Suara Gereja Kristen-Katolik Menghadapi Pemilu 2014
Suara Pembaharuan, 25-26 Januari, mengutip pernyataan Konferensi Wali Gereja (KWI), menghadapi pemilu 2014, menyatakan KWI dalam surat Gembala tertanggal 10 Januari 2014, mengajak umatnya agar hati-hati memilih calon legislatif, dan tidak terpengaruh oleh penampilan calon saat kampanye.
KWI mengajak jemaatnya agar memilih calon legislatif yang memiliki komitmen yang mau berjuang untuk mengembangkan ‘sikap toleransi’ dalam kehidupan antar umat beragama. Ditambahkan pilihan kepada calon legislatif perempuan berkualitas untuk DPR, DPRD, dan DPD, salah satu tindakan nyata mengakui kesamaan martabat dalam kehidupan politik.
Dibagian lain, KWI dalam pernyataan, menyatakan, “Kita bersyukur atas empat kesepakatan dasar berbangsa dan bernegara, yakni Pancasila, Undang-Undang Dasar ’45, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhineka Tunggal Ika. KWI percaya dengan mewujudkan keempat cita-citanya.
Oleh karena itu, KWI menyerukan dalam memilih partai perlu memperhatikan sikap dan perjuangan mereka dalam menjaga keempat pilar”, ungkap KWI, yang ditandatangai oleh Mgr.Ignatius Suharyo, sebagai ketua, dan Mgr.Johannes Pujasumarta, sebagai sekretaris.
KWI menambahkan bahwa partai yang memiliki wawasan kebangsaan dan hanya memperjuangkan kelompoknya, tidak usah dipilih. Organisasi Katolik itu juga menegaskan sikapnya agar tetap waspada terhadap usaha-usaha memecah belah atau mengadu domba yang dilakukan tercapainya suatu target politik.
Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan Dewan Gereja Indonesia (DGI) dengan sangat aktif terus mencari jalan politik, khususnya dalam rangka menegakkan eksistensinya, termasuk mendapatkan keuntungan politik dan kekuasaan.
Menurut Ketua Bidang Hukum FPI, Munarwan SH, mengatakan, bahwa KWI dan DGI telah melakukan pertemuan dengan membuat keputusan, terutama mengantisipasi situasi politik di indonesia, dan membuat skenario, pertama: mendirikan partai politik dan mendorong, dan kedua : kader-kader atau aktifis gereja masuk ke partai politik, lembaga swadaya masyarakat, dan berbagai lembaga lainnya dalam rangka memenangkan perjuangan gereja.
Tentu, dukungan terhadap anggota legislatif yang mendukung tolerensi dan partai yang menganut paham nasionalis itu, sejalan dengan tujuan dari golongan kristen-katolik. Karena hanya dengan anggota legislatif yang toleran dan partai yang berideologi nasionalis itulah yang akan menguntungkan golongan kristen-katolik.
Golongan Kristen di Indonesia jumlahnya kurang dari 10 persen, tetapi mereka mendapatkan keuntungan politik dan kebebasan yang sangat luar biasa. Di era kebebasan ini, justru golongan minoritas mendapatkan keberkahan.
Sementara itu, golongan Islam mengalami sikap "minder" (rendah diri), dan ridak memiliki keyakinan tentang agamanya (Islam), dan melepaskan keyakinannya dan menjadi partai sekuler. Ini terjadi pada partai-partai Islam yang sudah “loyo” tidak lagi memiliki “ghirah” memperjuangkan Islam.
Berbeda dengan golongan kristen dan katolik, mereka berani terbuka dan terangan-terangan memperjuangkan kepentingan mereka. Mereka berani menghadapi pemerintahan SBY yang dianggap tidak dapat melindungi umat beragama (kristen-katolik) dengan berbagai kasus pelarangan gereja diberbagai tempat. Mereka berani melakukan kebaktian di depan Istana.
Golongan kristen-katolik juga berani melaporkan pemerintahan SBY ke Komisi Hak Asasi Internasional PBB, karena dianggap gagal dan tidak mampu melindungi kelompok minoritas di Indonesia. Sungguh golongan kristen-katolik di Indonesia, seperti tidak ada beban memperjuangkan keyakinan agama mereka.
Inilah realitas yang sangat paradok antara partai-partai Islam dengan golongan kristen-katolik. Di mana mereka berani membuat kriteria dengan sangat jelas anggota legislatif dan partai yang harus mereka pilih dan dukung. Semua demi eksistensi dan keuntungan politik bagi golongan kristen-katolik.
Wallahu a'lam (hanya Allah Yang Maha Mengetahui).
Suara Pembaharuan, 25-26 Januari, mengutip pernyataan Konferensi Wali Gereja (KWI), menghadapi pemilu 2014, menyatakan KWI dalam surat Gembala tertanggal 10 Januari 2014, mengajak umatnya agar hati-hati memilih calon legislatif, dan tidak terpengaruh oleh penampilan calon saat kampanye.
KWI mengajak jemaatnya agar memilih calon legislatif yang memiliki komitmen yang mau berjuang untuk mengembangkan ‘sikap toleransi’ dalam kehidupan antar umat beragama. Ditambahkan pilihan kepada calon legislatif perempuan berkualitas untuk DPR, DPRD, dan DPD, salah satu tindakan nyata mengakui kesamaan martabat dalam kehidupan politik.
Dibagian lain, KWI dalam pernyataan, menyatakan, “Kita bersyukur atas empat kesepakatan dasar berbangsa dan bernegara, yakni Pancasila, Undang-Undang Dasar ’45, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhineka Tunggal Ika. KWI percaya dengan mewujudkan keempat cita-citanya.
Oleh karena itu, KWI menyerukan dalam memilih partai perlu memperhatikan sikap dan perjuangan mereka dalam menjaga keempat pilar”, ungkap KWI, yang ditandatangai oleh Mgr.Ignatius Suharyo, sebagai ketua, dan Mgr.Johannes Pujasumarta, sebagai sekretaris.
KWI menambahkan bahwa partai yang memiliki wawasan kebangsaan dan hanya memperjuangkan kelompoknya, tidak usah dipilih. Organisasi Katolik itu juga menegaskan sikapnya agar tetap waspada terhadap usaha-usaha memecah belah atau mengadu domba yang dilakukan tercapainya suatu target politik.
Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan Dewan Gereja Indonesia (DGI) dengan sangat aktif terus mencari jalan politik, khususnya dalam rangka menegakkan eksistensinya, termasuk mendapatkan keuntungan politik dan kekuasaan.
Menurut Ketua Bidang Hukum FPI, Munarwan SH, mengatakan, bahwa KWI dan DGI telah melakukan pertemuan dengan membuat keputusan, terutama mengantisipasi situasi politik di indonesia, dan membuat skenario, pertama: mendirikan partai politik dan mendorong, dan kedua : kader-kader atau aktifis gereja masuk ke partai politik, lembaga swadaya masyarakat, dan berbagai lembaga lainnya dalam rangka memenangkan perjuangan gereja.
Tentu, dukungan terhadap anggota legislatif yang mendukung tolerensi dan partai yang menganut paham nasionalis itu, sejalan dengan tujuan dari golongan kristen-katolik. Karena hanya dengan anggota legislatif yang toleran dan partai yang berideologi nasionalis itulah yang akan menguntungkan golongan kristen-katolik.
Golongan Kristen di Indonesia jumlahnya kurang dari 10 persen, tetapi mereka mendapatkan keuntungan politik dan kebebasan yang sangat luar biasa. Di era kebebasan ini, justru golongan minoritas mendapatkan keberkahan.
Sementara itu, golongan Islam mengalami sikap "minder" (rendah diri), dan ridak memiliki keyakinan tentang agamanya (Islam), dan melepaskan keyakinannya dan menjadi partai sekuler. Ini terjadi pada partai-partai Islam yang sudah “loyo” tidak lagi memiliki “ghirah” memperjuangkan Islam.
Berbeda dengan golongan kristen dan katolik, mereka berani terbuka dan terangan-terangan memperjuangkan kepentingan mereka. Mereka berani menghadapi pemerintahan SBY yang dianggap tidak dapat melindungi umat beragama (kristen-katolik) dengan berbagai kasus pelarangan gereja diberbagai tempat. Mereka berani melakukan kebaktian di depan Istana.
Golongan kristen-katolik juga berani melaporkan pemerintahan SBY ke Komisi Hak Asasi Internasional PBB, karena dianggap gagal dan tidak mampu melindungi kelompok minoritas di Indonesia. Sungguh golongan kristen-katolik di Indonesia, seperti tidak ada beban memperjuangkan keyakinan agama mereka.
Inilah realitas yang sangat paradok antara partai-partai Islam dengan golongan kristen-katolik. Di mana mereka berani membuat kriteria dengan sangat jelas anggota legislatif dan partai yang harus mereka pilih dan dukung. Semua demi eksistensi dan keuntungan politik bagi golongan kristen-katolik.
Wallahu a'lam (hanya Allah Yang Maha Mengetahui).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar