Jumat, 18 Juni 2010
Gerakan Kristenisasi Kian Menantang
Mungkinkah di Ranah Minang muncul konflik bermuatan SARA? Bisa jadi, jika polisi dan pemerintah terus mengabaikan kasus Kristenisasi.
Ratusan umat Islam yang bergabung dalam Aliansi Masyarakat Minangkabau Anti Pemurtadan (AMMAN), 11 Agustus lalu mendemo Poltabes Padang dan kantor Gubernur Sumatera Barat. Mereka menuntut kedua aparat terkait itu tegas dalam menangani kasus-kasus pemurtadan (baca: Kristenisasi) di Sumatera Barat.
Aksi yang digelar AMMAN ini bermula dari kerisauan warga atas kasus Kristenisasi yang seolah tak ditanggapi. Padahal sudah banyak kasus yang terjadi. Mulai dari Gereja Bagonjong dengan kasus Sate Padang Babinya, al- Qur’an bersampul Injil, kesurupan jin, sampai terakhir kasus penganiayaan atas Wawang, seorang mahasiswa IAIN Imam Bonjol. Semua kasus di atas ditenggarai sebagai proyek gerakan Kristenisasi dengan berbagai modus operandi.
Untuk kasus kesurupan jin, misalnya, pihak IAIN bahkan sama sekali tak menganggap ini masalah serius. Petinggi kampus seolah tak peduli dan berharap masalah selesai oleh waktu. Bahkan, Dr. Salmadanis, Dekan Fakultas Dakwah mengatakan, kesurupan adalah rekayasa.
Ustadz Zulkifli, seorang peruqyah (penterapi) menyayangkan pernyataan petinggi kampus IAIN tersebut. “Saya menyayangkan pola pikir kalangan IAIN yang tidak percaya pada metode yang telah digunakan sejak Rasulullah ini,” kata ustadz yang juga pengasuh Pesantren Subulussalam, Padang Pariaman.
Sama dengan petinggi IAIN, pemerintah dan juga polisi pun tak menganggap besar kasus pemurtadan ini, khususnya atas apa yang terjadi pada Wawang, mahasiswa IAIN yang kerasukan dan berakhir dengan penganiayaan.
Ihwal kisah Wawang kesurupan bermula saat ia melewati gereja GPIB Padang dan berpapasan dengan seseorang yang berpenampilan rapi, lengkap dengan dasi. Orang ini baru saja keluar dari gereja. Wawang terus dibuntuti, hingga ia ketakutan dan memutuskan untuk pulang.
Sejak peristiwa itu, Wawang sering kesurupan dan menyebut nama Yesus ketika tak sadarkan diri. Sampai suatu hari, 15 Juli 2004, ketika Wawang hendak pulang dari kampus, di tengah jalan ia merasa limbung, lalu tak sadarkan diri. Ketika sadar, ia sudah mendapati lengan kirinya berdarah dan di sampingnya tergeletak sebuah pisau bergagang hitam, sebuah gunting, pil yang dibungkus dan setumpuk uang seratus ribuan. Ada juga sebuah tiket pesawat dengan tujuan Malang, Jawa Timur.
Ketika itu, Wawang sadar bahwa dirinya berada dalam sebuah gereja. Kedua tangannya dipegang oleh dua orang laki-laki berpakaian serba hitam dan seorang lagi mencoba menyuntikkan cairan ke tangan Wawang. Semuanya bertopeng. Wawang berteriak dan meronta. Akibatnya ia sempat mendapat tamparan dari salah seorang lelaki misterius itu.
Dengan sisa tenaga, Wawang terus meronta dan berhasil merenggut topeng salah seorang penyekap. “Cirinya berkulit hitam, mata agak sipit, kumis tebal, rambut lurus dengan sisiran ke kiri. Badannya sedang,” ungkap Wawang setelah berhasil melarikan diri. Setelah mengingat-ingat, wajah itu adalah orang yang mengikuti dirinya beberapa saat sebelum kejadian.
Setelah Wawang sadar dari pengaruh obat yang disuntikkan, seorang laki-laki membisikkan kata, “Adik tenang saja. Ini uang dari kami. Kita akan berangkat ke Malang sore ini juga,” ujar salah seorang dari mereka dengan santainya. Tapi tak lama kemudian terjadi percekcokan di antara mereka. Dan tanpa diduga, setelah mereka membersihkan TKP (tempat kejadian perkara) para lelaki misterius pelaku penganiayaan itu melarikan diri dan membiarkan Wawang melarikan diri pula. Setelah itu, kasus Wawang pun menyebar.
Meski kasus ini begitu serius, tapi tampaknya pihak kepolisian tak bekerja secara profesional. “Saya kecewa dengan kinerja Poltabes Padang dalam menangani kasus ini. Jangankan membahas kasus ini, bertemu dengan jajaran petinggi Poltabes pun sulit dilakukan,” ungkap Dede Bafaqih, SH, direktur PAHAM (Pusat Advokasi Hukum dan HAM) yang menjadi kuasa hukum Wawang.
Ungkapan yang sama dinyatakan pula oleh Irfianda Abidin, Ketua Forum Penegak Syariat Islam, Sumbar. Irfianda mengatakan, Pemda Lamban dalam menangani kasus-kasus seperti ini. “
Koordinator AMMAN, Tarliasman mengatakan, jika pemerintah terus menerus bersikap seperti ini, ia khawatir masyarakat akan memberikan respon tersendiri.
Dari berbagai kasus yang terjadi di Padang atau Sumatera Barat pada umumnya, kasus Kristenisasi dan pemurtadan banyak menimpa para pelajar dan mahasiswa. Menurut Ibnu Aqil dari Paganagari, memang ada skenario tersendiri untuk menghancurkan pilar-pilar umat Islam di masa depan.
Dan jika terus menerus terjadi tanpa ada ketegasan dari aparat pemerintahan, maka jangan salahkan jika umat hilang kesabaran. Bukankah mencegah lebih baik daripada mengobati? Atau, tegakah kita menunggu sampai bara menjadi api? (Sabili)
Irma Sagala (Padang), Herry Nurdi
Ratusan umat Islam yang bergabung dalam Aliansi Masyarakat Minangkabau Anti Pemurtadan (AMMAN), 11 Agustus lalu mendemo Poltabes Padang dan kantor Gubernur Sumatera Barat. Mereka menuntut kedua aparat terkait itu tegas dalam menangani kasus-kasus pemurtadan (baca: Kristenisasi) di Sumatera Barat.
Aksi yang digelar AMMAN ini bermula dari kerisauan warga atas kasus Kristenisasi yang seolah tak ditanggapi. Padahal sudah banyak kasus yang terjadi. Mulai dari Gereja Bagonjong dengan kasus Sate Padang Babinya, al- Qur’an bersampul Injil, kesurupan jin, sampai terakhir kasus penganiayaan atas Wawang, seorang mahasiswa IAIN Imam Bonjol. Semua kasus di atas ditenggarai sebagai proyek gerakan Kristenisasi dengan berbagai modus operandi.
Untuk kasus kesurupan jin, misalnya, pihak IAIN bahkan sama sekali tak menganggap ini masalah serius. Petinggi kampus seolah tak peduli dan berharap masalah selesai oleh waktu. Bahkan, Dr. Salmadanis, Dekan Fakultas Dakwah mengatakan, kesurupan adalah rekayasa.
Ustadz Zulkifli, seorang peruqyah (penterapi) menyayangkan pernyataan petinggi kampus IAIN tersebut. “Saya menyayangkan pola pikir kalangan IAIN yang tidak percaya pada metode yang telah digunakan sejak Rasulullah ini,” kata ustadz yang juga pengasuh Pesantren Subulussalam, Padang Pariaman.
Sama dengan petinggi IAIN, pemerintah dan juga polisi pun tak menganggap besar kasus pemurtadan ini, khususnya atas apa yang terjadi pada Wawang, mahasiswa IAIN yang kerasukan dan berakhir dengan penganiayaan.
Ihwal kisah Wawang kesurupan bermula saat ia melewati gereja GPIB Padang dan berpapasan dengan seseorang yang berpenampilan rapi, lengkap dengan dasi. Orang ini baru saja keluar dari gereja. Wawang terus dibuntuti, hingga ia ketakutan dan memutuskan untuk pulang.
Sejak peristiwa itu, Wawang sering kesurupan dan menyebut nama Yesus ketika tak sadarkan diri. Sampai suatu hari, 15 Juli 2004, ketika Wawang hendak pulang dari kampus, di tengah jalan ia merasa limbung, lalu tak sadarkan diri. Ketika sadar, ia sudah mendapati lengan kirinya berdarah dan di sampingnya tergeletak sebuah pisau bergagang hitam, sebuah gunting, pil yang dibungkus dan setumpuk uang seratus ribuan. Ada juga sebuah tiket pesawat dengan tujuan Malang, Jawa Timur.
Ketika itu, Wawang sadar bahwa dirinya berada dalam sebuah gereja. Kedua tangannya dipegang oleh dua orang laki-laki berpakaian serba hitam dan seorang lagi mencoba menyuntikkan cairan ke tangan Wawang. Semuanya bertopeng. Wawang berteriak dan meronta. Akibatnya ia sempat mendapat tamparan dari salah seorang lelaki misterius itu.
Dengan sisa tenaga, Wawang terus meronta dan berhasil merenggut topeng salah seorang penyekap. “Cirinya berkulit hitam, mata agak sipit, kumis tebal, rambut lurus dengan sisiran ke kiri. Badannya sedang,” ungkap Wawang setelah berhasil melarikan diri. Setelah mengingat-ingat, wajah itu adalah orang yang mengikuti dirinya beberapa saat sebelum kejadian.
Setelah Wawang sadar dari pengaruh obat yang disuntikkan, seorang laki-laki membisikkan kata, “Adik tenang saja. Ini uang dari kami. Kita akan berangkat ke Malang sore ini juga,” ujar salah seorang dari mereka dengan santainya. Tapi tak lama kemudian terjadi percekcokan di antara mereka. Dan tanpa diduga, setelah mereka membersihkan TKP (tempat kejadian perkara) para lelaki misterius pelaku penganiayaan itu melarikan diri dan membiarkan Wawang melarikan diri pula. Setelah itu, kasus Wawang pun menyebar.
Meski kasus ini begitu serius, tapi tampaknya pihak kepolisian tak bekerja secara profesional. “Saya kecewa dengan kinerja Poltabes Padang dalam menangani kasus ini. Jangankan membahas kasus ini, bertemu dengan jajaran petinggi Poltabes pun sulit dilakukan,” ungkap Dede Bafaqih, SH, direktur PAHAM (Pusat Advokasi Hukum dan HAM) yang menjadi kuasa hukum Wawang.
Ungkapan yang sama dinyatakan pula oleh Irfianda Abidin, Ketua Forum Penegak Syariat Islam, Sumbar. Irfianda mengatakan, Pemda Lamban dalam menangani kasus-kasus seperti ini. “
Koordinator AMMAN, Tarliasman mengatakan, jika pemerintah terus menerus bersikap seperti ini, ia khawatir masyarakat akan memberikan respon tersendiri.
Dari berbagai kasus yang terjadi di Padang atau Sumatera Barat pada umumnya, kasus Kristenisasi dan pemurtadan banyak menimpa para pelajar dan mahasiswa. Menurut Ibnu Aqil dari Paganagari, memang ada skenario tersendiri untuk menghancurkan pilar-pilar umat Islam di masa depan.
Dan jika terus menerus terjadi tanpa ada ketegasan dari aparat pemerintahan, maka jangan salahkan jika umat hilang kesabaran. Bukankah mencegah lebih baik daripada mengobati? Atau, tegakah kita menunggu sampai bara menjadi api? (Sabili)
Irma Sagala (Padang), Herry Nurdi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar