Pemurtadan di Minangkabau Bagian.10
Trauma Masa Kecil Menjadi Penghantar Menuju Jalan Murtad
Banyak murtadin yang dahulunya semasa masih menjadi seorang muslim ialah orang Minangkabau. Namun kemudian mengganti akidah menjadi seorang Nasrani. Terdapat pula beberapa orang diantara mereka yang menjadi Pendeta Agama Nasrani dan berusaha untuk Mengkristenkan Minangkabau. Telah banyak usaha mereka yang terungkap namun diabaikan oleh sebagian besar orang Minangkabau. Bahkan ada yang mengolok-olok “Pemurtadan di Minangkabau?! Mana mungkin..?”Selain Pendeta Willy Amrullah asal Maninjau dan Yanwardi seorang lelaki yang dahulunya bersukukan Koto dari Kaum Datuak Katumangguangan di Lubuak Basuang. Masih terdapat beberapa orang Pendeta Agama Nasrani yang lain, diantaranya yang berhasil kami ketahui ialah seorang lelaki tua yang bernama David Stephen Sjafiroeddin (DSS). Orang ini dilahirkan pada tahun tanggal 5 bulan Juli tahun 1920 dan meninggal pada tanggal 2 bulan September tahun 2007.
Dia telah lama menetap di Amerika tepatnya di Kota Las Vegas di Nevada Amerika Serikat. Sebuah kota yang dikenal sebagai syurganya judi dan prostitusi. Entah bagaimana hingga nasib membawa DSS ke Nevada.
DSS tergabung dalam Gereja Indonesia Pantecostal Revival Felloship yang didirikan pada tahun 1921 yang semasa Penjajahan Belanda bernama Vereeniging De Pinkstergemeente in Nederlandsch Oost Indie[1]. Dimana gereja ini juga memiliki cabang di Kota Padang dengan nama GPdI Jemaat Eben-Haezer yang dipimpin oleh Pdt. H.R. Pandeiroth.
Alangkah baiknya kita tengok sejarah hidup yang dituturkannya sendiri dalam buku yang dikarangnya. Buku tersebut ialah “Which Way Lord?; The True Story of a Minankabau Christian”. Buku ini selain mengisahkan perjalanan hidupnya hingga murtad menjadi Nasrani. Juga digambarkannya sendiri mengenai tanggapan, tafsiran, atau pemahaman peribadinya atas ajaran Islam. Perbandingan yang dilakukannya sendiri terhadap Al Qur’an dan Injil. Dimana semuanya itu dilakukan di tengah kondisi kejiwaan (psikologi) dan kehidupan pribadinya yang sulit. Dia tinggal dengan ayah dan ibu tirinya di Bandung, ibu tirinya tak menyukai dirinya sedangkan ayahnya ialah seorang Playboy yang bekerja pada salah satu klub malam di kota tersebut.
Akhirnya sang ayah menceraikan ibu tirinya dan kawin lagi dengan salah seorang perempuan dari klub malam tersebut. Adapun dengan kakeknya yang tinggal dengan isteri mudanya di Kota Padang tak jauh beda. Serupa ayah dengan anak, maka begitu pula dengan kakeknya yang dahulu juga menceraikan neneknya.
Kakeknya memanfaatkan kelemahan adat Minangkabau dan beberapa dalil dalam Al Qur’an untuk membenarkan perbuatan yang dilakukannya. Dan sayangnya Sjafiroeddin muda yang tak mendapat pendidikan agama yang cukup di kampungnya menerima begitu saja. Sehingga secara perlahan kebenciannya terhadap Islam dan Hukum Islam mulai lahir.
Sjafiroeddin dilahirkan pada tahun 1920 dari keluarga Minangkabau, berasal dari latar belakang keluarga yang broken home. Ibunya diceraikan sang ayah tatkala ibunya baru melahirkan adik perempuan untuknya. Ketika itu usianya baru 2 tahun. DSS masih memiliki hubungan keluarga dengan ayah salah seorang ulama terkenal dari Sumatera Barat yang merupakan keponakan dari kakeknya (kemungkinan kakek dari fihak ibu).
Menurut kisah yang dituliskannya dalam bukunya yang berjudul “Which Way Lord?; The True Story of a Minankabau Christian” dimana dia mengutip dan menafsirkan secara bebas beberapa surat dalam Al Qur’an yang membahas perkara talak, hubungan suami isteri, hak dan kewajiiban laki-laki dan perempuan, pernikahan, dan lain sebagainya.
Kejadian yang menimpa ibunya sangatlah membekas dalam dirinya menjadi “Trauma Masa Kecil” yang kelak sangat berpengaruh dalam menentukan jalan hidupnya.
Layaknya anak-anak seusianya, tatakala masih kanak-kanak dia disuruh mengaji ke surau. Namun dia akhirnya tak lagi datang mengaji setelah kena rotan oleh guru mengaji. DSS dirotan karena ketahuan bermain-main tatkala sang guru sedang mendemonstrasikan “mengaji irama”.
Keputusannya untuk tidak lagi mengaji ke surau melainkan mencukupkan pendidikannya hanya pada sekolah sekuler Belanda saja tidak mendapat penentangan dari keluarganya. Hal ini akan berakibat pada pembentukan karakternya ketika dewasa kelak.
Menurut cerita yang dikisahkannya dia juga pernah mendapat pendidikan di salah satu sekolah agama yang didirikan oleh salah seorang tokoh pembaharu Islam di Sumatera Barat pada awal abad 20. Namun sayang, dalam penyampaian kisahnya DSS tidak objektif sebab dia (berusaha memprovokasi) lebih menyoroti beberapa ayat dalam Al Qur’an yang telah dipelintirnya guna diolok-olok secara Logika.
Kemudian setelah itu dia tinggal dengan ayahnya di Bandung. Disinilah dia mengalami perubahan yang sangat signifikan. Perlakuan dari sang ayah, perlakuan dari ibu tiri, pengakuan dari kakeknya di Padang seputar perceraian ayah dan ibunya, perjumpaan dengan salah seorang kakeknya (paman dari ayahnya) yang telah murtad dan perjumpaan dengan pendeta Nasrani dan isterinya.[2] Kakeknya tersebut (paman dari ayahnya)[3] biasa dipanggilnya dengan panggilan Om, bernamakan Aminoellah van Deik, menikah dengan seorang perempuan Indo-Belanda. Van Deik merupakan anggota dari Gereja Pantekosta.
Karena kebenciannya kepada sang ayah, dia masih menganggap bahwa ayah dan kakeknya merupakan personifikasi dari Ajaran Islam. Ditambah dengan kurangnya pendidikan agama yang didapatnya membuat dia semakin mudah menerima Nasrani sebagai agama baru dan Yesus sebagai tuhan. Setelah berdebat dengan Om-nya yang semenjak awal pertemuan berusaha memurtadkan DSS. Ditambah lagi dia melakukan perbandingan sendiri atas Injil dan Qur’an.[4]
Akhirnya dia memutuskan untuk murtad. Dalam bukunya dia menceritakan bahwa dia mengalami pengalaman spiritual sebelum dibabtis oleh pendeta. Dan keesokan harinya, dia sendiri yang meminta untuk dibabtis kepada Sang Pendeta. Sungguh suatu cerita yang memukau,,
Salah satu bukti kekurang fahaman DSS terhadap Islam yakni tatkala mengatakan bahwa Ali ialah merupakan “anak angkat” Nabi Muhammad yang kemudian menjadi menantu nabi yang dinikahkan dengan anak perempuannya Fatimah. DSS menyebutkan kalau Ali ialah orang yang berperan dalam pembentukan Sekte Syi’ah sedangkan Aisyah isteri nabi memainkan peranan dalam pembentukan Sekte Sunni.[5]
Itulah David Stephen Sjafiroeddin, dia juga membentuk sebuah yayasan yang bertujuan untuk menampung dan memberikan dukungan terhadap para murtadin asal Sumatera (Minangkabau) dengan cara mengumpulkan dana melalui website yang diasuh olehnya.[6] Salmoon Ongirwalu dan Yanwardi dua orang tokoh utama dalam kasus Wawah pada tahun 1999 mendapat dukungan penuh dari Yayasan CROSS yang didirikannya.
Di Amerika dia telah memiliki anak dan mungkin cucu. Berdasarkan pencarian kami kami berhasil menemukan beberapa nama yang memiliki hubungan dengannya. Mereka ialah
- Aurora Labio Sjafiroeddin yang berusia 65 tahun
- Christhoper Jhon Sjafiroeddin yang berusia 47 tahun
- Linda F Sjafiroeddin
- Lucila T Sjafiroeddin yang berusia 44 tahun
- Marcus James Sjafiroeddin yang berusia 43 tahun
- Valerie R Sjafiroeddin yang berusia 38 tahun
- Matthew J Sjafiroeddin yang berusia 45 tahun
- Matt Jason Sjafiroeddin yang berusia 38 tahun
[2] Dimana pendeta dan isterinya inilah yang menampung dirinya tatkala memutuskan keluar dari rumah ayahnya di Bandung. Tatkala ayahnya mengetahui seputar kelakuannya yang telah dengan beraninya membaca Injil dan membandingkannya dengan Al Qur’an tanpa adanya bimbingan dari seorang Ustadz (ulama).
[3] Dalam bukunya berjudul “Which Way Lord?; The True Story of a Minankabau Christian” dia menyebutnya “Paman” bukan “Kakek” karena dia menggunakan panggilan “Om” dalam Bahasa Belanda yang berarti “Paman” kepada kakeknya tersebut.
[4] Dengan latar belakang pendidikan agama, psikologis, serta ketiadaan bimbingan dari seorang ulama yang telah faham dengan Ilmu Keislaman. Perbandingan sendiri yang dilakukannya, kesimpulan yang didapatnya dari perbandingan dua kitab suci, serta pendapat-pendapat yang diutarakannya mengenai kedua kitab suci tersebut menggambarkan rendahnya serta tingginya sentimen keagamaan yang dimilikinya. Sebagai seorang anak yang “Masa Kecilnya Telah Dirampas” dia menjadikan Islam dan Hukum Islam sebagai “Tersangka Utama” dari kehancuran kehidupan ibu, dirinya, serta keluarganya.
[5] Syi’ah dibentuk oleh Abdullah bin Saba’ yang merupakan seorang Rabi Yahudi dari Yaman yang pura-pura masuk Islam. Dia bertanggung jawab atas kematian Khalifah Usman. Dia juga yang membuat dan menyebarkan mitos tentang Ali setelah kematiannya. Dan akhirnya terbentuklah Syi’ah selepas kematian Sayyidina Ali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar