Senin, 06 Januari 2014

 Jejak Derita Muslim Uighur

Jejak Derita Muslim Uighur

Written By Ardi La Madi on Jumat, 05 November 2010 | 20.27


Beberapa hari lalu, media melansir berita bentrokan yang terjadi antara etnis Han/Cina dan Muslim Uighur di jalanan Ibukota Propinsi Xinjiang, Umruqi. Bentrokan ini mene¬waskan sedikitnya 156 orang dan lainnya luka-luka.
BENTROKAN dan tindak kek¬erasan di Xinjiang tidak terjadi tiba-tiba. Akar penyebabnya adalah ketegangan etnis antara warga Uighur Muslim dan warga Cina etnis Han. Sebagai kelom¬pok minoritas, bangsa Uighur kerap kali harus mengalami perlakuan diskrimi¬natif, baik dalam kehidupan sosial, poli¬tik, ekonomi, budaya maupun dalam menjalankan ibadah sehari-hari, hal ini dikarenakan proses ‘pemarjinalan’ aga¬ma dalam sistem komunis yang diter¬apkan oleh pemerintah Cina.
Kehidupan Muslim Uighur di negara penganut paham komunis terbesar di dunia setelah Rusia ini, tidaklah seleluasa saudara-saudaranya di belahan dunia lainnya. Apalagi ajaran komunis dengan tegas tidak mengenal Tuhan, menganggap agama sebagai candu, dan mengambil sikap anti agama yang keras, agama merupakan gejala kolot yang lambat laun akan ditinggalkan, apalagi Partai Komunis Cina dalam konstitusinya pada 1931 menyatakan ‘kemerdekaan melawan agama’.
Sejak dulu, umat Islam memang tidak selamanya memperoleh angin segar, beberapa kali Islam ditekan keras dan dimusuhi oleh pemerintah Cina, maupun kelompok-kelompok yang tidak menginginkan Islam berkembang di Cina dan khususnya Xinjiang. Islam adalah bagian integral kehidupan dan identitas warga Uighur Xinjiang, dan salah satu keluhan uta-ma mereka terhadap pemerintah Cina adalah tingkat pembatasan yang diberlakukan oleh Beijing terhadap kegiatan keagamaan mereka. Jumlah masjid di Xinjiang merosot jika dibandingkan dengan jumlah pada masa sebelum tahun 1949, dan institusi keagamaan itu menghadapi pembatasan yang sangat ketat. Anak-anak di bawah usia 18 tahun tidak diizinkan beribadah di masjid. Demikian jugapejabat Partai Komunis dan aparat pemerintah.
Memang, di beberapa hal minoritas muslim di China ini masih boleh melaksanakan aktivitas ibadah, tapi tetap saja penerapannya tetap mendapat kontrol kuat dari pemerintah. Misalnya, imam masjid adalah orang yang ditunjuk oleh pemerintah, dan mereka pun punya kewajiban pribadi untuk setiap beberapa hari melapor ke kepolisian setempat. Masjid-masjid juga selalu diawasi, demikian juga guru dan murid yang kelihatan taat menjalankan ajaran Islam akan langsung dipecat. Bidang seni dan sastra yang berbau agama dan politik akan digilas habis. Di kawasan ini, segala sesuatu yang memperlihatkan penentangan atas politik Peking dianggap sebagai “usaha disintegrasi”, memberontak.
Berdasarkan undang-undang China segala upaya yang mengarah kepada disintegrasi bangsa adalah bentuk pidana serius terhadap negara dan pelakunya divonis hukuman mati. Sebagian Lembaga Hak Asasi Manusia mengakui bahwa pemerintah China telah memberlakukan pengawasan ketat terhadap aktivitas keagamaan untuk membendung perkembangan Islam di wilayah Uighur. Hal ini dapat terlihat oleh keluarnya ketetapan pemerintah lokal Propinsi Xinjiang yang melarang simbol keagamaan, baik di lembaga pendidikan, lembaga sosial dan budaya, media massa, hingga menyentuh ke pola interaksi dan berbusana masyarakat Turkistan Timur itu.
Tidak berhenti sampai pada tataran penodaan hak asasi manusia untuk bebas menjalankan ajaran agamanya, diskriminasi etnik, dan lain hal yang sangat merugikan muslim Uighur, bahkan lebih dari pada itu ada proyek yang sedang digelar oleh pendatang Han-Atheis untuk mengubah demografi Turkistan menjadi tanah air suku Han-Komunis, bukan Turkistan Muslim. Rencana tersebut sudah tampak mengemuka karena sektor ekonomi dan pemerintahan lokal sepenuhnya telah dikuasai suku Han. Lebih Ironis, para kontraktor dan pekerja di penambangan minyak bumi Uighur dan sejumlah perusahaan besar adalah orang beretnis China , suku Uighur cukup menjadi penonton.

Untuk administrasi, warga muslim pun tidak luput dari pengekangan. Mereka dicekal ke luar negeri. Jadi, masyarakat muslim Uighur sangat sulit keluar dari Uighur bahkan untuk melaksanakan ibadah haji sekalipun. Kalau ada yang berhasil ke luar negeri, itu sesuatu yang sangat langka dan biasanya telah melalui proses administrasi yang sangat ruwet Untuk saat ini para pengamat memandang kondisi di Uighur masih dilematis, bahwa memang tidak ada perbedaan antara kasus Tibet-Budha yang mendapat penindasan Pemerintah Peking dengan kasus Uighur adalah benar, dimana kedua-duanya sama-sama menjadi obyek kezaliman China.
Namun, perbedaan ideologi yang dianut kedua wilayah itu menciptakan pola respon berlainan dari masyarakat internasional. Ini yang memperunyam kondisi di Uighur. Tibet penduduknya menganut agama Budha, dan agama ini tidak dimasukkan AS dan patnernya sebagai ajaran teroris— secara dramatis mendapat simpati dan dukungan internasional yang luar biasa. Sampai hari ini media massa internasional masih memperjuangkan nasib Tibet, bahkan Dalai Lama, pemimpin Tibet mendapat no-bel perdamaian. Sementara Uighur yang notabene berpenduduk mayoritas muslim yang dianggap teroris sama sekali tidak mendapat simpati dunia. Ini yang kemudian memuluskan proyek China di Turkistan.
Atas dasar itulah Muslim Uighur di Xinjiang mengadakan berbagai bentuk perlawanan sebagai respon atas perlakuan dan penindasan dari pemerintah/etnis Han, karena dirasa sangat tidak adil serta merugikan umat Islam. Dan bagaimana pemerintah berusaha untuk meredam perlawanan mereka dengan brutal, dan menganggap sebagai ancaman, sehingga menimbulkan korban yang tidak sedikit, juga kerusakan hebat pada kehidupan muslim, seperti yang terjadi beberapa waktu lalu.
Muslim Uighur di Xinjiang tidak punya pilihan lain selain bertahan dan melakukan perlawanan sebisa mungkin menghadapi amukan dan beringasnya etnis Han yang menyerang mereka. Tak jarang mereka harus lari menyelamatkandiri dari kejaran ribuan orang Han yang membawa tongkat pemukul dan senjata lainnya.Minimnya informasi tentang kondisi muslim Uighur di Provinsi Xinjiang membuktikan satu hal tentang kesuksesan pemerintah Cina menutup akses umat Islam untuk mengetahui nasib saudara-saudaranya di sana.
Di sisi lain, jika tak ada kepedulian dari dunia Islam, bukan mustahil kejayaan Islam di Turkistan Timur betul-betul teronggok dalam kubangan lumpur sejarah dan kehilangan sejarah, seperti bunyi sebuah ujaran bijak, ibarat anak yang kehilangan ayah. Mungkin saja lebih buruk, jika dunia Islam tetap diam seribu bahasa. Sebagai negara dengan mayoritas penduduknya beragama Islam, akankah Indonesia terus diam menyaksikan der-ita Muslim Uighur?
Oleh Teuku Zulkhairi, pemerhati Sosial dan Keagamaan, alumnus Ma’had ‘Aly Lii’dadi Du’at An-Nu’aimy Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar