MENGAPA HKBP SERING KONFLIK?
MENGAPA HKBP SERING KONFLIK? Artikel berbentuk opini ini ditulis Suhunan Situmorang dari Jakarta ke imelku, blogberita [at] gmail [dot] com. Suhunan ...adalah jemaat gereja HKBP, bekerja sebagai advokat di kantor Nungroho Partnership. Ia juga novelis. PULUHAN RIBU JEMAAT Gereja HKBP memadati Gelora Bung Karno Minggu 28 Oktober lalu. Presiden SBY ikut hadir di pesta Parolop-olopon 146 Tahun HKBP itu. (HKBP resmi berdiri pada tanggal 7 Oktober 1861, didirikan oleh badan zending RMG, dari Jerman). Wajah Ephorus DR Bonar Napitupulu—dari layar kaca raksasa stadion utama—nampak sumringah. Kehadiran RI 1 memang penting bagi pimpinan gereja suku terbesar di Asia Tenggara itu, apalagi jauh sebelumnya sudah diembuskan ke telinga jemaat. Tujuan “pesta” itu (sengaja diberi tanda kutip karena pengertian “pesta” bagi HKBP lebih pada ‘perayaan’ atau ‘peringatan’), salah satunya, untuk merayakan 67 tahun pribumisasi kepengurusan gereja protestan etnis Batak Toba dari kekuasaan missionaris-zending Jerman. Di tengah gempita acara, sebuah pesan singkat dari kawan lama masuk ke ponselku. Isinya, lagi-lagi tentang kisruh yang terjadi di HKBP Jln. Riau, Bandung. SMS tersebut kian menggangguku mengikuti acara kebaktian karena buruknya kualitas pengeras suara, kurang syahdunya tahap-tahap liturgi, ditambah gerahnya cuaca—membuat orang-orang sibuk berkipas-kipas. Orang-orang yang duduk di sekitarku pun banyak yang menggerutu. Panitia terkesan tak siap memang menggagas acara seakbar itu, juga seolah tak menghargai antusiasme puluhan ribu jemaat yang datang dari berbagai wilayah. Hajatan rohani itu terkesan minimalis disiapkan, hingga gagal mengkondisikan revitalisasi dunia kerohanian. Mungkin mereka sudah bekerja keras, tapi, tak sebanding dengan hasilnya. Mereka pun tak antisipasif atas “kedatangan tamu yang tak diundang”, yakni para naposo (pemuda-pemudi) yang ternyata amat banyak jumlahnya, yang datang bukan atas nama sebuah resort HKBP. Mereka kelaparan karena tak kebagian nasi kotak karena masing-masing gereja diinstruksikan menyediakan konsumsi untuk jemaat rombongan mereka saja. Di teras dan halaman stadion, orang-orang hilir-mudik, mencari makanan-minuman, belanja kaset, VCD, buku; tak mengikuti kebaktian, tak mendengar khotbah, apalagi sambutan dan pidato. Banyak pula yang berpulangan bersama gerutuan. Menjelang sore, ribuan kendaraan terjebak kemacetan. Sekeliling Senayan tak bisa dilalui. Penumpang bus, metromini, mikrolet, angkot—yang tak ber-AC—milik jemaat atau carteran, gencar mengipas-ngipas badan. Wajah mereka kuyu dan letih. Di mobil-mobil pribadi, para penumpang tertidur kelelahan, para pengemudi hanya bisa pasrah. Di tengah kekesalan karena dera kemacetan, SMS kawan dari Bandung itu sekelebat melintas di pikiran. Seakan ahli sosiologi agama dan pakar teologia, pikiranku sibuk mengupas HKBP. Sejak terbebas dari hegemoni missionaris-zending Jerman, HKBP sudah akrab dengan friksi dan konflik internal. Penyebabnya macam-macam. Salah satu konflik yang skalanya tergolong besar terjadi awal dekade 60-an, yang lalu melahirkan GKPI, diikuti HKI. Tahun 1993 terjadi lagi konflik besar, melahirkan ‘sinode godang’ yang dipaksakan berkat dukungan Pangdam Bukit Barisan untuk menggusur Ephorus DR SAE Nababan. Isunya, Nababan dinilai terlalu keras “mendidik” pendeta agar benar-benar menjadi pelayan firman sejati yang lalu menimbulkan ketersinggungan di sebagian pendeta. Ketersinggungan itu dimanfaatkan elite politik dan beberapa penguasa Orde Baru beretnis Batak yang tak suka SAE Nababan karena dianggap tak kooperatif dengan kebijakan Soeharto dan disinyalir pula anti-Golkar. Implikasi dan dampak konflik tersebut membuat antarpendeta, antarjemaat, terlibat perseteruan hebat yang nyaris merontokkan makna agama, membuyarkan harmoni relasi sosial berdasarkan tatanan dan norma hubungan kekerabatan berdasarkan aturan ‘Dalihan Natolu’. Entah berapa pendeta, vikar, jemaat, yang tewas; entah berapa ratus pula yang cacat dan luka. Di kalangan umat, konflik petinggi gereja itu menciptakan dua kubu yang ekstrim berseteru dan menebarkan bibit militansi. Yang satu pro SAE Nababan (kelompok Setia Sampai Akhir/SSA), satu lagi mengikuti Ephorus PWT Simanjuntak hasil sinode yang dilaksanakan di Hotel Tiara, Medan—yang oleh kelompok SSA dijuluki ‘Monjo’. Sisa konflik yang berkepanjangan dan berdarah-darah itulah yang sampai kini menyisa di beberapa gereja HKBP, termasuk HKBP Jln. Riau Bandung dan HKBP Pondok Bambu, Jakarta. Juga melahirkan sebuah HKBP sempalan di bilangan Cikini (pecahan Kernolong) yang liturgi dan teologinya mirip gereja kharismatik. Akibat konflik itu pula HKBP Pangururan terbelah dua. Kelompok anti-SSA membangun gereja mereka di tepi Danau Toba, bertetangga dengan satu-satunya masjid di Pangururan. Ephorus dan sekjen pasca konflik (JR Hutauruk dan WTP Simarmata) mencoba melakukan rekonsiliasi. Jemaat yang terbelah, yang bertahun-tahun memilih berkebaktian secara terpisah, disatukan. Pendeta dan vikar yang berseberangan, dipadukan. Langkah islah ini tak mulus, mungkin karena karat perselisihan terlanjur menggerogoti hingga sumsum tulang HKBP, apalagi ketika Bonar Napitupulu terpilih jadi ephorus, yang disebut-sebut salah satu pentolan anti-SSA semasa konflik besar itu merebak. Tapi belum lama ini konflik memang nyaris meledak di gereja HKBP berjemaat 5000-an, tempat biasa kuikuti kebaktian Minggu. Mayoritas jemaat dan majelis gereja mengusulkan agar Pdt. Daniel T.A Harahap (sebelumnya pernah melayani di situ) menggantikan Pdt. Binnen Silalahi yang tahun lalu meninggal dunia, sementara kantor pusat menetapkan calon lain, kebetulan bermarga Napitupulu (Pdt Patar S. Napitupulu). Kedua pendeta ini sebetulnya sama cerdas dan menariknya dijadikan teman diskusi, sama-sama alumni STT Jakarta dan keduanya berkawan baik. Tarik menarik antara kehendak kantor pusat dengan HKBP Jatiwaringin berlangsung alot dan cukup lama, empat bulanan. Untunglah bara selisih padam sendiri, Pdt. Patar S. Napitupulu pun diterima tanpa gejolak. Jika tidak, sulit dibayangkan akibatnya. Konflik, seolah menjadi hal yang intrinsik dengan HKBP; antarmajelis, majelis dengan pendeta, majelis vs jemaat, pendeta vs majelis plus jemaat (macam yang kini terjadi di HKBP Kebayoran Lama), pendeta vs pengurus kantor pusat (ephorus), dan jemaat plus majelis melawan kantor pusat. Pemicu pertentangan sedikit saja yang bersifat teologis, selebihnya menyangkut manajemen administrasi keuangan, perebutan kuasa dan pengaruh, soal penempatan-pemindahan pendeta, dan gaya kepemimpinan pendeta. Di antara para majelis gereja, apalagi yang merasa ‘sisuan bulu’ (pendiri gereja) tak selalu bisa menerima perlakuan egalitarian. Selalu ingin diistimewakan, dipentingkan, bila perlu berperan besar menentukan kebijakan gereja. Sebagian jemaat yang sering atau pernah menyumbang dana ke gereja pun maunya diistimewakan, bila perlu pendeta harus bisa diatur. Di sisi lain, kantor pusat seakan menjadikan semua gereja HKBP laksana anak cabang perusahaannya, menetapkan sendiri jumlah setoran tiap gereja ke kas Pearaja-Tarutung, yang sering menyulitkan majelis gereja. Padahal, ephorus, sekjen dan pengurus kantor pusat di Pearaja, tak banyak andil dalam mendirikan sebuah gereja, murni swadaya jemaat—termasuk pengurusan izin yang setengah mampus sulitnya. Orang-orang di kantor pusat lebih sering duduk tenang melihat pertumbuhan gereja, tetapi sesudah berhasil didirikan langsung dimasukkan dalam daftar aset kantor pusat HKBP. Mereka tak cukup berperan mendukung perjuangan dan pengorbanan jemaat. Di sisi lain, HKBP kian mendapat serangan dan hambatan dari luar, seperti penutupan paksa dan pembakaran gereja dari pihak yang tak setuju bangunan gereja berdiri di sekitar mereka, juga cercaan dari kalangan Kristen sendiri (kaum kharismatik) yang gencar menuduh HKBP menjalankan teologia sinkretisme dan “belum sungguh-sungguh Kristen”. Bahkan ada satu dua gereja kharismatik yang terang-terangan—dalam khotbah pendetanya—ingin mengosongkan gereja HKBP, membaptis ulang jemaat agar “lahir kembali”, supaya sungguh-sungguh menjadi Kristen—sesuai versi mereka. Ephorus, sekjen, dan orang-orang di kantor pusat seolah tak menganggap masalah-masalah eksternal itu sebagai masalah yang perlu segera disikapi hingga tak tergerak melakukan tindakan advokasi atau setidaknya bantuan semangat kepada jemaat yang merasa tertindas menjalankan ibadah. Maka ketika sebuah gereja ditutup paksa, ketika izin tak dikeluarkan penguasa, tak terdengar tanggapan ephorus di media-massa. Ketika kaum aliran pemurnian Kristen yang fanatik itu kian gencar menyerang HKBP, petinggi gereja di kantor pusat tak coba menangkis dengan mengajukan argumentasi-argumentasi teologis yang mampu menenteramkan hati jemaat. Bahkan hingga kini pimpinan dan pendeta HKBP masih gamang menentukan sikap: apakah akan toleran meresepsi adat-istiadat dan budaya jemaat yang disinkronkan dengan teologia Kristen aliran Lutheran yang jadi anutan HKBP, atau menolak tanpa pengecualian. Yang selama ini dilakukan adalah sikap ambigu, terkadang kompromi dan memberi permakluman, terkadang melarang—khususnya menyangkut musik tradisional gondang sabangunan yang dituduh kaum injili sebagai warisan penyembah hantu atau sipele begu; upacara kematian; ritual mangokhal holi (penggalian tulang-belulang orangtua dan leluhur untuk disatukan dalam sebuah ‘tambak napir’), dan; boleh tidaknya dilakukan ziarah ke makam leluhur-orangtua membawa rokok, sirih, atau buah. Sejauh ini para pemuncak HKBP belum membuat semacam “fatwa” menyangkut semua itu. Jemaat dibiarkan menafsir sendiri, menyimpulkan sendiri, sementara kaum yang sinistik kian gencar mengharamkan kebiasaan lama dan ritual adat-budaya dan aktif meretas pikiran umat dalam rangka de-HKBP-isasi. Memang, HKBP masih terkurung dalam dilema. Bila ritual adat dan budaya secara tegas dilarang, dikhawatirkan akan menuai resistensi dari jemaat—yang dicemaskan akan mengurangi anggota, atau malah mengakibatkan munculnya gereja sempalan baru. Bila tetap berkompromi walau membuat koreksi di sana sini, cap sinkretisme dari kaum Kristen skriptualis dan juga sebagian pendeta HKBP yang anti adat-budaya, akan tetap menempel. Dan bila HKBP akhirnya ikut memusuhi adat-budaya Batak, pasti, sebagian besar jemaat akan mengatakan: HKBP tak usah lagi memakai identitas ‘Batak’ dan cukup disebut HKP (Huria Kristen Protestan) saja, karena ciri utama HKBP adalah kebatakannya, sementara dengan tetap menjadi Batak tak mungkin lepas dari adat-istiadat dan kebudayaan warisan leluhur (ompu sijolo-jolo tubu). Bahkan agar lebih lengkap, kata mereka yang keberatan itu nanti: buanglah marga dari diri tiap jemaat, majelis, pendeta, yang anti adat-budaya Batak itu. Sebab fungsi marga , selain identitas, juga penentu posisi, kedudukan, status, dalam tata hubungan kekerabatan masyarakat Batak. Di luar persoalan-persoalan di atas, jemaat, vikar (sintua), bahkan pendeta, diam-diam atau terang-terang, sudah pula sering mengkritik pola kepemimpinan dan sikap ephorus-ephorus HKBP selama ini, yang dinilai mirip pimpinan ormas biasa (bukan keagamaan). Pengkritik tak setuju bila ephorus terlalu intim dengan politisi, parpol, calon pejabat atau pejabat; juga bila secara terang-terangan menunjukkan dukungan pada penguasa atau calon penguasa tertentu. Pun menyesalkan sikap ephorus atau sekjen yang sering otoriter dan kurang arif membuat aturan dan keputusan, macam pemindahtugasan seorang pendeta tanpa menghiraukan aspirasi mayoritas jemaat, dan pola penyelesaian masalah yang diterapkan dalam upaya penyatuan kembali jemaat yang terpecah karena konflik 1993—macam kasus HKBP Jln. Riau, Bandung, dan Pondok Bambu, Jakarta itu. Sepertinya, para elit gereja yang berkedudukan di kantor pusat beranggapan hanya lewat tindakan tegaslah yang bisa menyelesaikan persoalan internal gereja. Mereka lupa bukan mengurus ormas biasa, bukan pula pimpinan barisan tentara. Mestinya, untuk menyelesaikan persoalan internal gereja, apalagi warisan kasus SAE Nababan vs PWT Simanjuntak, yang dikedepankan adalah pendekatan persuasif yang menuntut kearifan dan kesabaran. Semua itu hanya bisa dilakukan bila kandungan spiritualisme begitu intens dalam diri para pemimpin gereja, terutama ephorus. Sementara itu, sependapat atau tidak, dalam sejarahnya, ikhwal kedalaman spiritualisme ini tak begitu menonjol di kalangan HKBP. Mungkin disebabkan teologi anutannya lebih menekankan rasionalisme beragama berdasarkan ajaran reformasi gereja yang ditawarkan Martin Luther 1516-1521, yang terkenal dengan penentangan atas indulgensia. Teologia anutan HKBP memang lebih mementingkan pengakuan iman terhadap Trinitas dan pemahaman atas Firman Tuhan (Sola Scriptura), dengan mengandalkan khotbah (bukan penekanan ritus ibadah). Dogma gereja bisa disampaikan secara ringan, cair, dan tidak harus pendeta yang menyampaikan. “Liberalisme” memuji dan mendengar Firman Tuhan ini membuat ibadah HKBP jadi terkesan datar, monoton, kurang greget—membuat yang tak puas beralih ke gereja-gereja protestan yang menawarkan ke-dalam-an, macam gereja Pantekosta, Bethel dan gereja-gereja kharismatik lainnya. Kritik yang kian sering ditujukan pada pendeta-pendeta HKBP, salah satunya adalah soal ketidak-khusyukan ibadah itu, yang dituduh sebagai akar masalah kemiskinan spiritualisme. Memang sulit dihindari kesan yang tak sedap didengar ini: bagi pimpinan, pendeta, penggiat dan jemaat HKBP, seakan yang terutama adalah eksistensi sebuah gereja, kehadiran, partisipasi jemaat, keberlangsungan aktivitas seremonial, dan pembangunan fisik gereja. Tak bisa disalahkan. Cobalah cermati perikop penuntun khotbah tahunan buatan kantor pusat dan muatan khotbah kebanyakan pendeta, jarang menekankan kefanaan hidup, kesementaraan pemilikan materi, ketidakabadian kuasa dan jabatan, yang bisa dijadikan umat semacam pengingat: bahwa kehidupan di bumi ini hanya terminal persinggahan, yang paling utama adalah iman dan perbuatan baik, hingga tak perlu berambisi macam-macam bila untuk merengkuhnya harus menghalalkan segala cara (termasuk menempuh cara jahat). Bahwa ukuran kesalehan tak terletak di seberapa aktif diikutinya kebaktian Minggu, sermon, kebaktian wijk, paduan suara, kegiatan lain, dan seberapa banyak disisihkan penghasilannya pada gereja. Bahwa gereja tak perlu dibangun besar, ber-AC, bila donasi jemaat berasal dari uang yang sumbernya diduga bermasalah, dan bila dengan pemberian itu ada imbalan yang diharapkan dari gereja. Melihat berbagai persoalan yang kerap menimpa HKBP dan berulang-ulang, juga dengan mencermati perbuatan dan perilaku sebagian jemaat yang tak terpuji, mungkin sudah saatnya petinggi HKBP merevisi atau memperbarui dogma dan liturgi peribadatan, dengan memberi aksentuasi yang lebih intens pada esensi ajaran Kristus dan Firman Tuhan—selain keimanan—yakni: kesederhanaan, kesabaran, ketulusan, kerendah-hatian, kejujuran, kesudian mengasihi siapa saja (termasuk yang memposisikan diri sebagai musuh), yang untuk itu perlu dibongkar dan dienyahkan segala sifat dan perilaku negatif macam kebencian, egoisme, keangkuhan. Bahwa kehendak Kristus ialah agar setiap orang yang percaya bisa menjadi terang (memberi pencerahan dan kebajikan pada siapa saja) dan garam (bermakna bagi siapa saja), yang dilakukan tanpa reserve, tulus, sebagai wujud ketaatan. Bahwa menjadi pengikut Kristus dituntut pula totalitas sikap terbuka pada siapa saja, sedia bertoleransi, suka bersahabat, menghormati perbedaan (khususnya iman) dan menghargai seluruh ciptaan Tuhan—termasuk kebudayaan dan lingkungan hidup. Untuk mengentalkan nilai-nilai spiritualisme itu seyogiyanyalah ephorus rajin menulis risalah-risalah hasil pemikiran dan permenungan teologisnya, yang secara rutin disebarkan pada pendeta, sintua, aktivis gereja dan jemaat. Sepatutnya pula ephorus mendudukkan jabatan dan dirinya semata-mata sebagai pemimpin spiritual, resi, bukan tokoh organisasi sekuler yang bisa terang-terangan, misalnya, memperlihatkan dukungan pada politisi, pengusaha, calon pejabat atau pejabat. Ephorus harus pula bisa bersikap imparsial dalam urusan perebutan kekuasaan (dari jabatan presiden, menteri, gubernur, bupati, camat, hingga kepala desa), sebab di antara jemaat pasti ada yang berseberangan dengan pihak yang didukungnya. Ia juga dituntut menjadi bapak umat yang berwibawa, berkharisma, yang meneduhkan bagi siapa saja (bahkan terhadap mereka yang menentang kebijakannya), yang tak mudah menghukum pendeta hanya karena perbedaan visi; tetapi berani memperlihatkan sikap kritis untuk menyikapi persoalan-persoalan aktual di negaranya, seperti korupsi, disparitas pendapatan warga yang kian mengerikan, rusaknya lingkungan hidup, degradasi moral akibat perkembangan zaman, pelanggaran HAM, dan sebagainya. Mestinya pula ia proaktif meyakinkan warga non-Kristen bahwa kehadiran gereja—apalagi HKBP yang rada eksklusif karena berciri kesukuan itu—tak usah disikapi dengan kekhawatiran yang berlebihan sebagai upaya Kristenisasi, dan di sisi lain memperlihatkan empati pada penganut aliran kepercayaan hingga berani menegur keras pendeta dan jemaat yang menghalangi pembangunan rumah ibadah macam yang dialami kaum Parmalim di Medan belum lama ini. Sungguh, menjadi ephorus itu amatlah berat. Ia manusia biasa namun harus mampu berpikir, berperilaku, berbuat, melewati ke-biasa-an. Kendati bukan wakil Tuhan dan bukan pula asisten Kristus, sikap, perilaku dan perbuatannya harus bisa menjadi acuan dan panutan pendeta, majelis, aktivis gereja dan jemaat. Semua itu bisa dimilikinya bila nilai-nilai spiritualisme begitu kental dalam dirinya, yang niscaya akan mampu mengikhtiarkan reduksi atas potensi konflik internal maupun eksternal. Akan bisa pula menarik jarak dari tawaran-tawaran yang bersifat kenikmatan duniawi, karena ia lebih suka berdoa, berkontempelasi, berdialog dengan Sang Khalik, Allah pencipta alam semesta beriktu seluruh isinya, Alfa dan Omega. Aura keteduhan, kedamaian, pemaafan, senantiasa pula akan memancar dari dirinya, hingga tiap perkataan, keputusan, atau kebijakan yang dibuatnya, tak semata-mata berasal dari rahim otoritasnya sebagai pimpinan tertinggi gereja. [http://www.blogberita.com]Lihat Selengkapnya
Artikel berbentuk opini ini ditulis Suhunan Situmorang dari Jakarta ke imelku, blogberita [at] gmail [dot] com. Suhunan ...adalah jemaat gereja HKBP, bekerja sebagai advokat di kantor Nungroho Partnership. Ia juga novelis. PULUHAN RIBU JEMAAT Gereja HKBP memadati Gelora Bung Karno Minggu 28 Oktober lalu. Presiden SBY ikut hadir di pesta Parolop-olopon 146 Tahun HKBP itu. (HKBP resmi berdiri pada tanggal 7 Oktober 1861, didirikan oleh badan zending RMG, dari Jerman). Wajah Ephorus DR Bonar Napitupulu—dari layar kaca raksasa stadion utama—nampak sumringah. Kehadiran RI 1 memang penting bagi pimpinan gereja suku terbesar di Asia Tenggara itu, apalagi jauh sebelumnya sudah diembuskan ke telinga jemaat. Tujuan “pesta” itu (sengaja diberi tanda kutip karena pengertian “pesta” bagi HKBP lebih pada ‘perayaan’ atau ‘peringatan’), salah satunya, untuk merayakan 67 tahun pribumisasi kepengurusan gereja protestan etnis Batak Toba dari kekuasaan missionaris-zending Jerman. Di tengah gempita acara, sebuah pesan singkat dari kawan lama masuk ke ponselku. Isinya, lagi-lagi tentang kisruh yang terjadi di HKBP Jln. Riau, Bandung. SMS tersebut kian menggangguku mengikuti acara kebaktian karena buruknya kualitas pengeras suara, kurang syahdunya tahap-tahap liturgi, ditambah gerahnya cuaca—membuat orang-orang sibuk berkipas-kipas. Orang-orang yang duduk di sekitarku pun banyak yang menggerutu. Panitia terkesan tak siap memang menggagas acara seakbar itu, juga seolah tak menghargai antusiasme puluhan ribu jemaat yang datang dari berbagai wilayah. Hajatan rohani itu terkesan minimalis disiapkan, hingga gagal mengkondisikan revitalisasi dunia kerohanian. Mungkin mereka sudah bekerja keras, tapi, tak sebanding dengan hasilnya. Mereka pun tak antisipasif atas “kedatangan tamu yang tak diundang”, yakni para naposo (pemuda-pemudi) yang ternyata amat banyak jumlahnya, yang datang bukan atas nama sebuah resort HKBP. Mereka kelaparan karena tak kebagian nasi kotak karena masing-masing gereja diinstruksikan menyediakan konsumsi untuk jemaat rombongan mereka saja. Di teras dan halaman stadion, orang-orang hilir-mudik, mencari makanan-minuman, belanja kaset, VCD, buku; tak mengikuti kebaktian, tak mendengar khotbah, apalagi sambutan dan pidato. Banyak pula yang berpulangan bersama gerutuan. Menjelang sore, ribuan kendaraan terjebak kemacetan. Sekeliling Senayan tak bisa dilalui. Penumpang bus, metromini, mikrolet, angkot—yang tak ber-AC—milik jemaat atau carteran, gencar mengipas-ngipas badan. Wajah mereka kuyu dan letih. Di mobil-mobil pribadi, para penumpang tertidur kelelahan, para pengemudi hanya bisa pasrah. Di tengah kekesalan karena dera kemacetan, SMS kawan dari Bandung itu sekelebat melintas di pikiran. Seakan ahli sosiologi agama dan pakar teologia, pikiranku sibuk mengupas HKBP. Sejak terbebas dari hegemoni missionaris-zending Jerman, HKBP sudah akrab dengan friksi dan konflik internal. Penyebabnya macam-macam. Salah satu konflik yang skalanya tergolong besar terjadi awal dekade 60-an, yang lalu melahirkan GKPI, diikuti HKI. Tahun 1993 terjadi lagi konflik besar, melahirkan ‘sinode godang’ yang dipaksakan berkat dukungan Pangdam Bukit Barisan untuk menggusur Ephorus DR SAE Nababan. Isunya, Nababan dinilai terlalu keras “mendidik” pendeta agar benar-benar menjadi pelayan firman sejati yang lalu menimbulkan ketersinggungan di sebagian pendeta. Ketersinggungan itu dimanfaatkan elite politik dan beberapa penguasa Orde Baru beretnis Batak yang tak suka SAE Nababan karena dianggap tak kooperatif dengan kebijakan Soeharto dan disinyalir pula anti-Golkar. Implikasi dan dampak konflik tersebut membuat antarpendeta, antarjemaat, terlibat perseteruan hebat yang nyaris merontokkan makna agama, membuyarkan harmoni relasi sosial berdasarkan tatanan dan norma hubungan kekerabatan berdasarkan aturan ‘Dalihan Natolu’. Entah berapa pendeta, vikar, jemaat, yang tewas; entah berapa ratus pula yang cacat dan luka. Di kalangan umat, konflik petinggi gereja itu menciptakan dua kubu yang ekstrim berseteru dan menebarkan bibit militansi. Yang satu pro SAE Nababan (kelompok Setia Sampai Akhir/SSA), satu lagi mengikuti Ephorus PWT Simanjuntak hasil sinode yang dilaksanakan di Hotel Tiara, Medan—yang oleh kelompok SSA dijuluki ‘Monjo’. Sisa konflik yang berkepanjangan dan berdarah-darah itulah yang sampai kini menyisa di beberapa gereja HKBP, termasuk HKBP Jln. Riau Bandung dan HKBP Pondok Bambu, Jakarta. Juga melahirkan sebuah HKBP sempalan di bilangan Cikini (pecahan Kernolong) yang liturgi dan teologinya mirip gereja kharismatik. Akibat konflik itu pula HKBP Pangururan terbelah dua. Kelompok anti-SSA membangun gereja mereka di tepi Danau Toba, bertetangga dengan satu-satunya masjid di Pangururan. Ephorus dan sekjen pasca konflik (JR Hutauruk dan WTP Simarmata) mencoba melakukan rekonsiliasi. Jemaat yang terbelah, yang bertahun-tahun memilih berkebaktian secara terpisah, disatukan. Pendeta dan vikar yang berseberangan, dipadukan. Langkah islah ini tak mulus, mungkin karena karat perselisihan terlanjur menggerogoti hingga sumsum tulang HKBP, apalagi ketika Bonar Napitupulu terpilih jadi ephorus, yang disebut-sebut salah satu pentolan anti-SSA semasa konflik besar itu merebak. Tapi belum lama ini konflik memang nyaris meledak di gereja HKBP berjemaat 5000-an, tempat biasa kuikuti kebaktian Minggu. Mayoritas jemaat dan majelis gereja mengusulkan agar Pdt. Daniel T.A Harahap (sebelumnya pernah melayani di situ) menggantikan Pdt. Binnen Silalahi yang tahun lalu meninggal dunia, sementara kantor pusat menetapkan calon lain, kebetulan bermarga Napitupulu (Pdt Patar S. Napitupulu). Kedua pendeta ini sebetulnya sama cerdas dan menariknya dijadikan teman diskusi, sama-sama alumni STT Jakarta dan keduanya berkawan baik. Tarik menarik antara kehendak kantor pusat dengan HKBP Jatiwaringin berlangsung alot dan cukup lama, empat bulanan. Untunglah bara selisih padam sendiri, Pdt. Patar S. Napitupulu pun diterima tanpa gejolak. Jika tidak, sulit dibayangkan akibatnya. Konflik, seolah menjadi hal yang intrinsik dengan HKBP; antarmajelis, majelis dengan pendeta, majelis vs jemaat, pendeta vs majelis plus jemaat (macam yang kini terjadi di HKBP Kebayoran Lama), pendeta vs pengurus kantor pusat (ephorus), dan jemaat plus majelis melawan kantor pusat. Pemicu pertentangan sedikit saja yang bersifat teologis, selebihnya menyangkut manajemen administrasi keuangan, perebutan kuasa dan pengaruh, soal penempatan-pemindahan pendeta, dan gaya kepemimpinan pendeta. Di antara para majelis gereja, apalagi yang merasa ‘sisuan bulu’ (pendiri gereja) tak selalu bisa menerima perlakuan egalitarian. Selalu ingin diistimewakan, dipentingkan, bila perlu berperan besar menentukan kebijakan gereja. Sebagian jemaat yang sering atau pernah menyumbang dana ke gereja pun maunya diistimewakan, bila perlu pendeta harus bisa diatur. Di sisi lain, kantor pusat seakan menjadikan semua gereja HKBP laksana anak cabang perusahaannya, menetapkan sendiri jumlah setoran tiap gereja ke kas Pearaja-Tarutung, yang sering menyulitkan majelis gereja. Padahal, ephorus, sekjen dan pengurus kantor pusat di Pearaja, tak banyak andil dalam mendirikan sebuah gereja, murni swadaya jemaat—termasuk pengurusan izin yang setengah mampus sulitnya. Orang-orang di kantor pusat lebih sering duduk tenang melihat pertumbuhan gereja, tetapi sesudah berhasil didirikan langsung dimasukkan dalam daftar aset kantor pusat HKBP. Mereka tak cukup berperan mendukung perjuangan dan pengorbanan jemaat. Di sisi lain, HKBP kian mendapat serangan dan hambatan dari luar, seperti penutupan paksa dan pembakaran gereja dari pihak yang tak setuju bangunan gereja berdiri di sekitar mereka, juga cercaan dari kalangan Kristen sendiri (kaum kharismatik) yang gencar menuduh HKBP menjalankan teologia sinkretisme dan “belum sungguh-sungguh Kristen”. Bahkan ada satu dua gereja kharismatik yang terang-terangan—dalam khotbah pendetanya—ingin mengosongkan gereja HKBP, membaptis ulang jemaat agar “lahir kembali”, supaya sungguh-sungguh menjadi Kristen—sesuai versi mereka. Ephorus, sekjen, dan orang-orang di kantor pusat seolah tak menganggap masalah-masalah eksternal itu sebagai masalah yang perlu segera disikapi hingga tak tergerak melakukan tindakan advokasi atau setidaknya bantuan semangat kepada jemaat yang merasa tertindas menjalankan ibadah. Maka ketika sebuah gereja ditutup paksa, ketika izin tak dikeluarkan penguasa, tak terdengar tanggapan ephorus di media-massa. Ketika kaum aliran pemurnian Kristen yang fanatik itu kian gencar menyerang HKBP, petinggi gereja di kantor pusat tak coba menangkis dengan mengajukan argumentasi-argumentasi teologis yang mampu menenteramkan hati jemaat. Bahkan hingga kini pimpinan dan pendeta HKBP masih gamang menentukan sikap: apakah akan toleran meresepsi adat-istiadat dan budaya jemaat yang disinkronkan dengan teologia Kristen aliran Lutheran yang jadi anutan HKBP, atau menolak tanpa pengecualian. Yang selama ini dilakukan adalah sikap ambigu, terkadang kompromi dan memberi permakluman, terkadang melarang—khususnya menyangkut musik tradisional gondang sabangunan yang dituduh kaum injili sebagai warisan penyembah hantu atau sipele begu; upacara kematian; ritual mangokhal holi (penggalian tulang-belulang orangtua dan leluhur untuk disatukan dalam sebuah ‘tambak napir’), dan; boleh tidaknya dilakukan ziarah ke makam leluhur-orangtua membawa rokok, sirih, atau buah. Sejauh ini para pemuncak HKBP belum membuat semacam “fatwa” menyangkut semua itu. Jemaat dibiarkan menafsir sendiri, menyimpulkan sendiri, sementara kaum yang sinistik kian gencar mengharamkan kebiasaan lama dan ritual adat-budaya dan aktif meretas pikiran umat dalam rangka de-HKBP-isasi. Memang, HKBP masih terkurung dalam dilema. Bila ritual adat dan budaya secara tegas dilarang, dikhawatirkan akan menuai resistensi dari jemaat—yang dicemaskan akan mengurangi anggota, atau malah mengakibatkan munculnya gereja sempalan baru. Bila tetap berkompromi walau membuat koreksi di sana sini, cap sinkretisme dari kaum Kristen skriptualis dan juga sebagian pendeta HKBP yang anti adat-budaya, akan tetap menempel. Dan bila HKBP akhirnya ikut memusuhi adat-budaya Batak, pasti, sebagian besar jemaat akan mengatakan: HKBP tak usah lagi memakai identitas ‘Batak’ dan cukup disebut HKP (Huria Kristen Protestan) saja, karena ciri utama HKBP adalah kebatakannya, sementara dengan tetap menjadi Batak tak mungkin lepas dari adat-istiadat dan kebudayaan warisan leluhur (ompu sijolo-jolo tubu). Bahkan agar lebih lengkap, kata mereka yang keberatan itu nanti: buanglah marga dari diri tiap jemaat, majelis, pendeta, yang anti adat-budaya Batak itu. Sebab fungsi marga , selain identitas, juga penentu posisi, kedudukan, status, dalam tata hubungan kekerabatan masyarakat Batak. Di luar persoalan-persoalan di atas, jemaat, vikar (sintua), bahkan pendeta, diam-diam atau terang-terang, sudah pula sering mengkritik pola kepemimpinan dan sikap ephorus-ephorus HKBP selama ini, yang dinilai mirip pimpinan ormas biasa (bukan keagamaan). Pengkritik tak setuju bila ephorus terlalu intim dengan politisi, parpol, calon pejabat atau pejabat; juga bila secara terang-terangan menunjukkan dukungan pada penguasa atau calon penguasa tertentu. Pun menyesalkan sikap ephorus atau sekjen yang sering otoriter dan kurang arif membuat aturan dan keputusan, macam pemindahtugasan seorang pendeta tanpa menghiraukan aspirasi mayoritas jemaat, dan pola penyelesaian masalah yang diterapkan dalam upaya penyatuan kembali jemaat yang terpecah karena konflik 1993—macam kasus HKBP Jln. Riau, Bandung, dan Pondok Bambu, Jakarta itu. Sepertinya, para elit gereja yang berkedudukan di kantor pusat beranggapan hanya lewat tindakan tegaslah yang bisa menyelesaikan persoalan internal gereja. Mereka lupa bukan mengurus ormas biasa, bukan pula pimpinan barisan tentara. Mestinya, untuk menyelesaikan persoalan internal gereja, apalagi warisan kasus SAE Nababan vs PWT Simanjuntak, yang dikedepankan adalah pendekatan persuasif yang menuntut kearifan dan kesabaran. Semua itu hanya bisa dilakukan bila kandungan spiritualisme begitu intens dalam diri para pemimpin gereja, terutama ephorus. Sementara itu, sependapat atau tidak, dalam sejarahnya, ikhwal kedalaman spiritualisme ini tak begitu menonjol di kalangan HKBP. Mungkin disebabkan teologi anutannya lebih menekankan rasionalisme beragama berdasarkan ajaran reformasi gereja yang ditawarkan Martin Luther 1516-1521, yang terkenal dengan penentangan atas indulgensia. Teologia anutan HKBP memang lebih mementingkan pengakuan iman terhadap Trinitas dan pemahaman atas Firman Tuhan (Sola Scriptura), dengan mengandalkan khotbah (bukan penekanan ritus ibadah). Dogma gereja bisa disampaikan secara ringan, cair, dan tidak harus pendeta yang menyampaikan. “Liberalisme” memuji dan mendengar Firman Tuhan ini membuat ibadah HKBP jadi terkesan datar, monoton, kurang greget—membuat yang tak puas beralih ke gereja-gereja protestan yang menawarkan ke-dalam-an, macam gereja Pantekosta, Bethel dan gereja-gereja kharismatik lainnya. Kritik yang kian sering ditujukan pada pendeta-pendeta HKBP, salah satunya adalah soal ketidak-khusyukan ibadah itu, yang dituduh sebagai akar masalah kemiskinan spiritualisme. Memang sulit dihindari kesan yang tak sedap didengar ini: bagi pimpinan, pendeta, penggiat dan jemaat HKBP, seakan yang terutama adalah eksistensi sebuah gereja, kehadiran, partisipasi jemaat, keberlangsungan aktivitas seremonial, dan pembangunan fisik gereja. Tak bisa disalahkan. Cobalah cermati perikop penuntun khotbah tahunan buatan kantor pusat dan muatan khotbah kebanyakan pendeta, jarang menekankan kefanaan hidup, kesementaraan pemilikan materi, ketidakabadian kuasa dan jabatan, yang bisa dijadikan umat semacam pengingat: bahwa kehidupan di bumi ini hanya terminal persinggahan, yang paling utama adalah iman dan perbuatan baik, hingga tak perlu berambisi macam-macam bila untuk merengkuhnya harus menghalalkan segala cara (termasuk menempuh cara jahat). Bahwa ukuran kesalehan tak terletak di seberapa aktif diikutinya kebaktian Minggu, sermon, kebaktian wijk, paduan suara, kegiatan lain, dan seberapa banyak disisihkan penghasilannya pada gereja. Bahwa gereja tak perlu dibangun besar, ber-AC, bila donasi jemaat berasal dari uang yang sumbernya diduga bermasalah, dan bila dengan pemberian itu ada imbalan yang diharapkan dari gereja. Melihat berbagai persoalan yang kerap menimpa HKBP dan berulang-ulang, juga dengan mencermati perbuatan dan perilaku sebagian jemaat yang tak terpuji, mungkin sudah saatnya petinggi HKBP merevisi atau memperbarui dogma dan liturgi peribadatan, dengan memberi aksentuasi yang lebih intens pada esensi ajaran Kristus dan Firman Tuhan—selain keimanan—yakni: kesederhanaan, kesabaran, ketulusan, kerendah-hatian, kejujuran, kesudian mengasihi siapa saja (termasuk yang memposisikan diri sebagai musuh), yang untuk itu perlu dibongkar dan dienyahkan segala sifat dan perilaku negatif macam kebencian, egoisme, keangkuhan. Bahwa kehendak Kristus ialah agar setiap orang yang percaya bisa menjadi terang (memberi pencerahan dan kebajikan pada siapa saja) dan garam (bermakna bagi siapa saja), yang dilakukan tanpa reserve, tulus, sebagai wujud ketaatan. Bahwa menjadi pengikut Kristus dituntut pula totalitas sikap terbuka pada siapa saja, sedia bertoleransi, suka bersahabat, menghormati perbedaan (khususnya iman) dan menghargai seluruh ciptaan Tuhan—termasuk kebudayaan dan lingkungan hidup. Untuk mengentalkan nilai-nilai spiritualisme itu seyogiyanyalah ephorus rajin menulis risalah-risalah hasil pemikiran dan permenungan teologisnya, yang secara rutin disebarkan pada pendeta, sintua, aktivis gereja dan jemaat. Sepatutnya pula ephorus mendudukkan jabatan dan dirinya semata-mata sebagai pemimpin spiritual, resi, bukan tokoh organisasi sekuler yang bisa terang-terangan, misalnya, memperlihatkan dukungan pada politisi, pengusaha, calon pejabat atau pejabat. Ephorus harus pula bisa bersikap imparsial dalam urusan perebutan kekuasaan (dari jabatan presiden, menteri, gubernur, bupati, camat, hingga kepala desa), sebab di antara jemaat pasti ada yang berseberangan dengan pihak yang didukungnya. Ia juga dituntut menjadi bapak umat yang berwibawa, berkharisma, yang meneduhkan bagi siapa saja (bahkan terhadap mereka yang menentang kebijakannya), yang tak mudah menghukum pendeta hanya karena perbedaan visi; tetapi berani memperlihatkan sikap kritis untuk menyikapi persoalan-persoalan aktual di negaranya, seperti korupsi, disparitas pendapatan warga yang kian mengerikan, rusaknya lingkungan hidup, degradasi moral akibat perkembangan zaman, pelanggaran HAM, dan sebagainya. Mestinya pula ia proaktif meyakinkan warga non-Kristen bahwa kehadiran gereja—apalagi HKBP yang rada eksklusif karena berciri kesukuan itu—tak usah disikapi dengan kekhawatiran yang berlebihan sebagai upaya Kristenisasi, dan di sisi lain memperlihatkan empati pada penganut aliran kepercayaan hingga berani menegur keras pendeta dan jemaat yang menghalangi pembangunan rumah ibadah macam yang dialami kaum Parmalim di Medan belum lama ini. Sungguh, menjadi ephorus itu amatlah berat. Ia manusia biasa namun harus mampu berpikir, berperilaku, berbuat, melewati ke-biasa-an. Kendati bukan wakil Tuhan dan bukan pula asisten Kristus, sikap, perilaku dan perbuatannya harus bisa menjadi acuan dan panutan pendeta, majelis, aktivis gereja dan jemaat. Semua itu bisa dimilikinya bila nilai-nilai spiritualisme begitu kental dalam dirinya, yang niscaya akan mampu mengikhtiarkan reduksi atas potensi konflik internal maupun eksternal. Akan bisa pula menarik jarak dari tawaran-tawaran yang bersifat kenikmatan duniawi, karena ia lebih suka berdoa, berkontempelasi, berdialog dengan Sang Khalik, Allah pencipta alam semesta beriktu seluruh isinya, Alfa dan Omega. Aura keteduhan, kedamaian, pemaafan, senantiasa pula akan memancar dari dirinya, hingga tiap perkataan, keputusan, atau kebijakan yang dibuatnya, tak semata-mata berasal dari rahim otoritasnya sebagai pimpinan tertinggi gereja. [http://www.blogberita.com]Lihat Selengkapnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar