Kamis, 30 Januari 2014

Tokoh Misi: John Eliot 
Salah seorang dari para misionaris pertama, dan mungkin yang terbesar di antara semua misionaris yang melayani orang Indian Amerika, adalah John Eliot. Ia disebut juga "Rasul kepada orang-orang Indian". Namun, di balik nama besarnya tersebut, pekerjaan utama Eliot adalah pelayanannya di gereja Roxbury. Ia adalah seorang pelayan jemaat -- seorang bapak gereja di koloni New England -- bukan seorang misionaris menurut arti jabatan yang diembannya itu. Meskipun demikian, ketaatannya untuk memperkenalkan kekristenan kepada orang-orang Indian membuatnya menjadi salah seorang pemimpin misionaris terbaik sepanjang sejarah. Metode-metode yang digunakannya memiliki kualitas yang tak lekang oleh waktu. 
John Eliot lahir di Inggris dan belajar di Cambridge. Ia mengikuti pelatihan untuk menjadi hamba Tuhan dan lulus pada tahun 1622. Walaupun ditahbiskan oleh gereja Anglikan, Eliot adalah seorang Nonkonformis, dengan demikian semua pelayanan mimbar yang ingin dilakoninya di Inggris sudah tidak aman lagi atau memiliki lingkup yang terbatas. Jadi, setelah melayani sebagai guru sekolah selama beberapa tahun di bawah pimpinan Bapak Puritan, Thomas Hooker, ia pun berlayar ke benua Amerika yang terbuka lebar untuk dilayaninya. Pada musim panas 1631, Eliot sampai di Massachusetts. 
Walaupun padang belantara New England tampak terpencil dan tak beradab, Eliot dengan cepat merasa seperti berada di kampung halamannya sendiri. Tiga saudara laki-lakinya, tiga saudarinya, dan tunangannya tinggal bersama-sama dengannya di Dunia Baru selama setahun. Setelah menghabiskan setahun lagi di Boston sebagai pendeta pengganti, Eliot menerima panggilan untuk melayani di sebuah gereja di Roxbury, yang berjarak 3,2 km di luar Boston. Di sanalah, pada bulan Oktober 1632, John Eliot dan Hanna Mumford menikah dalam sebuah upacara sipil -- upacara pernikahan pertama yang dicatat di kota tersebut. 
Seperti kebanyakan pendeta kolonial, tahun-tahun pertama dalam pelayanannya dipenuhi oleh kegiatan untuk kebutuhan umatnya. Di dekat situ terdapat suku Indian yang bermukim, tetapi kunjungan mereka yang sesekali itu hanya menarik sedikit perhatian. Suku Indian itu menunjukkan sikap yang damai dan penduduk koloni menerima keberadaan mereka, tanpa pernah berpikir untuk menginjili mereka. Kenyataannya, banyak penduduk New England, termasuk para pendeta, yang memandang peningkatan tingkat kematian orang-orang Indian karena penyakit sebagai rencana Allah untuk "membersihkan tanah" itu bagi "umat-Nya". Pada saat itu, orang- orang Indian dianggap sebagai pengganggu dan memperlambat laju peradaban. 
Ketika Eliot berusia 40 tahun, ia memulai kerja kerasnya sebagai misionaris. Tidak ada Panggilan Makedonia, tidak ada amanat yang khusus, yang ada hanyalah sebuah kepekaan akan sebuah kebutuhan dan ketersediaan dirinya. Langkah pertamanya adalah mempelajari bahasa. Selama dua tahun, ia berada dalam tekanan mental saat mempelajari bahasa Algonquin dalam dialek Massachusetts, sebuah bahasa lisan yang terdiri dari bunyi-bunyi guttural dan bunyi flektif. Dalam menjalankan tugas yang sulit ini, Eliot dibantu oleh Cochenoe, seorang pemuda Indian yang menjadi guru bahasa sekaligus menemani Eliot sebagai penerjemah dan asistennya selama bertahun-tahun. 
e-JEMMi 2012 
253 
Pada musim gugur 1646, Eliot menyampaikan khotbah pertamanya kepada sebuah kelompok suku Indian yang bermukim di dekat koloninya. Peristiwa tersebut adalah ujian yang krusial bagi kemampuannya dalam berkomunikasi secara efektif dan ia berharap itu berhasil. Meskipun telah berusaha, pesan yang disampaikannya diacuhkan dan tidak diperhatikan oleh orang-orang Indian tersebut. Mereka bahkan merasa bosan dan memandang rendah perkataan Eliot. Sebulan kemudian Eliot berkhotbah lagi, kali ini kepada kelompok orang-orang India yang lebih banyak yang berkumpul di wigwam milik Waban. Tanggapan yang diberikan mereka sangat meningkat. Orang-orang Indian di sana mendengarkan khotbah dengan penuh perhatian selama lebih dari 1 jam, dan ketika khotbah selesai, mereka mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Menurut Eliot, pertanyaan mereka "penuh keingintahuan, mengagumkan, dan menarik". Eliot menjawab beberapa pertanyaan itu, tetapi sesuai dengan psikologi penerimaan misionaris, ia menutup waktu tanya-jawab itu dan "memutuskan untuk meninggalkan mereka dengan sebuah 'keinginan yang besar'". Sebelum meninggalkan perkemahan, Eliot membagi-bagikan suguhan kepada orang-orang itu, termasuk daging manis dan apel untuk anak-anak, tembakau untuk para pria, dan kemudian ia berangkat "dengan rasa penerimaan yang besar". 
Dua minggu kemudian, Eliot kembali ke perkemahan tersebut dengan ditemani oleh 2 orang pendeta dan seorang awam (yang juga mengikutinya saat kunjungan pertama). Saat itu, ada lebih banyak lagi orang Indian yang ingin mencari tahu, sehingga pertemuan itu memperoleh banyak keuntungan. Setelah doa pembukanya, Eliot melatih anak-anak untuk menghafal katekismus, dan tentu saja orang tua mereka juga ikut belajar sementara mereka mendengarnya. Kemudian, Eliot berkhotbah tentang Sepuluh Perintah Allah dan kasih Kristus, yang ditanggapi oleh sebagian dari orang-orang Indian itu dengan air mata. Sekali lagi, pertanyaan-pertanyaan menyusul setelah khotbah itu -- pertanyaan yang paling sulit dijawab adalah, "Mengapa tidak ada orang kulit putih yang mengabarkan kepada kami tentang hal ini sebelumnya?" 
Eliot terus mengadakan perjalanan dwi mingguan ke wigwam Waban dalam bulan- bulan berikutnya. Ia selalu datang dengan pelajaran-pelajaran katekismus dan khotbah- khotbah penginjilan yang benar-benar dipersiapkannya. Meskipun ia memikul beban yang berat dari pelayanan ini, tetapi ia aktif merekrut orang-orang untuk menolongnya, termasuk pendeta-pendeta dari koloni-koloni tetangga dan dari gerejanya sendiri. Antusiasme mereka melambungkan semangatnya dan menjaga pelayanan misi itu, untuk tetap dilaksanakan selama masa-masa yang sulit. Perjalanan yang ditempuhnya selalu lambat dan penuh rintangan. Melintasi jalanan di padang belantara yang tidak rata benar-benar melelahkan, tetapi optimisme Eliot tidak terpatahkan: "Kami tidak pernah mengalami hari yang buruk ketika harus berkhotbah kepada orang-orang Indian selama musim dingin. Terpujilah Tuhan." 
Setelah berbulan-bulan, beberapa orang Indian bertobat dan perubahan nyata tampak dari kehidupan mereka. Sebuah laporan yang diterbitkan kurang dari setahun dari pertemuan pertama Eliot ke perkampungan itu mendokumentasikan kemajuan tersebut. Orang-orang Indian itu mulai meninggalkan "powwow" mereka. Mereka mengadakan doa pagi dan malam di wigwam mereka. Mereka tidak hanya menjalankan hari Sabat, tetapi juga membuat peraturan untuk menghukum mereka yang tidak melaksanakannya. Hukuman bagi yang melanggarnya adalah dengan membayar sebesar 20 shilling. Mereka mulai menjadi suku yang industrial dan membuat komoditas
e-JEMMi 2012 
254 
untuk dijual selama setahun penuh. Pada musim dingin, mereka membuat sapu, tungku, gerabah, dan keranjang. Pada musim semi, mereka menjual buah cranberry, stroberi, dan ikan. Para wanitanya belajar memintal. 
Hal yang dipikirkan oleh orang-orang itu dan juga Eliot adalah memiliki daerah yang dikhususkan bagi orang-orang Indian yang sudah Kristen. Menurut Eliot, para petobat baru ini harus dipisahkan dari orang-orang yang tidak tertarik dengan Injil. Di sisi lain, orang-orang Indian membutuhkan sebuah daerah yang dapat menjadi milik mereka, sebab para pendatang kulit putih mulai membangun rumah-rumah beserta pekarangannya dan memasang pagar. Hal tersebut membuat orang-orang Indian mengalami kesulitan dalam berburu dan mengail ikan. Eliot membuat permohonan atas nama orang-orang Indian kepada General Court (semacam Pengadilan Negeri), sehingga orang-orang Indian itu diberi beberapa ratus hektar di sebuah tempat yang berjarak 28,8 Km di sebelah Barat Daya Boston, di sudut wilayah Natick. Orang-orang Indian itu tidak menunjukkan keberatan untuk pindah ke daerah itu dan tak lama kemudian mereka mendirikan Natick, yang sering kali disebut sebagai "kota doa". 
Natick bukanlah perkampungan Indian pada umumnya. Jalanan di sana tertata dan setiap keluarga diberi sebidang tanah. Berdasarkan dorongan Eliot, beberapa bangunan dibangun menurut gaya Eropa, tetapi sebagian besar orang-orang Indian itu memilih wigwam sebagai tempat tinggal mereka. Bentuk pemerintahan yang alkitabiah diterapkan di tempat itu, ditetapkan dengan berdasarkan pada rencana Yitro dalam Kitab Keluaran 18:21; kota itu dibagi-bagi menjadi puluhan, lima puluhan, dan ratusan, yang masing-masing divisi itu dipimpin oleh seorang pria dewasa. Peradaban orang kulit putih menjadi patokannya dan orang-orang Indian yang Kristen diharapkan mengikutinya. Bagi Eliot, kekristenan sejati tidak hanya mengubah hati dan pikiran, tetapi juga gaya hidup dan kebudayaan. Ia tidak dapat membayangkan sebuah komunitas Kristen yang terpisah dari budaya Eropa dan faktor inilah, yang jika dilihat ke belakang, merupakan kelemahan terbesar dari pelayanannya. Sayangnya, generasi- generasi misionaris yang mengikuti jejaknya, dengan beberapa pengecualian, melanggengkan kekeliruan tersebut. 
Ada juga masalah yang muncul saat mendirikan Natick, terutama dari para pendatang kulit putih yang menolak hunian permanen Indian di antara mereka. Secara periodik, Eliot mengajukan petisi kepada Massachusetts General Court untuk meminta sebidang tanah. Pada tahun 1671, ia berhasil mengumpulkan 11.000 orang Indian ke dalam 14 "kota-kota doa". Pelayanannya benar-benar diteliti dengan cermat oleh General Court, dan dengan senang hati ia menerima semua dana masyarakat yang diperuntukkan bagi proyeknya. 
Walaupun Eliot sepertinya banyak menghabiskan waktu dan usaha untuk masalah keduniawian, tetapi perhatian utamanya adalah keadaan rohani orang-orang Indian tersebut. Eliot lambat dan berhati-hati dalam penginjilannya. Walaupun ia menyaksikan pertobatan pertama hanya setelah ia berkhotbah sebanyak tiga kali, ia tidak pernah berusaha untuk mempercepat prosesnya. Kenyataannya, ia dengan sengaja menunda baptisan dan keanggotaan gereja, sampai ia benar-benar yakin bahwa orang-orang Indian itu berkomitmen terhadap kepercayaan baru mereka. Baptisan mereka sengaja ditunda hingga tahun 1651, 5 tahun setelah pertobatan pertama. Demikian pula dengan pembangunan gereja yang ditangguhkan, sampai Eliot dan rekan-rekan
e-JEMMi 2012 
255 
sepelayanannya memutuskan bahwa orang-orang Indian itu benar-benar siap menerima kantor gereja beserta tanggung jawabnya. 
Eliot menginginkan kedewasaan rohani di antara pengikut Indiannya. Hal itu dapat menjadi kenyataan apabila orang-orang Indian itu bisa membaca dan mempelajari Alkitab dalam bahasa mereka sendiri. Oleh sebab itu, pada tahun 1649, 3 tahun setelah khotbahnya di wigwam Waban, di tengah-tengah jadwal yang sangat padat, ia memulai pekerjaan penerjemahannya. Proyek pertama yang selesai adalah sebuah katekismus yang dicetak pada tahun 1654. Tahun berikutnya, Kitab Kejadian dan Matius juga diterbitkan; dan pada tahun 1661, seluruh Perjanjian Baru berhasil diselesaikannya, dengan Perjanjian Lama yang menyusul dua tahun kemudian. Di balik pencapaiannya yang layak diperhatikan ini, Eliot juga mendapat kritik yang tajam karena ia menyia- nyiakan waktunya untuk mempelajari bahasa Indian, sementara ia dapat mengajarkan orang-orang itu untuk berbahasa Inggris. 
Setelah beberapa tahun berlalu dan kota-kota doa bertumbuh secara kuantitas serta kerohanian orang-orang Indian itu bertumbuh, Eliot semakin berkonsentrasi untuk melatih para pemimpin orang-orang Indian. Sampai tahun 1660, sebanyak 24 orang Indian telah dilatih menjadi penginjil untuk melayani suku mereka sendiri, dan beberapa gereja telah menahbiskan para pelayan Indian. Sekolah-sekolah didirikan di setiap kota dan orang-orang Indian dapat beradaptasi dengan baik terhadap budaya Eropa. Di permukaan, masa depan terlihat cerah, tetapi waktu yang damai itu sudah hampir habis. Perambahan lahan milik orang-orang Indian oleh para pendatang Eropa selama berpuluh-puluh tahun tidak dapat ditutup-tutupi lagi. Perambahan lahan, perdagangan yang tidak adil, dan perlakuan yang buruk terhadap orang-orang Indian akan menimbulkan perlawanan. Terdapat kegelisahan di antara orang-orang Indian di Timur Laut, dan bahkan orang-orang Indian di kota-kota doa tidak dapat melarikan diri dari kengerian yang akan segera tiba -- pertempuran paling berdarah sepanjang sejarah koloni Amerika. 
Perang Raja Philip pecah pada musim panas tahun 1675, setelah tiga dari ksatria kepala suku itu dijatuhi hukuman gantung karena membunuh seorang sekutu Indian, yang membocorkan rencana penyerangan mereka kepada gubernur koloni. Dalam peperangan ini, para pendatang yang menghuni koloni Boston hampir mengalami kekalahan yang sebelumnya telah dialami oleh sebagian besar koloni di Virginia. Bahkan sebelum pertempuran usai, dalam jangka waktu 1 tahun sejak dimulainya peperangan itu, tiga belas kota dan koloni benar-benar dimusnahkan. Seluruh anggota keluarga -- kakek dan nenek, bibi, paman, dan bahkan anak-anak kecil -- benar-benar dihapuskan dari buku daftar penghuni koloni. 
Kisah kepahlawanan "orang-orang Indian yang berdoa" selama pertempuran berdarah ini adalah yang paling tragis -- kisah yang diceritakan berulang-ulang dalam sejarah Amerika. Walaupun "orang-orang Indian yang berdoa" ini memiliki keluhan-keluhan yang mendasar terhadap masalah perambahan lahan mereka oleh pendatang kulit putih, dan bahkan seperti yang diungkapkan dalam kalimat yang diucapkan Eliot "masalah tentang tanah ini bukanlah masalah yang sepele bagi mereka", orang-orang Indian itu tetap memihak sekutu kulit putih mereka dengan setia, ketika suku Wampanoag maupun ketika suku-suku yang lain menyerang mereka. Selain itu, orang- orang ini juga membantu milisi koloni tersebut dengan menjadi pengintai dan prajurit
e-JEMMi 2012 
256 
bagi mereka, sehingga mereka dapat membalikkan keadaan. Namun demikian, kesetiaan mereka tidaklah cukup, ketegangan di antara penduduk asli dan pendatang itu semakin meruncing. Pada saat itu, semua orang Indian dicurigai dan karena itulah ratusan orang-orang Indian Kristen diasingkan ke "sebuah pulau yang tandus", di dekat Pelabuhan Boston -- mereka "diusir keluar" bahkan sebelum dapat mengumpulkan harta benda dan dipaksa untuk bertahan selama musim dingin yang buruk tanpa makanan atau persediaan yang mencukupi. 
Eliot mengunjungi orang-orang Indian tersebut beberapa kali selama musim dingin yang amat buruk itu, dan mengajukan permohonan atas nama mereka kepada pejabat koloni untuk mengirimkan makanan dan obat-obatan. Akan tetapi, perhatian dan simpatinya itu hanya dapat menghasilkan sedikit pertolongan saja. Meskipun demikian, nasib orang- orang Indian yang diasingkan ini masih lebih baik daripada saudara-saudara mereka yang tertinggal di koloni. Banyak dari mereka yang dibunuh tanpa pandang bulu oleh para pendatang, yang menuntut balas kepada siapa pun yang memiliki ciri-ciri seorang Indian. Ketika kekerasan itu berakhir, banyak dari orang Indian buangan yang selamat, yang kembali ke kota-kota mereka yang telah hancur. Mereka berusaha untuk membangunnya kembali, namun hidup mereka tak akan pernah sama seperti dulu. Orang-orang Indian itu kini melemah, baik secara jumlah maupun secara rohani. Tak sedikit dari mereka tergoda minuman keras yang dibawa orang-orang kulit putih dan tidak lagi peduli dengan hal-hal yang rohani. 
Perang Raja Philip adalah sebuah tragedi bagi orang-orang Indian dan orang-orang kulit putih yang terlibat secara langsung, termasuk bagi seorang kudus yang kini telah berumur 72 tahun. John Eliot telah mencurahkan bertahun-tahun pelayanan yang tanpa pamrih itu ke dalam pelayanan misionarisnya, dan sangat sulit baginya untuk melihat kehancuran yang ditimbulkan oleh perang itu. Tetapi ia tak menyerah, "Aku hanya dapat melakukan hal yang kecil, tetapi aku tetap teguh di dalam anugerah Kristus, aku tidak akan pernah berhenti melayani selama aku masih memiliki kaki untuk pergi melayani." Setelah tahun-tahun berlalu, karyanya semakin berkurang, tetapi ia tetap setia kepada pelayanannya sampai kematiannya pada tahun 1690, dalam usia 85 tahun. 
Walaupun banyak dari hasil pelayan Eliot yang rusak akibat peperangan, posisinya sebagai seorang negarawan sekaligus misionaris di tingkat tinggi tetap tak ternodai. Teladannya sebagai seorang penginjil dan penerjemah Alkitab telah membuka jalan bagi usaha misionaris selanjutnya untuk melayani di antara orang-orang Indian, dan usahanya dalam mendirikan Society for the Propagation of the Gospel (SPG), sebuah perpanjangan tangan gereja Anglikan yang secara aktif melayani di tengah-tengah koloni Amerika, tidak dapat diremehkan. 
Apa yang menjadi rahasia di balik pelayanan seumur hidup Eliot? Apa yang membawanya melewati perlawanan, kesulitan, dan kekecewaan selama bertahun- tahun? Tiga sifat yang layak diperhatikan dari dirinya yaitu: optimismenya yang tak terpatahkan, kemampuannya untuk dapat memerhatikan kebutuhan sesamanya, dan keyakinannya yang teguh bahwa Tuhanlah, bukan dirinya, yang dapat menyelamatkan jiwa seseorang sekaligus memegang kendali atas setiap peristiwa, baik maupun buruk. (t/Yudo)  
e-JEMMi 2012 
257 
Diterjemahkan dan disunting dari: 
Judul Buku : From Jerusalem to Irian Jaya  Penulis : Ruth A. Tucker  Penerbit : Zondervan Corporation, Grand Rapids Michigan  Halaman : 84 -- 89    “  "A BAD CONSCIENCE HAS A GOOD MEMORY"  ”   


Tokoh Misi: Paul Freed dan Trans World Radio 
Dari seluruh organisasi penyiaran misi yang ada, Trans World Radio (TWR) adalah satu-satunya organisasi terbesar dan yang memiliki perbedaan secara geografis. Didirikan pada tahun 1954, hari ini TWR mampu menjangkau 80 persen populasi dunia. Dari Monte carlo, Bonaire, Swaziland, Siprus, Sri Lanka, dan Guam, TWR memancarkan program-program radio Kristen melalui pemancar raksasanya dalam 80 bahasa dan dialek yang berbeda. Bagaimana penginjilan semacam ini dibangun dan dikembangkan dalam beberapa dasawarsa terakhir ini adalah kisah menarik tentang cobaan yang dialami dan kemenangan yang dicapai oleh tim, yang terdiri dari seorang ayah dan anaknya, Ralph dan Paul Freed. 
Paul Freed, pendiri TWR, tumbuh di Timur Tengah sebagai seorang anak misionaris. Ayahnya, Ralph, adalah seorang manajer yang kariernya sedang menanjak dalam perusahaannya ketika ia mendengar panggilan Tuhan ke ladang misi; dan setelah belajar di Nyack Missionary Training Institute, ia dan keluarganya dikirim ke Palestina untuk melayani di bawah naungan Christian and Missionary Alliance. Masa kanak- kanak Paul di ladang misi adalah masa-masa yang menyenangkan, walaupun sama seperti anak-anak misionaris lain, ia juga mengalami kepedihan akibat berpisah dari orang tuanya. Pada usia 11 tahun, Paul dikirim untuk melanjutkan pendidikannya. Hal ini berarti ia harus tinggal bersama dua misionaris wanita yang masih lajang, yang sama sekali tidak memenuhi syarat sekaligus tidak siap untuk menangani seorang bocah pemberontak, yang selalu rindu pulang ke rumahnya, dan juga memiliki perasaan tidak suka terhadap situasi ini sama seperti Paul. Setelah beberapa waktu, Paul kembali tinggal bersama orang tuanya, tetapi pada tahun berikutnya, Paul dikirim ke luar lagi -- kali ini untuk tinggal bersama sebuah keluarga di rumah misi di luar Yerusalem, yang menjadi tempat pendidikan bagi anak-anak misionaris lain. Sekali lagi, perasaan rindu terhadap rumah sangat menekannya. Pada usia 13 tahun, Paul sangat ingin pulang sehingga suatu malam setelah semua orang tertidur, ia menulis surat yang menjelaskan apa yang dilakukannya. Kemudian, ia menyelinap dari rumah itu menuju rumahnya. Walaupun Paul dimarahi karena apa yang dilakukannya itu, tetapi ia diizinkan untuk tinggal di rumah orang tuanya dengan syarat ia harus bekerja keras dalam pelajarannya. Hal itu merupakan dorongan yang cukup bagi Paul, sehingga selama tahun berikutnya ia berhasil menyelesaikan tahun ajaran pertamanya tanpa bantuan siapa pun, serta siap untuk menjalani kelas selanjutnya di Wheaton Academy pada tahun berikutnya, ketika orang tuanya kembali ke Amerika untuk menjalani cuti. 
Dua tahun masa sekolah menengah atas Paul dihabiskan di Beirut, Lebanon. Setelah itu, ia kembali ke Amerika untuk belajar di Wheaton College dan lulus dari sana dengan mengambil Antropologi sebagai pelajaran utamanya. Setelah lulus dari Wheaton College, Paul meneruskan ke Nyack Missionary College. Di sana, ia diajar oleh para pengkhotbah hebat seperti Clarence Jones, pendiri HCJB di Quito, dan Ekuador. 
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Nyack, Paul melayani bersama Youth for Christ di bawah bimbingan Torrey Johnson. Melalui organisasi inilah, ketika ia menghadiri konferensi YFC di Eropa dan mengunjungi Spanyol, ia merasa terbeban untuk menjadi misionaris di negara itu. Spanyol benar-benar dinomorduakan oleh pelayanan misi penginjilan dan tantangan untuk meluruskan apa yang salah di negara
e-JEMMi 2012 
284 
itu sangatlah besar. Walaupun Paul tidak memiliki pengalaman dalam bidang penyiaran radio, tetapi media itu adalah satu-satunya hal yang menjadi harapan untuk menjangkau Spanyol dengan Injil. Sekembalinya dari Eropa, Paul mengundurkan diri dari pelayanannya di YFC dan mulai berkeliling sebagai penginjil dan mengabarkan tentang kebutuhan Spanyol. Tetapi, kebanyakan gereja yang dikunjunginya tidak memberikan tanggapan terhadap hal itu. 
Pada tahun 1951, Paul dan istrinya, Betty Jane, dengan ditemani oleh beberapa rekan, mengunjungi Spanyol guna mencari tahu kemungkinan untuk membangun sebuah stasiun radio. Meskipun Paul tidak memikirkan tempat spesifik untuk membangun stasiun radio itu selain di Spanyol, namun lama-kelamaan, Tangier di Afrika Utara, yang berjarak 33,8 Km dari Spanyol dan berseberangan dengan Selat Gibraltar, adalah tempat yang paling sempurna untuk membangun stasiun radio. Di tempat itulah mereka membeli, secara patungan, sebuah gedung bekas sekolah misi yang akan menjadi tempat ideal untuk sebuah stasiun radio. 
Keluarga Freeds kembali ke Amerika dengan gembira karena pelayanan baru mereka itu. Mereka bertekad untuk membuka mata orang-orang Kristen mengenai kebutuhan tersebut. Untuk melakukan hal itu mereka membuat sebuah film berjudul "Banderilla", yang secara dramatis menunjukkan orang-orang Spanyol sebagaimana adanya, tanpa saksi-saksi penginjilan yang efektif. Kemudian, tanpa pemasukan maupun sokongan dana, Paul, Betty Jane, dan kedua anak mereka yang masih kecil memulai perjalanan yang melelahkan sejauh 14.300 Km melintasi Amerika Serikat dan Kanada, demi membangun fondasi pelayanan mereka. Walaupun perjalanan itu memberikan banyak pengalaman berharga, tetapi jadwal yang padat dan kritik-kritik yang mereka hadapi benar-benar menghabiskan energi. Kecaman itu datang dari berbagai sisi. Bahkan, pelayanan yang mereka tawarkan tidak begitu jelas dan tidak memiliki hubungan dengan lembaga misi resmi mana pun. Hal tersebut sangat mengganggu beberapa orang, yang lainnya mencemooh kekurangtahuan Paul mengenai dunia penyiaran radio, dan beberapa lainnya percaya bahwa sudah cukup banyak stasiun radio Kristen dan tidak perlu ada tambahan lagi. 
Meskipun menghadapi berbagai kritik dan kata-kata yang melemahkan semangatnya, Paul tetap melanjutkan rencana. Pada bulan Februari 1952, TWR pun secara resmi didirikan. Tahun berikutnya, Paul pergi ke Tangier untuk membangun stasiun radio itu. Pembangunannya tidak didanai oleh para pejuang doa yang bersemangat, tetapi oleh hasil penjualan rumah dan mobil pribadinya. Di Tangier, Paul membuat kesepakatan dengan lembaga penyiaran lain untuk menyewa pemancar, antena, dan menyiarkan programnya di bawah izin lembaga penyiaran itu. Dengan semuanya itu, kini Paul hanya tinggal mengambil langkah selanjutnya, yaitu mengamankan posisi untuk direktur stasiun radio tersebut. Tidak ada orang yang cocok untuk posisi itu selain ayahnya sendiri, seorang misionaris veteran, yang pada saat itu mengajar di Western Canadian Bible Institute. Tetapi ketika ia menelepon ayahnya, ayahnya mengatakan bahwa 3 hari sebelumnya, ia baru saja menerima tawaran jabatan sebagai rektor di sekolah Alkitab tersebut. Paul benar-benar hancur. Walaupun demikian, beberapa hari kemudian, Paul menerima telepon dari ayahnya bahwa ia menerima tantangan pelayanan itu. 
Pada bulan Januari 1954, Ralph dan Mildred Freed berlayar menuju Tangier untuk memulai pelayanan mereka sebagai misionaris untuk yang kedua kalinya. Akan tetapi,
e-JEMMi 2012 
285 
kali ini mereka tidak didukung secara finansial oleh Christian and Missionary Alliance, melainkan benar- benar berjalan dalam iman kepada Allah melalui dana yang disediakan oleh kemampuan penggalangan dana putra mereka. Dengan menggunakan pemancar bekas masa perang berdaya 250 watt, Ralph berhasil membuat TWR mengudara; tetapi di Amerika, hanya terjadi sedikit kemajuan. Paul menumpang mobil- mobil di jalan untuk dapat berkeliling di negara itu. Ia berbicara di mana pun ia mendapat pendengar, tetapi donasi yang didapatnya sangat sedikit. Tagihan-tagihan yang tak terbayar menumpuk dan menciptakan situasi yang tidak dapat ditolerir lagi oleh Ralph dan Mildred. "Tekanan itu menjadi sangat kritis," menurut Paul, "sehingga memaksa ayah menanggung semuanya sendiri. Pada suatu pagi saya menerima telepon di Greensboro, hanya 3 bulan setelah ayah dan ibu berlayar ke Tangier. 'Paul, jika kita tidak mendapat dukungan yang lebih besar, bantuan yang lebih dalam minggu ini, maka kami memutuskan untuk meninggalkan penyiaran dan kembali ke Amerika.'" 
Hal itu merupakan berita yang sangat menyesakkan. Jika orang tuanya meninggalkan pelayanan ini sekarang, maka Paul harus membatalkan seluruh operasi ini. Tanpa kehadiran mereka di saat-saat yang krusial ini, maka pelayanan ini akan sangat sulit untuk diteruskan. Tetapi di hari Sabtu, akhir minggu di mana ayahnya menelepon itu, Paul mendapat sebuah kunjungan dari seorang pendeta yang mengenal ayahnya, dan selama kunjungan tersebut, pendeta itu mengemukakan bahwa gereja yang dipimpinnya berencana untuk mengambil bagian dalam mendukung pelayanan mereka. Hal itu merupakan kabar yang melegakan, sehingga dapat mencegah pembubaran TWR yang masih sangat muda. 
Jaminan akan dukungan itu menjadi titik balik bagi TWR, dana yang masuk semakin besar, dan orang-orang maupun gereja-gereja di Amerika dan Eropa mulai menunjukkan ketertarikan mereka. Pada tahun 1959, setelah mengudara selama 5 tahun, jumlah pegawai di Tangier berkembang dari 2 menjadi 25 orang, dan "The Voice of Tangier" dapat didengar di seluruh Eropa, Afrika Utara, Timur Tengah, hingga di balik Tirai Besi. Namun, muncullah krisis baru. Maroko menyatakan kemerdekaannya dan dalam perubahan politik itu, pemerintah mengumumkan bahwa seluruh stasiun radio di negara tersebut akan diambil alih oleh pemerintah pada akhir tahun 1959. 
Walaupun berita itu benar-benar buruk, tetapi peraturan itu tidak membatasi keluarga Freed tanpa pilihan sama sekali. Pada tahun 1957, mereka mengunjungi Monako untuk mencari kemungkinan memindahkan stasiun mereka ke Monte Carlo. Meskipun mereka harus mengeluarkan biaya lebih mahal, tetapi ada banyak keuntungan yang didapat apabila berlokasi di Benua Eropa, sekaligus kesempatan untuk mengembangkan daya siar mereka. Oleh karena itu, pada musim semi 1959, Paul dan ayahnya bernegosiasi dengan pejabat berwenang di Monte Carlo, dan pada tahun 1960, setelah tidak mengudara selama 9 bulan, sekali lagi TWR kembali mengudara -- kali ini dengan daya sebesar 10.000 watt. 
Meski demikian, masa transisi dari Tangier ke Monte Carlo tidak semulus yang diharapkan. Tuntutan finansial dari kesepakatan yang baru, benar-benar melelahkan pikiran keluarga Freed yang hanya mengalami kenaikan pemasukan berkala mereka sebesar $10.000 per tahun, tetapi fasilitas yang baru dan pemancar membutuhkan dana yang sangat besar, termasuk uang muka sebesar $ 83.000 yang harus dibayar
e-JEMMi 2012 
286 
sebanyak enam kali pada tahun pertama -- sebuah hal yang menurut Paul, membutuhkan tidak kurang dari enam mukjizat; dan itu benar-benar terjadi. 
Cicilan pertama, yang dibutuhkan dalam waktu yang sangat singkat, secara tak terduga ditanggung oleh sekelompok pengusaha Norwegia. Cicilan kedua, menurut Paul "Terlihat lebih mustahil daripada pembayaran yang pertama." Pada hari tenggat waktu pembayaran itu tiba, uang itu masih kurang $13.000. Pagi itu, cek sebesar $5.000 dikirimkan ke kantor. Paul pun pergi ke bank, dengan kekurangan sebesar $8.000, menyerah dengan pikiran bahwa akan menerima denda yang berat karena terlambat membayar cicilan. Sebelum tiba di bank, Paul bertemu dengan salah seorang pegawainya yang baru saja mengambil paket surat yang tidak terduga dari kantor pos. Dalam surat itu terdapat uang sebesar $5.000. Dengan kekurangan sebesar $3.000, Paul memasuki kantor direktur bank itu; dan selama duduk di kantor itu, ia berpikir bagaimana cara membayar cicilan itu, sebuah telegram masuk mengirimkan dana sebesar $3.000 ke dalam rekening TWR. 
Cicilan ketiga merupakan kisah mukjizat yang lain lagi. Sekali lagi, pada hari habisnya tenggat waktu, kali ini hanya kekurangan $1.500, tetapi walaupun kotak surat sudah diperiksa, namun tidak terdapat uang lagi. Sebagian besar uang itu disumbangkan oleh orang-orang percaya di Jerman, sehingga kekurangan itu tertutup ketika pada pemantauan nilai mata uang terdapat lonjakan harga di mata uang Jerman, tepat $1.500 lebih tinggi daripada nilai di hari sebelumnya. Tenggat waktu untuk tiga cicilan berikutnya juga merupakan masa-masa yang dipenuhi oleh ketegangan, tetapi setiap pembayaran itu bisa dilunasi tanpa terkena denda. 
Pada bulan Oktober 1960, 13 bulan setelah penandatanganan kontrak dengan para pihak berwenang di Monako, TWR di Monako pun akhirnya mengudara. Selama tahun pertama saja, sekitar 18.000 surat datang dari pendengar dan kebanyakan dari mereka meminta bimbingan kerohanian, sementara yang lainnya mengirimkan sumbangan dana, sehingga pada tahun 1965 setengah dari seluruh dukungan dana untuk TWR datang dari Eropa. 
Mengudara di Eropa dan ke seluruh daerah Mediterania membutuhkan program- program radio sebanyak 20 bahasa yang berbeda-beda. Hal itu bukan berarti bahwa TWR memiliki staf yang berkemampuan bahasa sebanyak itu. Untuk membuat program radio yang bervariasi, TWR memproduksi program radio untuk negara-negara yang dapat dijangkau oleh siaran mereka, sehingga banyak pemimpin Kristen setempat yang dapat mengabarkan Injil kepada kaum mereka sendiri. 
Untuk dapat memproduksi program-program semacam itu secara efektif, direktur- direktur yang kompeten sangat dibutuhkan di negara-negara tersebut, dan TWR sungguh beruntung karena dapat bertemu dengan seorang pria seperti Horst Marquardt, yang menjabat sebagai direktur TWR Jerman. Setelah Perang Dunia II, Horst berada di Jerman Timur yang dikuasai oleh Soviet. Saat itu, ia adalah seorang mahasiswa yang keranjingan Marxisme. Ia bergabung dengan Partai Komunis dan menjadi staf East Berlin Radio Station, yang menjadi tempatnya untuk mengembangkan program propaganda Komunis dan program untuk pemuda. Setelah beberapa waktu, ia menjadi begitu terobsesi dengan Komunisme sekaligus mulai mempelajari Alkitab,
e-JEMMi 2012 
287 
sehingga kemudian bertobat. Pada tahun 1960, setelah berkenalan dengan Ralph Freed, ia bergabung dengan TWR dan menggarap pelayanan di Jerman. 
Staf-staf yang berdedikasi dan berbakat, mukjizat-mukjizat finansial, dan ratusan surat membanjiri kantor pusat TWR setiap bulan. Hal itu menunjukkan kesuksesan Paul Freed dan stasiun radio yang ia perjuangkan dengan sekuat tenaga. Tetapi, ketegangan mental dan fisik yang disebabkan oleh pelayanan itu memuncak, sehingga pada tahun 1961, ketika berusia 61 tahun, Paul terkena serangan jantung. Selama 1 bulan ia terbaring di rumah sakit, namun di saat seperti itu pun ia masih merencanakan penjangkauan yang lebih luas dan lebih efektif lagi dengan TWR. 
Pada tahun 1962, setelah beberapa bulan beristirahat, Paul berkunjung ke Puerto Rico untuk mencari informasi mengenai kemungkinan mendirikan stasiun radio di Karibia. Para ahli di Eropa telah memberikan saran kepada Paul bahwa jika TWR ingin menjangkau daerah yang sudah ditargetkan dengan lebih efektif, maka akan dibutuhkan sebuah stasiun pendukung dan itu akan lebih baik jika dibangun di Karibia. Di Puerto Rico, Paul menemukan bahwa peraturan pemerintah membatasi penyiaran radio hanya ke dalam dua frekuensi secara bersamaan -- sebuah peraturan yang bagi radio internasional seperti "perlombaan lintas alam dengan tangan dan kaki yang terikat". 
Setelah kunjungannya ke Puerto Rico, Paul menghubungi pejabat Belanda berkaitan dengan kemungkinan untuk membangun sebuah stasiun radio di Antilles, Belanda. Pejabat itu sangat antusias terhadap proyek itu, sehingga Paul kembali mengunjungi Karibia, dan dua minggu setelah kedatangannya di sana, ia mendapat izin untuk membangun sebuah stasiun radio berkekuatan 500.000 watt. 
Bonaire, sebuah pulau karang seluas 145,6 Km kubik dipilih sebagai tempat untuk stasiun yang baru. Pulau itu adalah tempat yang tepat, menurut Paul. Bonaire adalah sebuah pulau garam yang dikelilingi oleh air garam, yang menyediakan konduktivitas tak terbayangkan. Sebab, garam basah adalah konduktor terbaik setelah besi. Kelebihan lain yang didapat karena berlokasi di Bonaire adalah penerimaan pejabat pemerintah yang memberikan TWR dua pulau, dan setuju untuk meratakan jalan, membersihkannya, dan memasang instalasi telepon secara gratis. Pada tahun 1964, pembangunan itu selesai dan TWR mulai mengudara dari bagian bumi sebelah barat. 
Pada tahun-tahun ketika TWR mengudara dari Bonaire, TWR membangun 4 stasiun lagi di beberapa tempat di dunia dan pekerja misinya meningkat menjadi lebih dari 400.000 orang. Keterbebanan Paul yang pertama-tama untuk menjangkau Spanyol dengan Injil telah meluas menjadi beban untuk menjangkau seluruh dunia. (t/Yudo)      
e-JEMMi 2012 
288 
Diterjemahkan dan disunting seperlunya dari: 
Judul buku : From Jerusalem To Irian Jaya  Judul asli artikel : Paul Freed and Trans World Radio  Penulis : Ruth A. Tucker  Penerbit : Zondervan Corporation, Grand Rapids, Michigan  Halaman : 381 -- 386    “  "HE MAKES ALL THINGS BEAUTIFUL IN HIS TIME "  ”  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar