Selasa, 13 Mei 2014

SANGAT2 PENTING D SIMAK!!


akhirnya ada yg jabarkan wlu tidak djelaskan bhw Nusantara adalah Negara TRKAYA ddunia, dgn iklim yg baik u/mahluk hidup, dgn SDA yg AMAT KAYA & BERAGAM, jg memiliki penduduk 250JUTA Jiwa yg mampu membuat roda Ek...onomi terus brputar!!

Sbenarnya pihak luar negeri yg butuh Nusantara, BUKAN Nusantara yg butuh mereka..
Krn justru pihak luar mnjadikan Indonesia tempat prdagangan produk mereka & perputaran roda ekonomi negara mereka!!

JADI YG PANTAS TAKUT ADALAH ASING JIKA KITA MAU MENGEMBARGO MEREKA!!

KITA SELAYAKnya TIDAK PANTAS TAKUT JIKA ASING MENGEMBARGO NEGARA KITA, justru kita br TERIMA KASIH krn LEPAS dari PENJAJAHAN PASAR GLOBAL!!



SBY mungkin KTURUNAN BABU & JONGOS, Jadi TIDAK BISA lepas dari MENTAL BABU CINA & ASING dlm kbijakan2 kpemimpinannya yg SOTOLOYO SUPER DUNGU IDIOT!!

SBY PEMIMPIN MENTAL BENCONG YG DOYAN CURHAT KTAKUTAN & SBY TAKUT UANG KORUPnya D BLOCKIR D LUAR!!

Inilah Alasan #Pengecut Pecundang Istana Takut Untuk Menasionalisasi Aset Negara Dan Melawan Perampokan Asing

Sebarkan !!! Rakyat Harus Tahu !!!

JAKARTA - Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyampaikan sindiran terhadap janji-janji capres ya...ng dianggap terlalu muluk dan tidak realistis. Ketua umum Partai Demokrat itu bahkan menyebut ada sejumlah pernyataan capres dalam kampanyenya yang dapat membahayakan kehidupan berbangsa.

"Saya kira rakyat tidak akan memilih seorang capres, kalau tidak yakin bahwa yang dijanjikan bisa dilaksanakan, tidak terlalu muluk-muluk dan kemudian yang dilaksanakan membawa manfaat nyata bagi kita semua. Saya ambil contoh, begini ya kalau kita dengarkan janji-janji kampanye menurut saya ada yang berbahaya," papar SBY dalam situs jejaring sosial Youtube yang diunggah, Rabu (7/5).

Dia lantas mendetailkan pernyataan salah satu capres yang menjanjikan nasionalisasi aset asing. Kata dia, janji capres tersebut sepintas memang dipandang hebat. Namun, bila didalami, isu nasionalisasi aset asing memberikan dampak buruk bagi perekonomian Indonesia.

SBY memastikan tidak akan mendukung capres yang akan menasionalisasi aset asing. "Kalau yang bersangkutan jadi presiden, semua aset asing dinasionalisasi yang perjanjiannya sudah sejak era Bung Karno, Pak Harto hingga sekarang ini, hari ini dilakukan nasionalisasi semua aset asing di Indonesia, besok kita dituntut di pengadilan arbitrase, lusa kita bisa kalah. Kalahnya itu akan memporakporandakan perekonomian kita, dampaknya akan sangat dahsyat," urainya.

Dari uraian tersebut, SBY tampaknya mengkritisi cara kampanye capres Prabowo Subianto. Sebelumnya, Prabowo memang pernah menegaskan bahwa keamanan aset negara dan kembali ke UUD 1945. Dua hal tersebut diucapkan dalam dua forum pertemuan dengan para purnawirawan jenderal. Salah satunya, saat dirinya bertandang ke kantor DPP Persatuan Purnawirawan dan Warakawuri ABRI dan Polri (Pepabri).

Dalam sebuah acara di Menara Bidakara, Pancoran, Jakarta Selatan, Kamis (27/3/2014) lalu, Prabowo menegaskan bahwa dirinya akan menasionalisasi aset asing yang ada di Indonesia. Dia menyindir pemimpin yang menjual aset bangsa."Seluruh kekayaan bangsa harus dimiliki oleh kita sendiri. Tapi ada pemimpin yang menjual aset, dengan gampangnya membiarkan wilayah kita dicaplok," sebut Prabowo dengan tangan mengepal.

Belajar Dari Bolivia, Venezuela Dan Kuba
1. http://www.slideshare.net/Bembenk/nasionalisasi-aset-belajar-dari-bolivia

Studi Kasus Negara Bolivia


Negara Bolivia dikenal sebagai negara pengontrol pengelolaan gas bumi. Negara Bolivia merupakan salah satu negara yang memiliki cadangan besar sekali di benua Amerika Latin. Bolivia mulai bangkit ketika kepemiminan Evo Moralez, beliau melakukan Gerakan Menuju Sosialisme terhadap ideologi dan paradigm masyarakat saat itu. Evo Moralez yakin bahwa Bolivia dapat mengelola sumberdaya alamnya sendiri, sehingga tidak kembali dieksploitasi oleh pihak luar. Oleh karena itu Negara Bolivia melakukan nasionalisasi asset migas dengan mengambil alih 51% sharing migas dan menegosiasi ulang mengenai kontrak kerjasama migas dengan negara lain serta menaikkan keuntungan Negara menjadi 54% dari total revenues.

2. http://debbyrahmi.wordpress.com/2012/12/28/penerapan-teori-dependensi-studi-kasus-di-negara-negara-amerika-latin/

Kebijakan lain yang menerapkan teori dependensi di Venezuela adalah tindakan nasionalisasi aset vital yang dilakukan oleh pemerintah. Nasionalisasi adalah pengalihan penguasaan dan pengelolaan yang dilakukan oleh negara. Konsep nasionalisasi dapat dilakukan dengan cara re-negosiasi ulang kontrak kerjasama, pengambilalihan dengan ganti rugi, atau pembelian langsung atau sharing perusahaan swasta oleh pemerintah (Guriev et al (2007) dalam Razi (2008)). Nasionalisasi yang dilakukan oleh pemerintah Venezuela adalah salah satu nasionalisasi yang berhasil dilakukan. Pemerintahan sosialis ini mengambil alih aset swasta dengan memberikan ganti rugi yang disepakati kedua belah pihak (Razi, 2008). Keberhasilan proses pengambilalihan aset ini tergantung pada proses negosiasi yang dilakukan dengan suatu negara. Nasionalisasi aset migas Venezuela dilakuakan dengan pembayaran kompensasi kepada kontraktor dan menegosisasi ulang kontrak kerjasama migas dengan menaikkan sharing pemerintah menjadi minimal 60% (Guriev et al (2007) dalam Razi (2008)). Proses negosiasi yang dilakukan Venezuela ada yang mendapat respon positif dan respon positif. Respon positif didapat dari Total yang bersedia menerima kompensasi sebesar USD 834 juta, ENI yang menerima kompensasi USD 700 juta dan Statoil yang mendapat USD 266 juta, sementara respon negatif didapat dari ExxonMobil yang menolak kompensasi USD 715 juta dan meminta USD 2 milyar (Guriev et al (2007) dalam Razi (2008)). Penolakan Exxonmobil berbuah pembekuan asset migas Venezuela hingga saat ini. Sebagai negeri penghasil minyak dan batu bara terbesar di Amerika Latin, Chavez juga menaikkan pajak bagi investasi asing di sektor minyak dan gas dari 16,6% menjadi 30% (Margaretha, 2009).

3. http://aurapena.blogspot.com/2007/10/sang-pemberani-dari-seberang.html

Sebut saja sejumlah pemimpin Amerika Latin seperti Fidel Castro (Kuba), Evo Morales (Bolivia), maupun Hugo Chavez (Venezuela). Castro misalnya, meski Kuba diembargo Amerika Serikat (AS) lebih dari 30 tahun, dirinya tetap tangguh melawan penindasan AS. Negeri Paman Sam itu sudah berganti 10 presiden sejak Castro berkuasa, tetapi selalu gagal menggulingkan El Comandante- begitu julukan Castro.

Kebijakan nasionalisasi aset-aset asing diterapkannya sebagai jawaban dari embargo perdagangan negeri adidaya itu. Hasilnya, negara cerutu ini menjadi mandiri. Buktinya hingga 2006 pertumbuhan ekonomi Kuba mencapai 7,5 persen. Tingkat pengangguran di negara ini bias dikatakan sangat rendah. Hanya 1,9 persen dari angkatan usia kerja.

Perekonomian Kuba lebih banyak ditopang dari industri gula. Sedikitnya, industri ini mampu menguasai 85 persen dari total ekspornya. Dengan kata lain, Kuba merupakan penghasil gula terbesar di dunia setelah Brasil. Kemandirian Kuba ini tidak lepas dari kebijakan politik ekonomi Castro.

Dia merupakan peletak dasar perekonomian Kuba. Sejak menjadi kepala negara pada 1959, Castro berupaya keras untuk melindungi aset-aset negaranya. Prinsip berdaulat 100 persen yang dia terapkan tidak hanya berlaku di bidang politik, tetapi juga ekonomi. Sejak menjadi orang nomor satu Kuba setelah menggulingkan rezim diktator Fulgencio Batista, Castro langsung melakukan nasionalisasi aset-aset perusahaan asing, terutama milik AS.

Salah satu langkah yang dikenal masyarakat luas, ketika 29 Juni-1 Juli 1960 dia mulai melakukan nasionalisasi kilang-kilang minyak milik Texaco, Esso, dan Shell, setelah perusahaan-perusahaan tersebut menolak dibeli pemerintahan Kuba. Langkah ini pun dibalas pemerintah AS dengan membatalkan pembelian 700.000 ton gula, seperti diperintahkan Presiden Eisenhower pada 6 Juli 1960.

Sebagai jawaban atas agresi ekonomi yang dilancarkan AS terhadap Kuba, pemerintahan revolusioner mendekritkan nasionalisasi perusahaan-perusahaan besar AS di Kuba pada 1961. Melihat keberanian Kuba di bawah kepemimpinan Castro, AS pun akhirnya melakukan embargo perdagangan terhadap Kuba. Di sektor ekonomi, kebijakan yang diambil Castro mampu mengangkat taraf perekonomian negaranya.

Berdasarkan data CIA World Factbook 2007, total PDB Kuba mencapai USD51,11 miliar, dengan tingkat pertumbuhan ekonomi berada di kisaran 7 persen. Ini menunjukkan bahwa meskipun diembargo, kondisi perekonomian Kuba bisa dikatakan stabil. Hal ini bisa dilihat dari tingkat pengangguran yang hanya mencapai 1,9 persen dari total 4,853 juta angkatan kerja. Bahkan, dalam kebijakan sosial, Castro menerapkan pendidikan dan kesehatan gratis bagi rakyatnya.

Hasilnya, Kuba menjadi salah satu negara yang angka kesehatan penduduknya paling tinggi di dunia, sekaligus memiliki sekolah kedokteran yang termaju. Menemukan dokter di Kuba sama mudahnya seperti menemukan tukang rokok di Indonesia. Hampir ada di setiap tikungan. Ini juga karena kebijakan bidang kesehatan dan pendidikan yang menjadi hak gratis bagi seluruh warga negaranya. Contoh pemimpin berani lainnya diperlihatkan Hugo Chaves.

Di sektor ekonomi, baru-baru ini Chavez berani menasionalisasi sektor perbankan sebagai salah satu wujud sikap kritisnya terhadap kapitalisme. Salah satu bank terbesar asing di negaranya, Bank of Venezuela milik kelompok usaha Grupo Santander asal Spanyol, harus menghadapi kebijakan radikal Chavez. Melalui kebijakan semacam itu, Chavez mampu mengangkat perekonomian negaranya.

Menurut CIA World Fact Book 2007, tingkat pertumbuhan ekonomi Venezuela mencapai 8,8 persen dengan total PDB sebesar USD176,4 miliar. Pertumbuhan PDB lebih banyak disokong sektor jasa yang menyumbang 55,3 persen, sedangkan sektor industri 41 persen dan agrikultur 3,7 persen.



Beda Prabowo dengan Jokowi
Prabowo selalu menampilkan semangat nasionalisme yang meluap-luap. Sementara Jokowi dituduh jadi antek asing.

Bagi Wakil Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, proyek Monorel itu sungguh tak layak dan harus dihentikan. Kalau diteruskan, menurut Ahok, di belakang hari proyek itu bisa jadi urusan KPK. ‘’Jangan sampai saat kita sudah tua malah dipanggil KPK,’’ katanya.

Sebenarnya proyek ini pernah dihentikan Gubernur Fauzie Bowo pada 2011. Tapi kemudian dilanjutkan kembali oleh Gubernur Joko Widodo alias Jokowi. Banyak yang melihat tindakan Jokowi itu berbau ‘’KKN’’ (korupsi, kolusi, dan nepotisme) karena Edward Suryajaya pemilik sekitar 30 persen saham PT Jakarta Monorail yang mengelola proyek itu, adalah teman dekat Jokowi. Edward adalah putra Wilhem Suryajaya yang dulu pernah menjadi pemilik PT Astra, agen mobil Toyota di Indonesia.

PT Jakarta Monorail akan membangun dua koridor, yakni Blue Line dan Green Line. Koridor Blue Line akan memulai proses konstruksi terlebih dulu, dilanjutkan koridor Green Line. Koridor Blue Line mencakup rute Kampung Melayu menuju Tanah Abang, sepanjang 14,2 kilometer. Koridor ini akan melewati 12 stasiun.

Sementara koridor Green Line mencakup rute Casablanca menuju - Taman Rasuna -Kuningan Sentral - Setia Budi Utara – Karet – Pejompongan – Palmerah - Stasiun Madya - Plaza Senayan – GBK – SCBD – Komdak - Satria Mandala - Gran Melia - Casablanca. Koridor ini sepanjang 14,8 kilometer dengan melintasi 15 stasiun.

Jakarta Monorail selaku perusahaan pengembang proyek monorel Jakarta menggandeng perusahaan negara (BUMN) asal China. Kerjasama keduanya menyangkut pendanaan proyek monorel senilai US$ 1,5 miliar atau Rp 15-16 triliun. Proyek pembangunan dimulai 16 Oktober 2013 dan direncanakan selesai Oktober 2016.

Bagaimana pun proyek monorel itu jelas tak mampu mengatasi kemacetan Jakarta karena monorel hanya mengangkut sedikit penumpang. Di berbagai negara, monorel lebih untuk kepentingan parawisata daripada mengatasi masalah lalu lintas. Bisik-bisik terdengar bahwa proyek yang digembar-gemborkan untuk mengatasi kemacetan Jakarta ini, sebenarnya hanya proyek Jokowi untuk membantu temannya.

Dana penyertaan proyek Monorail itu pun disediakan sepenuhnya oleh Pemda DKI. Artinya, Edward Suryajaya yang teman Gubernur Jokowi itu dan PT Jakarta Monorail hanya punya modal dengkul. ‘’Sebaiknya proyek ini dibangun sendiri saja, ngapain nyuruh mereka membangunnya,’’ kata Ahok. Sebagai Wakil Gubernur, Ahok tampaknya hanya bisa menggerutu karena semua keputusan penting menjadi wewenang Gubernur Jokowi.

Tapi begitulah Jokowi. Populeritas tinggi yang diperolehnya berkat terus-menerus dipuja-puji media, tampaknya dia manfaatkan untuk melakukan tindakan yang ‘’aneh-aneh’’. Kalau pejabat lain selalu diintip media untuk masalah KKN, Jokowi tidak. Lihatlah kasus impor bus berkarat dari China yang nilainya mencapai Rp 1,5 trilyun itu. Kasus ini tampaknya sama sekali luput dari perhatian media-media utama.

Jelas ini sebuah proyek ‘’KKN’’. Bus-bus bekas diimpor dari China seolah-olah bus baru. Yang disebut-sebut mengatur proyek ini adalah Michael Bimo Putranto, teman dekat Jokowi sesama pedagang mebel dari Solo. Bimo mendadak menjadi orang penting yang dihormati para pejabat Pemda DKI setelah Jokowi dilantik menjadi gubernur.

Tersebar berita bahwa dari Bimo, milyaran dana mengalir ke berbagai pihak, misalnya, kepada seorang wartawati yang amat dekat dengan Jokowi dan mengkoordiner para wartawan untuk terus-menerus menulis berita memuja-muji Jokowi. Dana yang sama itu kemudian juga mengalir kepada putera Jokowi, serta beberapa nama lain.

Kejaksaan Agung memang telah turun tangan dalam urusan bus berkarat, tapi geraknya tampak sangat lamban. Ada dugaan para juruperiksa di sana terlalu berhati-hati kepada Jokowi karena takut populeritasnya yang tinggi, apalagi dia seorang bakal calon presiden. Sampai sejauh ini baru dua pegawai Pemda DKI yang menangani langsung proyek impor bus ini yang dijadikan tersangka. Michael Bumi Putranto, misalnya, sama sekali belum disentuh untuk kasus ini, apalagi Jokowi. Padahal mustahil proyek impor bus bernilai sampai Rp 1,5 trilyun itu tak melewati meja Gubernur.

Jokowi akan dicalonkan PDIP sebagai presiden (Capres). Partai yang dipimpin Megawati itu selama ini dikenal kompromistis terhadap kasus korupsi. Terbukti di zaman Megawati menjadi presiden (2001 – 2004), paling banyak pejabat tinggi atau menteri yang ditangkap karena korupsi.

Pada priode itu setidaknya ada 4 Menteri/pejabat tinggi yang ditangkap KPK dan kemudian terbukti melakukan korupsi. KPK menangkap Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri, Menteri Kesehatan Ahmad Sujudi, Menteri Agama Said Agil Al-Munawar, dan Kepala BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) Theo Toemion. Rokhmin kini telah keluar dari penjara dan aktif menjadi salah satu Ketua DPP PDIP. Sedangkan Theo Toemion, sebelum menjabat Kepala BKPM adalah anggota DPR dari Fraksi PDIP. Tapi setelah keluar dari penjara tak lagi terdengar aktivitas politiknya.

Era kepemimpinan Presiden Megawati itu bisa dikatakan merupakan pemerintahan paling korup, karena dalam sejarah Indonesia di zaman pemerintahan inilah paling banyak menteri atau pejabat tinggi negara ditangkap karena korupsi.

Sekadar pembanding, selama 10 tahun pemerintahan Presiden SBY yang akan berakhir beberapa bulan lagi, hanya 3 menterinya yang bermasalah dengan KPK, yaitu Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah dan bekas Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari (menteri dari priode Kepresidenan SBY yang pertama), kemudian Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng (priode kedua).

Chamsyah sudah divonis bersalah oleh pengadilan dalam kasus korupsi pengadaan kain sarung di Kementerian Sosial yang dipimpinnya. Andi Mallarangeng, bekas Menteri Pemuda dan Olahraga itu sedang menjalani proses peradilan dalam perkara korupsi proyek Hambalang. Sedangkan bekas Menteri Kesehatan yang sekarang menjabat anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Siti Fadilah Supari baru awal April lalu ditetapkan KPK sebagai tersangka korupsi pengadaan alat-alat kesehatan (Alkes) yang terjadi ketika ia menjabat Menteri Kesehatan. Bandingkan dengan 4 menteri/pejabat tinggi yang ditangkap di masa Kepresidenan Megawati yang pendek, hanya 3 tahun.

JOKOWI DAN KORUPSI
Ketika Megawati menyebut nama Jokowi sebagai calon presiden dari PDIP, sesungguhnya masyarakat masih traumatis dengan korupsi yang merajalela di zaman kepresidenan Megawati Soekarnoputri. Kalau kelak Jokowi terpilih tidakkah korupsi akan lebih merajalela?

Di sinilah masalah utama Jokowi. Partainya jelas bermasalah dalam soal pemberantasan korupsi. Lantas Jokowi sendiri ternyata punya masalah serupa. Beberapa laporan dari Solo yang sekarang ada di KPK, menuduh Jokowi terserempet berbagai masalah semasa menjabat Walikota Solo. Salah satu di antaranya soal penjualan lahan Pemda kepada perusahaan paling terkenal di Solo, PT Sritex.

Tapi anehnya tak satu pun pengamat yang mempersoalkan masalah ini. Lihat saja pengamat seperti Burhanuddin Muhtadi, Hanta Yudha, Indria Samego, Syaiful Mujani, dan banyak lagi yang lain, sebelum Pemilu legislatif ramai-ramai mengkampanyekan Jokowi. Malah ada yang berani mengampanyekan Jokowi sebagai pejabat yang bersih dan sangat anti-korupsi.

Mereka menyebut bahwa suara PDIP akan ‘’meledak’’ karena pengaruh elektabilitas Jokowi yang sangat tinggi. Burhanuddin Muhtadi malah meramalkan Jokowi akan mulus melaju sebagai calon presiden dari PDIP (tanpa koalisi) karena partai itu akan beroleh suara yang besar.

Para pengamat yang sama pula yang ramai-ramai meramalkan sebelum Pemilu legislatif bahwa perolehan suara partai-partai Islam akan rontok. Sejumlah survei pun mereka pertontonkan ke depan publik bagaimana meledaknya suara PDIP dan Jokowi, dan bagaimana melorotnya perolehan partai-partai Islam. Meledaknya perolehan PDIP itu mereka juluki sebagai Jokowi Effect (Efek atau dampak Jokowi).

Pernyataan para pengamat itu sempat berpengaruh dengan lesunya kampanye partai-partai Islam. Hanya PKB agaknya yang masih bersemangat karena dapat suntikan tenaga dari Rhoma Irama, muballigh yang raja dangdut Indonesia itu.

Ternyata setelah Pemilu para pengamat tadi diam saja seolah tanpa dosa. Ramalan-ramalan mereka yang salah (dan merugikan partai-partai Islam) seakan tak pernah keluar dari mulut mereka. Media-media utama pun tak pernah mempersalahkan para pengamat dengan ramalan gombal itu. Lebih parah lagi perolehan suara PDIP (yang hanya 19 persen, jauh dari ramalan 30-an persen) membuktikan bahwa pengaruh Jokowi terhadap perolehan PDIP sama sekali tidak signifikan. Jokowi Effect itu ternyata tak pernah ada.

Sebenarnya kalau mau jujur yang terjadi justru Prabowo Effect. Betapa tidak? Partai Gerindra yang dipimpinnya melonjak menjadi nyaris 12 persen, dari sebelumnya hanya 4 persenan. Artinya, Gerindra melonjak hampir 300 persen dan itu merupakan prosentasi kenaikan terbesar di antara semua partai, termasuk PDIP.

Semua partai Islam (kecuali Partai Bulan Bintang) lolos dari jebakan ambang batas (treshold) yang semula ditakutkan para pengurus dan aktivis partai Islam, sehingga semua partai itu tetap bertahan dalam balantika politik nasional. Oleh karena itu timbul kecurigaan memang ada yang sengaja mendisain isu memojokkan partai Islam dan merangsang kebangkitan PDIP dan Jokowi.

Apalagi belakangan meletus berita pertemuan sejumlah Duta Besar (termasuk Dubes Amerika Serikat dan Vatikan) dengan Megawati dan Jokowi, di rumah seorang cukong yang anggota CSIS, lembaga pemikir milik aktivis Katolik di Jakarta. Timbul kecurigaan kalau negara-negara asing itu memang berkepentingan untuk memompa PDIP jadi partai besar, sekaligus menggembosi partai-partai Islam.

Negara asing itu pula yang berkepentingan mengkampanyekan besar-besaran agar Jokowi terpilih menjadi Presiden Indonesia. Dengan demikian mereka berharap akan mengendalikan Indonesia sepenuhnya. Sesuatu yang tak mungkin bisa terjadi kalau yang terpilih menjadi presiden adalah Prabowo Subianto yang sudah sangat terkenal memiliki semangat nasionalisme yang meluap-luap, sehingga sulit dikendalikan negara asing mana pun. Memang itulah perbedaan yang mencolok antara Prabowo kalau dibandingkan dengan Jokowi yang sering dituduh sebagai antek-asing itu.

http://utama.seruu.com/read/2012/10/12/123886/kemenangan-chavez-menginspirasi-dunia-ide-nasionalisasi-menyebar

Cerdaslah Memilih !!! JANGAN BIARKAN 5 TAHUN MENDATANG INDONESIA KEMBALI DIJARAH DAN DIJAJAH ASING !!!
Lihat Selengkapnya
(9 foto)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar