Minggu, 19 Januari 2014

:::: STRATEGI & KONSPIRASI " KOMANDO PASTOR " INGIN MENGUASAI IBU PERTIWI ( I ) :::

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri semakin dipastikan tidak akan maju mencalonkan diri di pemilihan presiden 2014. Mega yang kini menjanda telah diposisikan sebagai ‘king maker’. Sebuah peran simbolik untuk melanggengkan agenda strategis dari arus afiliasi politik primordial: “jaringan katolik – konglomerasi Cina”, yang kian gencar mengusung Jokowi sebagai capres.

Jika demikian, maka siapa figur kunci calon wakil presiden dari PDIP…? Pertanyaan tersebut menuai berbagai spekulasi di ruang publik. Jika merujuk pada arah opini yang dimainkan oleh Kompas sebagai corong utama “jaringan katolik – konglomerasi cina”, beberapa nama seperti; Gita Wiryawan, Dahlan Iskan, Hatta Rajasa, Surya Paloh dan Ahok mulai digulirkan sebagai figur yang layak mendampingi Jokowi.

Terkait dengan kemunculan peran Ahok, menjadi menarik dan spesifik diperbincangkan. Bagi Kompas, jika pasar tidak memberi reaksi negatif, maka Ahok sangat tepat mendampingi Jokowi. Maklum, Ahok merupakan keterwakilan kekuatan arus konsolidasi konglomerasi cina yang berperan besar dalam menentukan kehadiran Jokowi di panggung politik terkini.

Selain itu, Ahok merupakan “kader emas” Gerindra yang digiring guna meredupkan potensi Prabowo Subianto agar dipastikan tidak maju sebagai Capres, dan sekaligus menarik gerbong Gerindra berkoalisi dengan PDIP. Sebuah langkah yang jitu, namun sangat bergantung pada sikap Prabowo, apakah dirinya akan terjebak pasrah pada skenario Kompas tersebut…?

Prabowo sebagai mantan Jenderal Kopasus yang memiliki segudang pengalaman militer, tentu punya cara menghadapi perubahan komitmen politik PDIP yang kian melaju meninggalkan dirinya. Dan bagaimana mungkin, Gerindra yang dibesarkan sebagai basis pendukung utamanya, dibiarkan tersandera oleh manuver Ahok secara kasatmata…?

Dari sisi peran media, suka atau tidak, Kompas makin terlihat lincah menunjukkan kemampuannya dalam menggalang afiliasi “jaringan katolik – konglomerasi cina”. Sebuah hubungan yang lama terbangun sejak awal rezim Orde Baru, dan kini di era reformasi mengalami kematangan dengan menjadikan PDIP sebagai sarana politik.

Wajar saja, bila rangkaian opini jelang Pileg yang digulirkan Kompas tidak lepas dari tujuan mempermulus konsolidasi PDIP. Dengan target mengusung dan memenangkan Jokowi di pilpres nanti. Sebuah paket politik cerdas untuk bertarung menghadapi munculnya koalisi partai dari kubu nasionalis (Golkar-Nasdem-Gerindra-PAN-Demokrat) dan partai-partai Islam (PKS-PPP-PKB-PBB).

Harus diakui, pematangan dan persiapan PDIP untuk bertarung di Pileg dan Pilpres terbilang canggih. Di mana pemetaan yang dimainkan oleh kompas melalui afiliasi “jaringan katolik – konglomerasi cina” merupakan kekuatan riil: Dukungan homogenitas basis politik primodial dan sokongan jaringan finansial.

Kenyataan itu, Demokrat sebagai partai berkuasa dan menjadi korban utama dari perusakan citra oleh berbagai opini Kompas, belakangan mulai memahami bahwa, PDIP tidak sekedar beroposisi terhadap kebijakan pemerintahan. Namun PDIP secara terselubung bergerak menjadi “mesin perusak” agenda reformasi, dengan memunculkan sentimen primordial “jaringan katolik – konglomerasi cina” sebagai kelompok yang siap mengambil alih kekuasaan.

Pada pemilihan Gubernur DKI Jakarta, skenario PDIP tersebut terbilang sukses. Di mana “jaringan katolik – konglomerasi cina” terkonsolidasi secara rapi menempatkan Jokowi – Ahok sebagai pemenang, dan sekaligus lokomotif politik untuk melangkah ke tahapan Pilpres 2014. Bersambung….

http://kabarnet.wordpress.com/2013/12/16/konspirasi-politik-komando-pastor-i/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar