Minggu, 21 Desember 2014

distorsi aqidah Syafii makrif


Syafii Maarif Manusia Berhak Menjadi Ateis Sekalipun

JAKARTA– Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif tak bisa berbuka puasa dengan tenang. Ia harus menerima ucapan selamat yang terus mengalir dari para tamu yang memenuhi aula Gedung PP Muhammadiyah, Senin (15/9) sore itu. 

Laki-laki yang akrab dipanggil Buya itu baru saja menerima penghargaan Magsaysay Award dari The Board of Trustees of the Ramon Magsaysay Foundation (RMAF) untuk kategori Peace and International Understanding. Magsaysay sebelumnya juga pernah dianugerahkan kepada Mochtar Lubis, Soedjatmoko, Pramudya Ananta Toer Abdurrahman Wahid dan Dita Indah Sari.
Namun pria kelahiran Sumbar itu justru menanggapi biasa saja penghargaan itu. “Sebenarnya saya tidak bisa menanggung beban pujian-pujian itu. Karena tidak sehebat itu. Tanya saja pada istri saya,” katanya. Ia malah mengharapkan penghargaan yang diterimanya itu dapat memberi inspirasi bagi kalangan muda untuk meneruskan perjuangan menegakkan demokrasi, inklusivitas dan pluralisme dengan serius. Baginya, pluralitas harus mendapatkan perhatian utama, karena bangsa Indonesia lahir dari banyaknya suku-suku yang bersatu. Masyarakat di dalam suku tersebut memiliki beragama kepercayaan yang hidup. Sehingga, pemaksaan atas nama satu keyakinan tertentu pada masyarakat tersebut tidak boleh dibiarkan karena bisa melahirkan perpecahan. 
Bahkan, Sjafii juga menegaskan, di dunia ini, manusia diperbolehkan untuk tidak beragama ataupun menjadi ateis sekalipun. Asalkan, masing-masing pihak saling menghormati, tidak memiliki agenda tersembunyi ataupun saling menghancurkan satu sama lain. Pendapat tersebut didasarkan pada nilai-nilai toleransi yang terkandung dalam Kitab Suci Al – Quran. “Menurut saya, Al – Quran itu lebih toleransi dibandingkan dengan orang Islam,” katanya. Ia mengakui, saat ia memutuskan untuk bicara masalah itu persoalannya tidak mudah. Ia menuai kemarahan yang hebat dari para ulama dan juga kaum intelektual. Bahkan, salah satu dari mereka sangat kecewa dan segera menanyakan posisi teologis Sjafii sebagai seorang muslim. Namun, setelah dijelaskan pandangannya, pihak-pihak yang marah tersebut hanya diam hingga sekarang. 
Menurutnya, beberapa ayat di dalam Al – Quran sangat jelas menegaskan tidak boleh adanya pemaksaan dalam beragama. Bahkan, katanya, nabi pun dilarang memaksa. “Jadi, kalau orang mau beriman mari beriman kalau tidak juga mari. Perkara nanti perkara di depan Tuhan itu urusan mereka. Tapi tidak ada kekuatan duniawi untuk memaksa orang atau pengadilan untuk membunuh atau menghukum orang yang tidak beriman. Itu pendapat saya,” paparnya.  
Ia melihat, kemarahan yang ditunjukkan kepadanya, kemungkinan besar karena terbatasnya pengetahuan mereka tentang pemahaman teologis ayat-ayat Quran terkait dengan kebebasan untuk berkehendak dan memilih. Dalam pandangannya, sesuai dengan Al-Quran, Tuhan sejatinya menawarkan kebebasan terhadap seluruh umat manusia untuk mempercayai ataupun tidak mempercayai, sedangkan resikonya merupakan urusan pribadi masing-masing dengan Tuhan.  “Dengan kata lain, seseorang yang mengklaim dirinya sebagai seorang ateis ataupun orang yang ingkar terhadap agama tidak dapat dibawa ke pengadilan untuk menghadapi hukuman agama sebagaimana pandangan yang dianut muslim klasik,” katanya.

Tak Boleh Monopoli
Ia juga menyadari, saat ini tidak banyak ulama yang mau membuka kembali Quran dan menempatkanya secara kontekstual. Sehingga, untuk masalah ini ke depan akan sangat tergantung pada kemampuan umat muslim untuk memberikan respon secara kreatif dalam menghadapi tantangan hari ini. Pasalnya, interpretasi teks keagamaan harus dilihat dalam kaca mata waktu saat itu. Karenanya, seorang ahli yang kaliberpun tidak punya hak untuk memonopoli kebenaran. 

Al – Quran, katanya, secara tegas melarang umat manusia secara buta menjadi pengikut para ulama. Bahkan, Al- Quran menegaskan membunuh seseorang artinya membunuh seluruh kemanusiaan. Dia melihat, kelompok militan dan radikal yang siap untuk mati umumnya mempertahankan fatwa-fatwa dari pandangan Islam klasik. Salah satu contohnya adalah peledakan bom di Bali dan JW Mariot. Terkadang, untuk kelompok seperti ini, membunuh orang lain yang berbeda secara ideologis dari pandangan agamanya dalam beberapa kasus sebenarnya justru demi kepentingan uang. Oleh karena itu, yang terjadi sebenarnya adalah penyalahgunaan agama untuk kepentingan dan tujuan rendah. 
“Secara adil tidak hanya orang muslim yang melakukan monopoli praktik bom bunuh diri. Beberapa pengikut agama lain juga sering melakukan hal yang sama. Ketidakadilan dan penindasan yang dilakukan oleh beberapa orang harus bertanggung jawab terhadap tindakan-tindakan yang salah tersebut,” imbuhnya. 
Namun, bagaimana itu dijalankan di Indonesia, ketika hukum negarapun ternyata masih mencantumkan pasal tentang penistaan agama? Ia pun menjawab dengan singkat, “Undang Undangnya harus diubah”. (tutut herlina)

 PENERIMA MA’ARIF AWARD 2010 : PASTOR KIRJITO & HABIB ALI AL HABSY

Viktor Sagala Dua pekerja kemanusiaan dari dua agama berbeda Pastor V.Kirjito Pr dan Habib Ali Al Habsy menerima MA’ARIF Award 2010
Acara penyerahan tropi penghargaan berlangsung meriah dan penuh kekeluargaan di Taman Ismail Marzuki (TMII) Jakarta Pusat, Kamis 10 Juni 2010. Pastor Kirjito yang berpostur tinggi langsing mengenakan jubah putih dan berkalung syal di lehernya. Sementara Habib Ali Al Habsy yang berpostur pendek mengenakan kemeja dan celana biru gelap. Keduanya tampil bersahaja.
Kedua pekerja kemanusiaan ini ditetapkan sebagai awardee setelah Dewan Juri Maarif Award 2010 melakukan seleksi dan kajian mendalam terhadap beberapa nominator yang diajukan oleh berbagai lembaga maupun perorangan.
Pastor Kirjito dan Habib Ali dinilai pantas mendapat penghargaan tersebut karena konsistensi dan komitmennya bekerja bersama masyarakat akar rumput, untuk memperdayakan dan meningkatkan martabat kemanusiaan masyarakat akar rumput.
Pastor Kirjito bekerja sebagai Pastor Paroki St.Maria Lourdes Sumber, Magelang, Jawa tengah sejak tahun 2000. Selain sebagai pastor paroki, Romo Kir demikian sapaan akrabnya, menyatukan masyarakat petani dari berbagai latar belakang agama di Lereng Gunung Merapi untuk bekerja bersama menyelamatkan lingkungan hidup, terutama mata air yang hilang karena penambangan pasir dengan alat-alat berat back hoe. Melalui gelar budaya Merapi, Romo Kir dan masyarakat mengangkat martabat warga Lereng Merapi. Berbagai isu digarap melalui gelar budaya, yakni ekologi, pertanian dan persaudaraan.
Sedangkan Habib Ali mengembangkan ekonomi mikro lintas iman di Martapura Banjarbaru, Banjarmasin. Ia secara konsisten melakukan pembelaan dan pemberdayaan kelompok-kelompok social yang rentan di Pasar Sekumpul Martapura. Ia mendirikan Baitul Mal wa Tamwil bagi komunitas pedagang di pasar dan pedagang kali lima. Ia juga memfasilitasi Komunitas Pengajian Trotoar bagi anak-anak punk di Martapura.
Romo Kir mengakui tidak bermimpi dan tidak bercita-cita mendapatkan penghargaan manakala menjalankan kerja-kerja kemanusiaan. Penghargaan ini adalah untuk masyarakat Lereng Merapi yang selama ini bekerja bersama, kata Romo Kir.
Senada dengan Romo Kir, Habib Ali juga merasa ragu atas keterpilihannya mendapat penghargaan. “Sebenarnya saya ragu, apakah dewan juri dan panitia tidak salah memlih saya. Sampai mala mini saya masih gelisah mengikuti keinginan kawan-kawan panitia untuk menerima penghargaan ini”, tuturnya.
Menanggapi suasana batin Romo Kir dan Habib Ali, pendiri MAARIF Institut, Buya Safi’I Ma’arif mengatakan; “Romo Kir dan Habib Ali adalah dua sosok dari agama berbeda, tetapi berhasil meruntuhkan keangkuhan elitism dan eksklusivisme agama. Di tangan mereka berdua, kearifan pluralism agama menjadi kekuatan pembebas kemanusiaan yang anti kompromi penindasan struktural”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar