Minggu, 02 Februari 2014

Strategi Lippo, Belajar dari Kegagalan RS Imanuel Bukittinggi

21 Desember 2013 pukul 18:10
James T Riady pasti banyak mengambil pelajaran dari pengalaman bekas RS Imanuel di Bukittinggi dalam usahanya mewujudkan proyek Siloam/Super Blok dan missi kristennya.  Kalau RS Imanuel dirintis sendiri oleh dr. Frank B. Owen dan dibantu Pdt. Ross B Fryer tanpa melibatkan pejabat pemerintah, maka James T. Riady sejak dari awal sudah melibatkan pihak pemerintah, sehingga terlihat waktu peresmian proyek pada 10 Mei 2013 yang lalu terlihat banyak Pejabat, Pimpinan Parpol dan Tokoh Masyarakat Minang baik di Padang maupun dari Jakarta yang menghadirinya.

Dibawah ini sedikit cuplikan Sejarah pendirian rumah sakit Baptis (Imanuel) di Bukittinggi pada tahun 1970 dan upaya tokoh masyarakat dan masyarakat Bukittinggi untuk menghentikan missi Baptis itu.

Bapak DR. Mohammad Natsir sejak 1962 berada dalam karantina politik Orde Lama, dan baru dibebaskan diawal Orde Baru tahun 1967.

Langkah pertama yang dilakukan oleh beliau adalah memulai gerak baru dengan  mendirikan Yayasan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia di Jakarta. Dewan Dakwah ini bermarkas di Masjid Al-Munawwarah Kampung Bali I Tanah Abang, saat ini berkantor di Jalan Kramat Raya Jakarta. Untuk meluaskan geraknya maka dibentuklah perwakilan-perwakilan di seluruh Propinsi di Indonesia.

Selama 2 bulan (Juni-Juli 1968), Bapak Mohammad Natsir berkunjung ke Ranah Minang yang disambut oleh seluruh lapisan masyarakat Sumatera Barat. Beliau dipanggil dengan sebutan “Orang Tua Kita“. Beliau ke Sumatera Barat, waktu itu, adalah atas undangan Gubernur Harun Zain.  Pada kesempatan itu diresmikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia Perwakilan Sumatera Barat, yang berkantor di Masjid Nurul Iman Padang.  Peresmiannya dilaksanakan pada 15 Juli 1968 di Gedung Nasional Bukittinggi.

Kunjungan ke Padang ini, juga ditujukan untuk meninjau perkembangan Yayasan Kesejahteraan yang Beliau gerakkan dari balik dinding karantina.

Di Sumatera Barat ketika itu, terutama di Bukittinggi sedang gigih bergerak menentang ber-dirinya Rumah Sakit Baptis di Bukittinggi.  Usaha Yayasan Baptis ini mereka mulai dengan membeli tanah di Parak Tinggi (antara Kampung Aur Kuning dan Ateh Tambuo).

Missi Baptis mengkampanyekan proyek mereka ini di luar negeri melalui penerbitan buku kecil berjudul “My Land of Sumatera“. Usaha missi Baptis digagalkan oleh Ninik Mamak Kampung Tarok dengan memegang tangan pemilik tanah. Tapi mereka (zending) tidak berhenti.

Gagal di Parak Tinggi berpindah ke Parak Kongsi di desa Bukit Apit Puhun. Kemudian di kampung Mandiangin, kemudian di tepi jalan ke Bukit Ambacang.

Semua usaha mereka itu dapat digagalkan oleh kesatuan gerak, Alim Ulama dan pemuka masyarakat Bukittinggi.

Sementara itu Misi Baptis membuka Poliklinik dengan menyewa sebuah rumah di Kampung Mandiangin yang ramai dikunjungi masyarakat karena layanannya dengan biaya yang murah.
Layanan Misi Baptis di poliklinik ini diserta dengan meletakkan buku-buku saku kecil kutipan Alkitab, ajaran Kristen Baptis.

Upaya ini dimaksudkan mereka untuk dibaca sambil menunggu giliran berobat dan dianjurkan pula untuk dibawa pulang oleh pasien yang datang berobat.

Gerakan missionaris ini tercermin pada Anggaran Dasar Yayasan Baptis tersebut antara lain bahwa usaha sosial kemanusiaan ini adalah dalam rangka penyebaran Injil ke daerah ini.

Majelis Ulama Sumatera Barat yang lahir di Masjid Jamik Birugo, sebagai kelanjutan dari Majelis Ulama Kota Bukittinggi mencoba sekuat daya memberikan pengertian kepada masyarakat, untuk selalu harus berhati-hati terhadap upaya pemurtadan yang dilakukan pihak zending ini.

Disusul kemudian dengan meminta kepada Pemerintah supaya izin mendirikan Rumah Sakit Baptis (Rumah Sakit Immanuel) ini tidak diberikan.

Kecemasan terhadap gerakan Rumah Sakit Missi Baptis ini, juga menyebabkan Bapak Mohammad Natsir, sekembalinya dari kunjungan keliling di Sumatera Barat menuliskan sepucuk surat kepada para ulama.

Sesampai Beliau di Jakarta, menulis pula sepucuk surat yang di alamatkan kepada Buya H. Fachruddin Hs Datuk Majo Indo.  Diantara isi surat itu Bapak Mohamad Natsir menuliskan beberapa catatan, selengkapnya sebagai berikut:

Dalam perjalanan saya berkeliling di Sumbar ada satu hal yang menarik perhatian saya, tetapi waktu itu tak ada kesempatan bagi saya  untuk memikirkannya lebih mendalam, apalagi untuk membicarakannya dengan taman-teman kita secara bertenang.

Oleh karena itu baiklah saya tuliskan, agar dapat dipikirkan bersama diantara teman-teman kita yang akrab, yang bertanggung jawab (bakorong-ketek).
1. Ada persoalan rumah-rumah rakyat, yang sedang ditempati oleh anggota tentara. Rakyat meminta rumah-rumah mereka kembali, terutama di Agam.

2. Pihak Pemerintah bukan tidak mau mengembalikan akan tetapi, kemana anggota tentara akan ditempatkan, oleh karena belum ada asrama. Bukan pula tidak mau mendirikan asrama, akan tetapi biaya pembangunan tidak ada.

3. Akibatnya: Pihak masyarakat merasa tidak puas oleh karena didesak oleh soal-soal sosial, seperti soal keluarga yang hendak pulang dari rantau, soal anak kemanakan yang hendak dikawinkan, dan hal-hal semacam itu yang menghendaki perumahan”.

Mengenai pergerakan Missi Baptis ini, diingatkan bahwa zending ini  tidak berdiri sendiri. Gerakan ini merupakan mata rantai panjang dari satu Gerakan Kristenisasi Internasional. Didukung oleh dana dan program rinci. Berupa wabah Pemurtadan. Maka usaha yang dilakukan oleh masyarakat Bukittinggi dan Sumatera Barat menjadi sangat penting, mengharapkan dari pemerintah saja rasanya tidak cukup.

Terbukti dari Surat Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia No.54 tahun 1968, tidak diacuhkan oleh misi Kristen di Indonesia. Artinya keputusan pemerintah ini tidak dianggap oleh pihak Kristen sesuatu yang mestinya dipatuhi. Maka, kekuatan umat perlu digalang dalam membentengi diri dan kampung halaman, agar tepian orang Minang tidak sempat hanyut.

Mengenai usaha kristenisasi dari missi Baptis ini, Bapak Mohammad Natsir menulis sebagai berikut;
Di Bukittinggi ada agen dari missie asing Baptis, yang mempunyai banyak uang.
Bisa mendirikan sekolah, rumah sakit, gereja, asrama dan apa saja. Dan taktik-srategi yang mereka tempuh sekarang ini, dalam kampanye Kristianisasi mereka dimana-mana, tentu juga di Sumbar ini, ialah menggunakan keunggulan mereka dibidang materie dan alat-alat modern itu, untuk mendapatkan satu basis operasi mereka ditengah-tengah umat Islam.
Apalagi di tempat yang “strategis”, seperti ditengah-tengah masyarakat Aceh, masyarakat Bugis, masyarakat Kalimantan, masyarakat Pasundan dan masyarakat Minang dengan “adat nan basandi syara’- syara’ basandi Kitabullah” itu.

Dalam rangka ini mereka akan selalu melakukan segala macam daya upaya, secara gigih.
Tidak bosan-bosan, dan tidak malu-malu.

Apabila mereka mengetahui bahwa ada suatu kesulitan sosial ekonomis seperti itu, mereka tak akan ragu “mengulurkan tangan” untuk “memecahkannya”.

Asal dengan itu mereka mendapat basis yang permanen, untuk operasi mereka dalam jangka panyang.  (Bak Ulando minta tanah !).
Untuk ini mereka mau saja apa yang dikehendaki.
-  Mau rumah sakit? Mereka bikinkan rumah sakit yang up-to-date.
-  Mau asrama?  Mereka bikinkan.
-  Mau kontrak atau perjanjian yang bagaimana?  Mereka bersedia teken…

Di pulau Sumba (NTT) rakyat memerlukan air.
Pemerintah belum sanggup mengadakan jaringan irigasi dan saluran air minum.
- Mereka bangun jaringan irigasi dan saluran air minum itu.

Di Flores rakyat menghajatkan benar hubungan antara pantai ke pantai, sedangkan pemerintah belum sanggup memenuhi keperluan rakyat itu
– Mereka adakan hubungan itu dengan kapal motor-motor kecil.

Memang Flores, Sumba dan Timor (Kupang) merupakan satu mata rantai yang penting sekali dan satu rantai yang membelit dari Filipina (Katholik). Manado, Toraja, Ambon, dan Nusa Tenggara Timur.

Demikian pula di sebelah Barat rentetan pulau-pulau di Lautan Hindia sebelah Barat Sumatera Barat, Mentawai sampai ke Lampung.

Akan tetapi semua kegiatan mereka dalam menyempurnakan rantai ini dan menumbuhkan basis-basis ditengah-tengah kepulauan Sumatera, Jawa, dan Kalimantan dilakukan dengan mengatas namakan  peri-kemanusiaan semata-mata dan membantu membangun “Indonesia yang modern”.

Saya kuatir, kata Bapak Mohamad Natsir, kalau-kalau mereka sudah berpikir kearah itu, dalam rangka mencari jalan lain, setelah rencana yang semula sudah terbentur.

Kalau mereka berfikir dan melangkah kearah itu maka mereka akan dengan sekaligus bisa memperoleh posisi yang lebih kuat dari yang telah sudah. Mereka akan dapat meng-adu golongan-golongan yang tidak setuju dengan :
a.    Keluarga-keluarga yang ingin lekas rumahnya dikembalikan.
b.    Pihak Tentara (Pemerintah) yang ingin lekas memecahkan soal asrama.
c.    Golongan-golongan dalam masyarakat yang ingin mendapatkan tempat berobat yang moden, lebih modern dan rapi, daripada rumah sakit pemerintah yang sudah ada di Bukittinggi sendiri.

Mereka ini akan bertanya-tanya kenapa kita harus menolak satu amal dari Baptis itu, yang ingin membantu kita secara cuma-cuma?  Bukankah itu fanatik namanya?

Akibat-akibatnya akan timbul lagi pergolakan antara pro dan kontra dalam masyarakat Minang. Ini akan melumpuhkan kembali semangat  pembangunan yang sudah ada sekarang ini, semangat keseluruhan.

Keputusan Menteri Agama No. 54 tahun 1968 itu, mendasar sekali sikap tidak-setujunya terhadap pendirian rumah sakit Baptis itu, atas kekuatiran akan timbul pertentangan.
Pertentangan antara golongan agama di Sumatera Barat yang dapat mengganggu ketertiban dan keamanan, apabila rumah sakit Baptis itu diteruskan mendirikannya.

Akan tetapi sebenarnya, sebelum itupun, pertengkaran antara pro dan kontra sudah akan bisa mengganggu apa yang disebut ketertiban dan keamanan itu. Sekurang-kurangnya banyak yang bertubrukan.

Banyak perasaan yang akan tersinggung. Banyak emosi yang akan berkobar.

Sekali lagi.
Ini semua akan melumpuhkan semangat pembangunan Minang secara keseluruhan yang berkehendak kepada ketenteraman jiwa dan kebulatan hati.
Alangkah sayangnya ! Baru melangkah, ka-tataruang pulo !….

Bapak Mohamad Natsir mengarahkan agar umat melakukan berbagai upaya secara nyata, melalui perkuatan hubungan kerja-sama dalam mengangkat amal yang baik.

Menyatukan visi dan aksi antara masyarakat dan pemerintah.
Tidak semestinya masyarakat digiring melawan kepada pemerintah. Bapak Mohamad Natsir di-antaranya menuliskan arahan Beliau.

Bagai mana caranya, mengelakkan musibah ini?
Saya pikir-pikir ini bisa, apabila kita menghadapi ketiga-tiga persoalan itu secara integral, yaitu soal:
  1. Rumah masyarakat yang sedang ditempati oleh anggota tentara,
  2. Soal asrama untuk tentara,
  3. Soal kekurangan Rumah Sakit yang bermutu lebih baik.
Yaitu dengan menjadikan pembangunan asrama tentara, dan mendirikan Rumah Sakit Islam.
Atau setidaknya peningkatan mutu Rumah Sakit Bukittinggi sebagai “proyek bersama antara pemerintah dengan masyarakat”.

Sepintas lalu memang “aneh” kedengarannya.
Tapi apabila yang aneh ini kita laksanakan akan besar sekali manfaatnya.
Dalam arti politis kita dapat menunjukkan bahwa kita dapat mempererat hubungan antara pemerintah dengan rakyat atas dasar yang sehat dan menghilangkan kesan bahwa kita hanya bisa menolak saja akan tetapi juga sanggup menunjukkan jalan alternatif yang lebih baik.  Dari sudut sosial kita dapat mengatasi kesulitan daripada sebagian masyarakat kita yang memerlukan sangat rumah mereka kembali.

Dari susut membentengi Agama dengan itu kita dapat lebih tegas dan radikal mengatakan kepada missi-missi asing itu : “Kami orang Islam tidak memerlukan tuan-tuan datang kesini”.

Haraplah hal ini dicoba bersama-sama dipikirkan.
Mungkin move yang “aneh” ini tidak akan begitu aneh, bila kita memperhatikannya. Bagaimana Dandim Padang umpamanya dapat membuka kunci hati dan kekuatan rakyat untuk meringankan beban pembuatan parit pantai laut, dengan bantuan batu dan pasir.

Bagaimana viaduct Saruaso dapat dibangun dengan ongkos yang jauh lebih murah daripada kalkulasi secara modern, dan bagaimana Bupati Pasaman bisa menyelenggarakan kurang lebih 80 proyek irigasi dan sebagainya, dan sebagainya…

Bisakah, sekarang umpamanya kita meminta kepada Penguasa (Militer dan Sipil) di Sumbar, untuk merencanakan berapa biaya yang diperlukan untuk asrama tentara itu menurut kalkulasi yang normal. Yakni asrama yang mencukupi syarat. Walapun tidak semewah yang mungkin akan ditawarkan oleh Baptis itu.

Berapa prosenkah kiranya yang dapat dicarikan oleh Pak Gubernur Sumbar sebagai sumbangan Pemerintah Tingkat I untuk maksud tersebut. Sesudah itu berapakah kiranya yang dapat dikumpulkan secara suka rela dari masyarakat, berupa sumbangan bahan-bahan dan tenaga?  Kemudian restan kekurangannya, dipintakan dari Hankam Pusat di Jakarta.

Begitulah diantara jalan pikiran Bapak Mohamad Natsir untuk dijalankan di Sumatera Barat.  Tujuannya sangat jelas membangun dengan berurat kehati umat. Suatu kelaziman semata didalam perjalanan sejarah, bila bertemu dua kepentingan, akan melahirkan setuju atau menolak. Bahkan kesetujuan atau ketidak-setujuan itu tidak selamanya pula berada dalam satu kerangka yang sama. Namun, keteguhan prinsip dalam menghadapi para penggerak dan pendukung gerakan Kristenisasi, merupakan sesuatu yang tak boleh ditawar-tawar.

Menentang gerakan Kristenisasi, bukan sebuah kemasan agama Islam semata. Tetapi, lebih didorong oleh kesadaran dan kecintaan warga masyarakat yang menjadi anggota suatu negara.

Gerakan kristenisasi, melalui pemaksaan dan bujukan agama ini seharusnya dilihat sebagai bahaya yang dapat mengundang pertentangan dikalangan masyarakat bawah. Ujungnya bermuara kepada hancurnya kesatuan dan persatuan dikalangan warga negara Republik Indonesia. Atau sisi lain yang paling berbahaya, adalah hilang kepercayaan masyarakat kepada penguasa.

Bapak Mohammad Natsir memang dikenal sebagai pemimpin umat yang bila mengerjakan sesuatu tidak pernah setengah-setengah. Sinyalemen ini terbaca dari peristiwa yang berkembang di Jakarta, sesuai berita yang disampaikan Bapak Buchari Tamam kepada Panitia Pengambil Inisiatif Badan Pembangun Rumah Sakit Islam Sumatera Barat Bukittinggi.

Diantara lain, “ Bapak Mohamad Natsir sendiri telah pula mencari hubungan langsung dengan orang-orang di kedutaan Amerika yang langsung pula akan menghubungkan beliau dengan wakil Baptis untuk Indonesia di Jakarta.

Bapak Mohamad Natsir dalam hal ini menitik beratkan kepada masalah sikap seorang warga Amerika kebetulan jadi zending Baptis, yang mencoba merayu seorang alat negara Republik Indonesia (dalam hal ini seorang Komandan Korem) untuk melawan kepada putusan pemerintah tertingginya (dalam hal ini Menteri Agama dengan keputusannya melarang pembangunan rumah sakit/gereja Baptis di Bukittinggi).

Jadi hal ini dibawa kebidang politik, dimana yang jadi sasaran utamanya ialah Baptis.
Dengan arti, supaya hindarkan menjadi Korem itu menjadi lawan kita, bahkan kalau dapat dicoba menyelamatkan nya sehingga dapat kita rangkul kembali.

Sesuai dengan surat-surat Bapak Mohamad Natsir selama ini.
Masalah Baptis adalah masalah umat dan Ranah Minang. Sejak lama daerah ini sudah menjadi incaran dari gerakan kristenisasi. Karena itu, gerakan kristenisasi tidak semata isu agama, akan tetapi lebih bersifat politik dan konspirasi internasional juga. Suatu obsesi kalangan Kristen ialah menguasai Ranah Bundo ini. Bila Ranah Minang dapat dimasuki, maka berartilah seluruh Indonesia sudah dikuasai.

”Setelah memperhatikan perkembangan terakhir di Sumbar yang mengenai Baptis, maka:
1. Pelu kita sadari bahwa keputusan Menteri Agama No. 54 adalah didasarkan kepada konsederans sbb :
“……..bila pelaksanaan Pendirian Gedung Rumah Sakit Baptis di Bukittinggi diteruskan akan menimbulkan pertentangan golongan Agama yang dapat mengganggu ketertiban dan keamanan umum” (lihat surat keputusan Menteri Agama No. 54/1968 tgl 23 Maret 1968).

Bapak Mohammad Natsir memberikan catatan khusus dalam surat itu, antara lain:
Hendaknya jangan ditengah jalan kita mengelak sedemikian rupa sehingga menimbulkan kesan bahwa soalnya bukan kita dengan Baptis, akan tetapi soal Menteri Agama dengan Korem, sehingga persoalannya menjadi kabur.

Sebagaimana terang sasaran utama ialah Missi Asing Baptis itu sendiri yang menjadi biang keladi dari semua kesulitan.

Dalam hal ini, maka adalah kewajiban kita di Bukittinggi sekarang ini memberikan dekingan yang kuat kepada Menteri Agama Republik Indonesia. Dengan segala macam bukti, suara dan perbuatan. Hangat-hangatkan masalah ini selalu. Karena itu “jangan kita memindahkan sasaran dari Baptis kepada pihak lain”

Menurut penyelidikan, Baptis itu bukan anggota Dewan Gereja Indonesia (DGI). Mereka berasal dari Amerika Serikat sebelah Selatan dan dikalangan organisasi missi asing terkenal sebagai satu kelompok missi yang suka bekerja secara yang tidak wajar didorong fanatismenya.

Syukurlah adanya keputusan dari rapat tanggal 29 Juli 1968 di Bukittinggi antara ketua-ketua Parpol/Ormas-ormas Islam, BKUI dan lain-lain, yang sudah menghasilkan tiga keputusan itu.
Keputusan ini memperkuat kembali kedudukan Menteri Agama.
Menduduki Ranah Minang oleh pihak agama lain selalu akan diawali dengan menghancurkan atau setidak-tidaknya melemahkan peranan dari adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.

Pandangan seperti inilah yang disampaikan oleh Bapak Bukhari Tamam kepada HMS. Tuanku Suleman.

“Setelah dibaca berulang-ulang dialog antara Buya H. Dani Cs dengan Korem timbullah suatu perasaan dan pengertian dari kami seakan-akan dalam persoalan ada kemunduran sikap dan pendirian dari pihak kita terhadap kebijaksanaan selama ini dalam menghadapi beleid Korem itu.  Hal ini perlulah dipahami benar-benar, karena salah-salah mengeluarkan pendapat nantinya barisan kita bisa jadi berantakan".

Pergeseran situasi dari penjelasan ini, bisa menyebabkan nantinya Menteri Agama menyorotkan pandangan pertanyaan, yang menyebabkan beliau jadi merobah penilaian terhadap Ranah Minang. Dianjurkan supaya masyarakat dan para pemimpin di Ranah Minang agar selalu menjaga kompas pendirian menurut garisnya. Karena, seluruh rakyat menentang kegiatan Baptis di Sumatera Barat (Bukittinggi). Tantangan ini disampaikan secara berjenjang naik bertangga turun sampai kepada Menteri Agama. Berdasar suara itu demi keamanan dan kerukunan umat maka Menteri Agama mengeluarkan keputusan.

Pokok soal disini adalah rakyat yang menolak Baptis dan sikap ini harus terus dijalankan, tidak boleh dikendorkan, tidak boleh di-annemer-kan kepada Menteri Agama dan lain-lain, tetapi harus tetap bernyala dalam dirinya sendiri.

Mungkin karena kekendoran inilah agaknya Korem dapat meyakinkan Panglima Kodam bahwa suara yang menolak Baptis ini hanyalah dari segelintir manusia saja, sehingga Panglima ikut-ikut pula memberi izin Baptis itu.

Rumah Sakit yang pembangunannya dimulai tahun 1972, izin resmi Rumah Sakit baru diperoleh pada tanggal 13 Januari 1976. Pada tanggal 1 Desember 1976, akhirnya Rumah Sakit diresmikan dengan nama Rumah Sakit Imanuel Bukittinggi.

Pada 23 Desember 1984, RS Imanuel Bukittinggi diserahterimakan kepada Menteri Dalam Negeri Bapak Amir Mahmud, dan oleh Bapak Amir Mahmud diserahkan kepada Menteri Kesehatan RI, dr. Suwardjono Surjaningrat. Sejak saat itu tidak ada lagi RS Kristen di Bukittinggi, selanjutnya ex Rumah Sakit Imanuel Bukittinggi menjadi Rumah Sakit Stroke Nasional (RSSN) Bukittinggi dibawah Kementerian Kesehatan RI.

Sumber: rsiibnusinayarsi.wordpress dan sumber lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar