatan komunis cukup kuat saat ini untuk
   membahayakan Pancasila. Lihat saja. Dari sekian bayak partai yang
   berdiri sekarang ini, apa ada yang berani secara terbuka menyatakan
   komunis? Kan tidak ada. Ketika tahun 1948 komunis mencoba
   menghancurkan negara ini, DI/TII yang main. Lalu, ketika DI/TII
   dipukul, kiri lagi yang naik tahun 1965. Ketika kita pukul kiri,
   kelihatannya kanan yang akan naik. Tapi, karena kita waspada tentang
   bahaya kiri dan kanan, Pancasila masih bisa dijaga. Sekarang orang
   membicarakan Pancasila tanpa ada rasa hormat. Spanduk asas tunggal
   sudah dimain-mainkan. Padahal, Pancasila ada di Mukadimah UUD 1945.
   
   Indikasi menguatnya golongan kanan itu dari mana?
   
   Dari banyaknya hujatan terhadap Pancasila. Banyak yang sudah tidak
   setuju Pancasila sebagai dasar negara. Lalu, ada keinginan membuat
   negara federal.
   
   Jadi, ada kekuatan yang akan membentuk negara Islam?
   
   (Lirih) Ada Merebaknya kerusuhan belakangan ini ada hubungannya dengan
   itu?
   
   Kalau kerusuhan Kupang dan Ambon karena ada provokatornya. Kalau ada
   provokator, tentu ada tujuannya. Provokator itu saling
   menunjuk-nunjuk. Ada yang ke kelompok ini, ada yang kelompok itu.
   
   Di balik sikapnya yang serius dan tongkrongan-nya yang angker, toh,
   Theo sebenarnya sosok humoris. Celetukan-celetukannya sering
   mengundang tawa pendengar meski ia sendiri tetap serius. Pria yang
   mahal sekali tersenyum itu juga pandai mengolah kata-kata. Tak aneh
   jika ia kerap diundang untuk berceramah di berbagai kota. Sang istri,
   Suismiati, juga aktif di gereja. "Saya aktif di GPIB Hoerip
   Cililitan," kata purnawirawati Kowad yang menikah dengan Theo pada
   1970 itu.
   
   Kisah cinta Theo dan Suismiati memang terbilang unik. Asrama bujangan
   anggota Kopassus kebetulan berdekatan dengan asrama Kowad. Akibatnya,
   banyak perwira Kopassus yang menyambangi asrama itu, termasuk Theo.
   Dasar anak muda, jam tutup asrama pukul 21.30 WIB tak pernah
   dihiraukannya. Akhirnya, Suismiati, yang dipandang senior, segera
   dikirim oleh markas pusatnya di Jalan Kramat untuk menertibkan asrama
   itu. "Kami kan dari RPKAD, nah yang menertibkan itu harus ditertibkan.
   Saya yang belum punya pasangan tetap mendapat tugas untuk
   menertibkan," kata Theo.
   
   Untung cinta Theo bersambut. "Bapak itu cinta pertama dan terakhir
   saya," kata Suismiati yang asli Ponorogo itu. Sebagai keluarga
   tentara, Suismiati paham akan kehidupan tentara. Berpindah-pindah kota
   bukan masalah. Malah, keempat anaknya menghabiskan masa kecil mereka
   di Timor Timur. "Anak-anak, meskipun sejak kecil hampir selalu
   ditinggal bertugas, sangat bangga pada Bapaknya," kata Suismiati.
   
   Keempat anak pasangan itu adalah Andi Widjajanto, 27 tahun, Wisnu
   Gautama, 26 tahun, Shinta Devanagari, 25 tahun, dan Riza Renaldi, 24
   tahun. Toh, tak seorang pun dari mereka mengikuti jejak Theo sebagai
   tentara. Si sulung mendalami bidang hubungan internasional di London,
   yang kedua lulus dari Oklahoma, Amerika Serikat, dan si bungsu yang
   lulusan Swiss kini memegang salah satu restoran asing di Jakarta.
   Sementara, putri satu-satunya sudah menikah.
   
   Kerukunan beragama juga tercermin dalam keluarganya. "Keluarga saya
   masih banyak yang Islam. Bahkan, ibu saya berangkat haji dari rumah
   ini," kata Suismiati yang memeluk agama Kristen saat menikah dengan
   Theo itu. Teman-teman seangkatan Theo, kata Suismiati, sering
   mengadakan buka puasa dan tarawih bersama di rumah mereka. "Kami tidak
   pernah mempermasalahkan hal itu," katanya.
   
   Theo juga dikenal sebagai pecinta lukisan. Tapi, ia mengaku baru pada
   tahap penikmat, bukan pelaku seni. Ia bisa tahan berlama-lama
   menikmati lukisan, terutama lukisan bergaya naturalis. Beberapa karya
   pelukis kenamaan sempat dikoleksinya, antara lain, karya Basoeki
   Abdullah, Affandi, dan Nyoman Lempad. Saat menjadi Pangdam IX/Udayana,
   sesekali ia memesan lukisan dari seorang perwira di jajaran Kodam
   Udayana, Mayor Suhartono. Ia tidak pernah mau bila lukisan pesanannya
   itu tidak menggunakan cat merek Rembrandt.
   
   Selain pecinta lukisan, ia juga dikenal sebagai pria yang tak bisa
   dilepaskan dari buku. "Bapak itu hobinya membaca. Saya sampai heran,
   kok dia bisa betah membaca tanpa jatuh tertidur," ujar sang istri.
   Karya-karya sastra menjadi pilihannya. Baik karya sastrawan dalam
   negeri, seperti karya Chairil Anwar, Taufiq Ismail, Abdoel Moeis,
   maupun karya sastrawan asing macam Khalil Gibran, Laotze, dan
   Rabindranath Tagore.
   
   Pria kekar itu juga senang berolah raga. Dulu, bulu tangkis pernah
   digelutinya. Tapi, sekarang, ia lebih suka berenang di kolam renang di
   halaman rumahnya. "Jadi, bisa sama anak-anak," kata Suismiati.
   Sesekali, saat senggangnya juga dipakai jalan-jalan ke luar kota,
   menyambangi saudara-saudara.
   
   Barangkali, kegiatan Theo menikmati lukisan, membaca, atau berenang
   itu bakal sedikit terganggu lantaran geger kaset ceramah itu. Namun,
   Yunus Yosfiah sebagai teman yang pernah sama-sama berjuang di Timor
   Timur mengharapkan tuduhan itu tidak benar. "Sebab, Theo Sjafei yang
   saya kenal itu orang baik," katanya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar