MEMBANGUN DAERAH ISTIMEWA MINANGKABAU.
Mochtar Naim
12 Januari 2014
INDONESIA sebagai Negara Kepulauan terbesar di dunia ini, yang berjejer di sepanjang Garis Khatul Istiwa di kawasan Asia Tenggara, yang terletak di antara dua benua (Asia dan Australia) dan dua lautan besar (Hindia dan Pasifik), dengan ribuan pulau, ratusan kelompok etnik dengan berbagai ragam bahasa dan budaya, dan 250 juta penduduk, mestinya diatur secara federalistik dalam bentuk NPRI (Negara Persatuan Republik Indonesia) dan bukan unitaristik NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) yang diatur secara seragam dari atas sampai ke bawah seperti sekarang ini.
Dengan federalisme NPRI masing2 daerah punya peluang untuk menyesuaikan diri dengan kontur ekologi dan sosial-budayanya, dan tidak seragam sama seperti di Jawa seperti selama ini. Bagaimanapun, ini adalah tolok perjuangan masa depan dari bangsa ini – dari unitarisme ke federalisme; dari NKRI ke NPRI. Negara2 tetangga seperti Malaysia saja, Thailand saja, Filipina saja, yang ukurannya jauh lebih kecil, semua adalah federalistik; apalagi Indonesia yang jauh lebih besar mestinya adalah juga federalistik. Negara2 federal di dunia ini rata2 jauh lebih stabil dan progresif dari negara2 unitaris di manapun.
Dalam kaitan itu pula, UU tentang Desa yang baru saja disahkan di DPR RI adalah konsekuensi logis dari diteruskannya sistem unitarisme di NKRI ini, di mana sistem pemerintahan terendah di tingkat Desa diatur secara sama dan seragam untuk seluruh Indonesia seperti di Jawa. Untuk Sumatera Barat hal ini berarti balik lagi ke belakang, dari Nagari ke Desa, di zaman Orde Baru, kembali ke Nagari, di awal Reformasi, dan sekarang kembali lagi ke Desa. Betapa habis terkurasnya energi kita untuk berbuat bolak-balik seperti ini.
Makanya rakyat dan masyarakat di Sumatera Barat sekarang ini harus menyatakan “tidak” kepada pemerintah pusat, dengan tetap bertahan pada Nagari dan tidak kembali lagi ke Desa.
Jalur yang tersedia kebetulan dibukakan oleh Pasal 18 B dari UUD1945, di mana: Ayat (1): “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang.”
Ayat (2): “Negara mengakui dan menghormati kesatuan2 masyarakat hukum adat beserta hak2 tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI, yang diatur dalam undang2.”
Melalui bukaan ini waktunya rakyat dan masyarakat Sumatera Barat, di ranah dan di rantau, untuk bersama-sama mengajukan petisi kepada pemerintah pusat agar Sumatera Barat dengan budaya matrilineal Minangkabau yang berdasar kepada filosofi ABS-SBK (Adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi Kitabullah) dinyatakan sebagai Daerah Istimewa seperti halnya DIY, DI Aceh Darussalam dan DI Papua.
Dengan Daerah Istimewa Sumatera Barat atau DIM (Daerah Istimewa Minangkabau) itu filosofi ABS-SBK dengan sistem sosial matrilinealnya (bukan matriarkal) yang berbasis di Nagari dan dengan sistem pemerintahan Nagari yang egaliter dan demokratis di bawah kepemimpinan TTS (Tungku nan Tigo Sajarangan), yaitu Ninik Mamak, Alim-Ulama dan Cerdik Pandai) dapat berjalan bersandingan dengan sistem NKRI yang berlaku umum – artinya selagi NKRI belum lagi berubah menjadi NPRI.
Dengan Nagari tetap berfungsi sebagai unit kesatuan administratif pemerintahan terendah di DI Sumbar atau DIM itu maka pemerintahan Nagari mempunyai fungsi ganda: formal dan non-formal.
Nagari diperlakukan sama seperti Desa di Jawa, secara formal, oleh pemerintah pusat, sejalan dengan UU Desa yang baru itu, tetapi dia juga adalah unit kesatuan masyarakat hukum adat yang sifatnya non-formal tapi fungsional efektif menurut kaidah hukum adatnya yang berlaku untuk seluruh Nagari di Sumbar.
Daerah2 yang tidak berada di bawah norma budaya Minangkabau, seperti Kabupaten Kepulauan Mentawai, dapat saja melaksanakan sistem Desa seperti yang diinginkan oleh UU Desa itu.
Untuk mengkoordinasikan seluruh unit kesatuan administratif pemerintahan yang bercorak Nagari itu maka logis sekali kalau Provinsi Sumatera Barat sekarang berbentuk Daerah Istimewa dengan sebutan: DIM: Daerah Istimewa Minangkabau.
Nagari tentu saja berhak mengatur diri ke dalam sesuai dengan pola dasarnya yang digariskan dalam adat dan budaya Minangkabau.
Sedikitnya Nagari akan mempunyai 4 fungsi utama, yaitu: Satu, Nagari sebagai unit kesatuan administratif pemerintahan terendah seperti Desa dalam UU ttg Desa itu, tetapi dengan fungsi ganda: formal dan non-formal.
Formal yang berkuasa adalah Wali Nagari yang mewakili Camat dan Bupati serta Gubernur di tingkat Nagari. Wali Nagari selaku penguasa eksekutif lalu didampingi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Nagari (DPRN) secara legislatif yang diisi oleh wakil2 dari TTS (Tungku nan Tigo Sajarangan: Ninik Mamak, Alim Ulama, Cerdik Pandai) dan dilengkapi oleh utusan Bundo Kanduang (Wanita) dan Pemuda.
Dua, Nagari sebagai unit kesatuan keamanan dan pengamanan dengan menfungsikan Dubalang sebagai Ketua Keamanan Nagari serta didukung oleh para pemuda di Nagari yang berfungsi sebagai Parik Paga Nagari. Dubalang akan meminta bantuan Polisi di Kecamatan di mana diperlukan.
Tiga, Nagari sebagai unit kesatuan ekonomi dengan menfungsikan Nagari sebagai lembaga kesatuan korporasi berbentuk Koperasi Syariah.
Semua aset Nagari berbentuk tanah ulayat Nagari, sumber mata air, sungai, rimba, kebun dan kekayaan alam lainnya, serta aset2 Nagari berbentuk pasar Nagari, lebuh Nagari, mesjid, sekolah dan bangunan lain2nya, dikelola secara bersama dengan prinsip untuk sebesar-besar kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Nagari dengan prinsip koperasi syariah itu.
Empat, Nagari sebagai unit kesatuan adat, agama dan sosial-budaya. Apapun yang ada di Nagari diatur dengan prinsip ABS-SBK: Adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi Kitabullah. Adat yang tidak sejalan dengan Syarak dibuang, Al Qur’an adalah pedoman dan sumber utama dari semua norma sosial dan budaya.
Dengan Provinsi Sumatera Barat sekarang menjadi DIM: Daerah Istimewa Minangkabau, rakyat dan masyarakat Minangkabau di ranah dan rantau memasuki era akulturasi baru: Bersatunya budaya nasional Nusantara dengan budaya lokal Minangkabau yang berfungsi secara harmonis di wilayah DIM (Daerah Istimewa Minangkabau). ***
Mochtar Naim
12 Januari 2014
INDONESIA sebagai Negara Kepulauan terbesar di dunia ini, yang berjejer di sepanjang Garis Khatul Istiwa di kawasan Asia Tenggara, yang terletak di antara dua benua (Asia dan Australia) dan dua lautan besar (Hindia dan Pasifik), dengan ribuan pulau, ratusan kelompok etnik dengan berbagai ragam bahasa dan budaya, dan 250 juta penduduk, mestinya diatur secara federalistik dalam bentuk NPRI (Negara Persatuan Republik Indonesia) dan bukan unitaristik NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) yang diatur secara seragam dari atas sampai ke bawah seperti sekarang ini.
Dengan federalisme NPRI masing2 daerah punya peluang untuk menyesuaikan diri dengan kontur ekologi dan sosial-budayanya, dan tidak seragam sama seperti di Jawa seperti selama ini. Bagaimanapun, ini adalah tolok perjuangan masa depan dari bangsa ini – dari unitarisme ke federalisme; dari NKRI ke NPRI. Negara2 tetangga seperti Malaysia saja, Thailand saja, Filipina saja, yang ukurannya jauh lebih kecil, semua adalah federalistik; apalagi Indonesia yang jauh lebih besar mestinya adalah juga federalistik. Negara2 federal di dunia ini rata2 jauh lebih stabil dan progresif dari negara2 unitaris di manapun.
Dalam kaitan itu pula, UU tentang Desa yang baru saja disahkan di DPR RI adalah konsekuensi logis dari diteruskannya sistem unitarisme di NKRI ini, di mana sistem pemerintahan terendah di tingkat Desa diatur secara sama dan seragam untuk seluruh Indonesia seperti di Jawa. Untuk Sumatera Barat hal ini berarti balik lagi ke belakang, dari Nagari ke Desa, di zaman Orde Baru, kembali ke Nagari, di awal Reformasi, dan sekarang kembali lagi ke Desa. Betapa habis terkurasnya energi kita untuk berbuat bolak-balik seperti ini.
Makanya rakyat dan masyarakat di Sumatera Barat sekarang ini harus menyatakan “tidak” kepada pemerintah pusat, dengan tetap bertahan pada Nagari dan tidak kembali lagi ke Desa.
Jalur yang tersedia kebetulan dibukakan oleh Pasal 18 B dari UUD1945, di mana: Ayat (1): “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang.”
Ayat (2): “Negara mengakui dan menghormati kesatuan2 masyarakat hukum adat beserta hak2 tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI, yang diatur dalam undang2.”
Melalui bukaan ini waktunya rakyat dan masyarakat Sumatera Barat, di ranah dan di rantau, untuk bersama-sama mengajukan petisi kepada pemerintah pusat agar Sumatera Barat dengan budaya matrilineal Minangkabau yang berdasar kepada filosofi ABS-SBK (Adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi Kitabullah) dinyatakan sebagai Daerah Istimewa seperti halnya DIY, DI Aceh Darussalam dan DI Papua.
Dengan Daerah Istimewa Sumatera Barat atau DIM (Daerah Istimewa Minangkabau) itu filosofi ABS-SBK dengan sistem sosial matrilinealnya (bukan matriarkal) yang berbasis di Nagari dan dengan sistem pemerintahan Nagari yang egaliter dan demokratis di bawah kepemimpinan TTS (Tungku nan Tigo Sajarangan), yaitu Ninik Mamak, Alim-Ulama dan Cerdik Pandai) dapat berjalan bersandingan dengan sistem NKRI yang berlaku umum – artinya selagi NKRI belum lagi berubah menjadi NPRI.
Dengan Nagari tetap berfungsi sebagai unit kesatuan administratif pemerintahan terendah di DI Sumbar atau DIM itu maka pemerintahan Nagari mempunyai fungsi ganda: formal dan non-formal.
Nagari diperlakukan sama seperti Desa di Jawa, secara formal, oleh pemerintah pusat, sejalan dengan UU Desa yang baru itu, tetapi dia juga adalah unit kesatuan masyarakat hukum adat yang sifatnya non-formal tapi fungsional efektif menurut kaidah hukum adatnya yang berlaku untuk seluruh Nagari di Sumbar.
Daerah2 yang tidak berada di bawah norma budaya Minangkabau, seperti Kabupaten Kepulauan Mentawai, dapat saja melaksanakan sistem Desa seperti yang diinginkan oleh UU Desa itu.
Untuk mengkoordinasikan seluruh unit kesatuan administratif pemerintahan yang bercorak Nagari itu maka logis sekali kalau Provinsi Sumatera Barat sekarang berbentuk Daerah Istimewa dengan sebutan: DIM: Daerah Istimewa Minangkabau.
Nagari tentu saja berhak mengatur diri ke dalam sesuai dengan pola dasarnya yang digariskan dalam adat dan budaya Minangkabau.
Sedikitnya Nagari akan mempunyai 4 fungsi utama, yaitu: Satu, Nagari sebagai unit kesatuan administratif pemerintahan terendah seperti Desa dalam UU ttg Desa itu, tetapi dengan fungsi ganda: formal dan non-formal.
Formal yang berkuasa adalah Wali Nagari yang mewakili Camat dan Bupati serta Gubernur di tingkat Nagari. Wali Nagari selaku penguasa eksekutif lalu didampingi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Nagari (DPRN) secara legislatif yang diisi oleh wakil2 dari TTS (Tungku nan Tigo Sajarangan: Ninik Mamak, Alim Ulama, Cerdik Pandai) dan dilengkapi oleh utusan Bundo Kanduang (Wanita) dan Pemuda.
Dua, Nagari sebagai unit kesatuan keamanan dan pengamanan dengan menfungsikan Dubalang sebagai Ketua Keamanan Nagari serta didukung oleh para pemuda di Nagari yang berfungsi sebagai Parik Paga Nagari. Dubalang akan meminta bantuan Polisi di Kecamatan di mana diperlukan.
Tiga, Nagari sebagai unit kesatuan ekonomi dengan menfungsikan Nagari sebagai lembaga kesatuan korporasi berbentuk Koperasi Syariah.
Semua aset Nagari berbentuk tanah ulayat Nagari, sumber mata air, sungai, rimba, kebun dan kekayaan alam lainnya, serta aset2 Nagari berbentuk pasar Nagari, lebuh Nagari, mesjid, sekolah dan bangunan lain2nya, dikelola secara bersama dengan prinsip untuk sebesar-besar kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Nagari dengan prinsip koperasi syariah itu.
Empat, Nagari sebagai unit kesatuan adat, agama dan sosial-budaya. Apapun yang ada di Nagari diatur dengan prinsip ABS-SBK: Adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi Kitabullah. Adat yang tidak sejalan dengan Syarak dibuang, Al Qur’an adalah pedoman dan sumber utama dari semua norma sosial dan budaya.
Dengan Provinsi Sumatera Barat sekarang menjadi DIM: Daerah Istimewa Minangkabau, rakyat dan masyarakat Minangkabau di ranah dan rantau memasuki era akulturasi baru: Bersatunya budaya nasional Nusantara dengan budaya lokal Minangkabau yang berfungsi secara harmonis di wilayah DIM (Daerah Istimewa Minangkabau). ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar