Kitab “Tafsir Al-Mishbah” yang berjilid-jilid itu adalah salah satu karya monumental dari seorang tokoh Islam Indonesia, Prof. Dr. H. Muh. Quraish Shihab, yang diterima oleh umat Islam yang tidak hanya di dataran Indonesia, tapi juga di Asia Tenggara secara umum. Bahkan beliau ditahbis sebagai ahli tafsir terkemuka masa kini, di kawasan Asia Tenggara. Selain itu buku “Membumikan Al-Qur’an” juga merupakan satu di antara sekian banyak karya beliau yang luar biasa. Dengan deretan karya yang beliau telurkan, sangatlah pantas jika ia sebagai tokoh ulama masa kini yang dielu-elukan oleh masyarakat Indonesia dan Asia Tenggara.
Namun dengan ketokohan serta ilmu yang beliau miliki tak membuatnya menjadi manusia ma’sum alias terlepas dari salah dan dosa. Tidak membuat kita bertaqlid buta kepada seluruh pendapatnya. Hanya nabi yang dijaga oleh Allah subhanahu wa ta’ala dari salah dalam menyampaikan risalah yang diemban olehnya. Kita mestinya bersikap adil dan inshof dalam mengambil pendapat dan perkataan manusia, seperti yang diucapkan oleh Imam Malik, Semua perkataan bisa diterima dan ditolak, kecuali penghuni kubur ini (Pusara Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam).
Agen Syiah?
Syiah, sebagaimana kita yakini bersama sebagai aliran pemikiran dan akidah dalam Islam. Jika tidak disebut sebagai aliran sesat maka minimal yang kita sepakati adalah sebagai salah satu sekte dari sekian banyak sekte yang memecah persatuan umat.
Majelis Ulama Indonesia, dalam fatwanya tentang Syiah 1984 telah menyebutkan bahwa yang terjadi antara Islam (Ahlus Sunnah wal Jamaah) dan Syiah adalah perbedaan-perbedaan pokok yang dalam fatwa tersebut ditelurkan dalam lima poin.
Banyak kalangan yang menyebut Bapak. Prof. Quraish Shihab sebagai agen Syiah, namun secara pribadi beliau menolak tuduhan itu dalam pengantar buku Buku Putih Mazhab Ahlul Bait, ABI, Cet IV, hal xv, “Ketika ada sebagian anggapan orang bahwa pak Quraish itu Syiah, saya tegas menolaknya. Penolakan saya disebut Syiah bukan karena ikut pendapat bahwa Syiah itu sesat, tetapi karena saya tahu siapa yang dimaksud Syiah, saya sangat memahami siapa yang pantas disebut Syiah.”
Bukti-bukti nyata dukungan terhadap Syiah
1. Tulisan Quraish Shihab dalam buku Satu Islam Sebuah Dilema, penerbit Mizan, Cet VII, Juni 1994, hal 122,
“Ada juga pengelompokan-pengelompokan seperti Ahlussunnah waljamaah, Syiah dan sebagainya. Wallah, semua mengaku Ahlussunnah waljamaah. Apalagi kita di Indonesia, lebih sempit lagi. NU menganggap hanya kelompoknya yang Ahlussunnah waljamaah. Ya Akhi, kita semua Ahlussunnah Waljamaah. Semua kita, baik Muhammadiyah, NU, maupun Syiah.”
Bagi kita yang mendengar ini tentu saja akan bertanya-tanya, rumusan apa yang beliau pakai dalam memasukkan Syiah ke dalam Ahlussunnah?, terlebih MUI telah menyebutkan perbedaan-perbedaan pokok antara Ahlussunnah Wal Jamaah dengan Syiah tahun 1984.
2. Buku Sunnah-Syiah Begandengan Tangan! Mungkinkah?, Kajian Atas Konsep Ajaran dan Pemikiran. Prof. Quraish Shihab dengan sekuat tenaga berusaha menanamkan kepada kaum Muslimin bahwa perbedaan antara Sunnah dan Syiah itu meskipun ada tapi tidak prinsipil, tidak menyangkut akidah. Seperti ungkapannya dalam hal. 93,
“Tauhid pada prinsipnya adalah keesaan Tuhan dalam sifat, perbuatan, dan Dzat-Nya, serta kewajiban mengesakan dalam beribadah kepada-Nya. Dalam butir-butir makna Tauhid di atas, tidak dijumpai perbedaan prinsipil antara Ahlussunah dan Syiah, walau harus digarisbawahi bahwa kelompok Syiah, dalam hal sifat Tuhan, lebih cenderung sependapat dengan Mu’tazilah.” (Penerbit Lentera Hati, Cet III, Juni 2007)
Padahal buku ini sudah dibantah oleh para ustaz dari Pondok Pesantren Sidogiri dengan buku yang berjudul, “Mungkinkah Sunnah-Syiah Dalam Ukhuwah; Jawaban Atas Buku Dr. Quraish Shihab” Buku ini mengungkap data-data asli dari kitab induk dan muktabar Syiah yang (sengaja) tidak dikutip oleh Prof. Quraish Shihab dalam bukunya tersebut, sehingga membuat kesimpulan yang tidak semestinya, seperti ungkapan beliau, “Tidak dijumpai perbedaan prinsipil antara Ahlussunah dan Syiah.”
3. Buku karya Prof. Quraish Shihab, “Perempuan, Dari cinta Sampai Seks, Dari Nikah Mut’ah sampai Nikah Sunnah, Dari Bias Lama sampai Bias Baru”, hal. 187-212 membahas mengenai hukum nikah mut’ah. Kesimpulannya berbunyi sebagai berikut ini,
“Anda telah membaca di atas tentang pendapat yang berbeda menyangkut mut’ah –kehalalan atau keharamannya serta syarat-syaratnya. Masing-masing mengemukakan alasannya sehingga ulama sepakat menyatakan bahwa nikah mut’ah yang memenuhi syarat-syaratnya tidak identik dengan perzinaan. Kita juga dapat berkata bahwa, seandainya alasan ulama Syiah diakui oleh ulama sunnah, tentulah ulama sunnah tidak akan menyatakan haramnnya mut’ah, demikian juga sebaliknya, seandainya ulama Syiah puas dengan alasan-alasan kelompok ulama sunnah, tentulah mereka tidak menghalalkannya. Namun, kalau hendak menempuh jalan kehati-hatian, tidak melakukan mut’ah jauh lebih aman ketimbang melakukannya –kendati Anda menilainya halal- karena tidak ada perintah, bahkan anjuran, untuk melakukannya. Kalau hendak menempatkan perempuan dalam kedudukan terhormat, tentu seseorang pun tidak akan rela melakukan mut’ah. Lalu, yang tidak kurang pentingnya adalah kalau hendak meraih kesucian jiwa, menghindari sedapat mungkin panggilan debu tanah –seperti makan, minum, dan hubungan seks- merupakan jalan mendaki yang wajar ditempuh.” (Penerbit Lentera Hati, Cet III, April 2006)
Meskipun ungkapan ini cukup bijak, namun sayangnya tidak tegas. Bandingkanlah dengan sikap Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, “Wahai manusia, aku pernah membolehkan kamu melakukan (nikah) mut’ah dengan wanita. Kemudian Allah telah mengharamkan hal itu sampai hari kiamat. Oleh karena itu, jika masih ada yang memiliki wanita yang diperoleh melalui jalan mut’ah maka hendaklah ia melepaskannya dan janganlah kamu mengambil sedikitpun dari apa yang telah kamu berikan kepada mereka.” (HR. Muslim)
berpelukan mesra dengan Ali Khamenei |
Tentang pelarangan Umar di masanya adalah karena masih ada beberapa orang yang tidak mendengar Sabda Nabi di atas, sehingga mengira bahwa mut’ah itu masih boleh dalam keadaan darurat dan melakukannya di masa Abu Bakar dan Umar. Dengan ketegasan yang beliau miliki, Umar kembali menegaskan sabda Nabi di atas. (Al-Majmu’, An-Nawawi)
4. Kata Pengantar Prof. Quraish Shihab yang berjudul, “Kesefahaman, Urat Nadi Persaudaraan Islam” dalam buku “Buku Putih Mazhab Syiah” yang diterbitkan oleh Tim Ahlul Bait Indonesia. Pada hal xix Bapak Prof. Quraish Shihab mengatakan, “Sejatinya kita adalah saudara dan tidak perlu saling menimbulkan ketegangan. Surga terlalu luas sehingga tidak perlu memonopolinya hanya untuk diri sendiri.” (Penerbit DPP Ahlul Bait Indonesia, Cet IV, Desember 2012)
Keempat pernyataan di atas, terutama yang pertama dan terakhir, serta fakta-fakta lain yang tidak sempat kami tuangkan di sini merupakan bukti tentang beliau yang pro terhadap tumbuh dan berkembangnya sekte Syiah di Indonesia dengan konsep kesefahaman, padahal ini sangat bertentangan dengan Keputusan Muktamar Doha tahun 2007 poin no. 7 yang beliau kutip sendiri dalam bukunya, “Sunnah-Syiah Begandengan Tangan! Mungkinkah?, Kajian Atas Konsep Ajaran dan Pemikiran”, hal 268, “Mengajak para pemimpin dan tokoh rujukan agama dari kalangan Sunnah dan Syiah agar tidak mengizinkan adanya penyebaran tasyayyu’ (paham-paham Syiah) di negeri-negeri (penganut aliran) Sunnah, tidak juga penyebaran tasannun (paham-paham khas sunnah) di negeri-negeri (penganut aliran) Syiah, demi menghindari kekacauan dan perpecahan antara putra-putri umat yang satu (umat Islam).”
Walhasil, apakah Prof. Quraih Shihab itu benar agen Syiah atau bukan? Andalah yang berhak menyimpulkan! Semoga pemaparan ini bisa dijadikan bahan perenungan kita. Wallahu a’lam!
(Muh. Istiqamah/lppimakassar.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar