Sabtu, 19 April 2014


SEBUAH PENGAKUAN DARI PRO JOKE YANG SUDAH TAUBAT Dikirim oleh : user - Kategori: Berita on 2014-04-19, 13:12:52


 
Sebuah Pengakuan: Dari Pro-Jokowi Menjadi Anti-Jokowi

Sama seperti ratusan juta
rakyat Indonesia, sebelum
Tempo mengangkat isu
Jokowi, Esemka dan predikat
Jokowi sebagai “walikota
terbaik sedunia” saya tidak mengenal Jokowi. Siapa itu
Jokowi? Mengapa ada tokoh
sehebat itu tapi saya tidak
pernah mendengar
sebelumnya? Masa saya
se”kuper” itu? Kendati demikian melihat kemunculan
Esemka bertepatan
momentumnya dengan
pemilihan gubernur DKI, maka
saya sudah menduga bahwa
kedatangan Jokowi ke Jakarta dengan mengendarai
Esemka (katanya) adalah
sebagai usaha Jokowi untuk
melakukan pencitraan
terselubung dan kampanye
secara diam-diam.

Walaupun sudah mengetahui
Jokowi sedang menunggangi
Esemka untuk tujuan
politiknya waktu itu saya
tidak terlalu peduli karena
sejak orde baru tumbang saya sudah menjadi golput dan
apolitis. Tetapi ada satu hal
yang waktu itu mengganjal,
yaitu komentar Jokowi
ketika Esemka gagal lolos uji
coba pertama kali yaitu: “Seharusnya loloskan saja, ini
kan demi industri mobil
nasional”. Saya berpikir ini
orang asal bunyi atau memang
bodoh? masa meloloskan
mobil yang jelas-jelas tidak lolos uji coba, yang ada
harusnya produsen Esemka
meningkatkan kualitas
mobilnya sesuai standar yang
ditetapkan bukan standar
yang diturunkan mengikuti Esemka.

Sesuai dugaan akhirnya
Jokowi dan Ahok bertarung
di pilkada DKI, dan saya
kembali golput pada putaran
pertama karena menilai semua
calon tidak ada yang benar. Baru setelah Foke menjalankan
kampanye rasis dan SARA
karena kalah pada putaran
pertama itulah akhirnya saya
mendukung Jokowi-Ahok
dan untuk sementara menyingkirkan sikap apolitis
saya dan ikut berkampanye
untuk “Jakarta Baru”. Sejarah
mencatat akhirnya Foke-Nara
tersingkir dan Jokowi-Ahok
terpilih menjadi pasangan gubernur-wakil gubernur baru
DKI Jakarta.

Di hari pelantikan mereka saya
berharap kali ini tidak salah
memilih pemimpin, dan
beberapa bulan pertama
memang mereka menunjukan
bahwa mungkin saja pasangan tersebut dapat menanggung
harapan warga Jakarta dengan
baik.Sayangnya, harapan tersebut
mulai hilang ketika saya
melihat bagaimana Jokowi menangani banjir 2012-2013,
yaitu dengan memanfaatkan
momentum banjir yang
membawa penderitaan rakyat
itu sebagai alat pencitraan
dengan memfokuskan diri di bendungan Latuharhary yang
jebol dan bahkan dengan tidak
malu menyebut dirinya
sebagai “superman banjir”,
sementara itu seluruh Jakarta
Utara tenggelam, dan warganya kelaparan, dingin
serta terjebak banjir tanpa
pertolongan. Pertolongan baru
diberikan ketika Jokowi
sudah selesai pencitraan di
Latuharhary beberapa hari setelah hujan. Kejam!
Membiarkan warganya
terjebak banjir hanya demi
sedikit pencitraan, sungguh
keji orang ini saya berpikir
demikian.

Seberapa besarpun simpati
saya pada Jokowi yang masih
tersisa sejak Jokowi
menelantarkan jutaan warga
Jakarta Utara, habis terkikis
ketika setelah banjir Jokowi kembali memanfaatkan
momentum banjir untuk
pencitraan dengan membawa
tronton keliling Jakarta
membagi-bagi alat tulis dan
sembako sendiri. Memang tidak ada pegawai pemprov
yang bisa keliling Jakarta
untuk melakukan hal
tersebut? Sekarang kita tahu
alasannya, Jokowi harus
melakukannya sendiri sebagai persiapan pencapresan dirinya
tahun 2014, sehingga dia harus
memaksimalkan waktu
sebagai gubernur untuk
menggenjot citra diri. Sungguh licik!

Tahun 2013 benar-benar
membuka mata saya tentang
Jokowi, tentang kesalahan
besar saya mempercayai hiruk
pikuk mengenai Jokowi tanpa
memeriksa latar belakang dirinya. Ternyata tidak ada
satu halpun yang digembar-
gembor kan media massa tentang Jokowi yang benar
atau akurat. Jokowi sungguh
pemimpin berkinerja paling
buruk sepanjang 30 tahun
lebih saya hidup di Jakarta.
Mau dimulai darimana menulis tentang hal ini?

KJS ternyata dikeluarkan asal
sekedar cepat dan lagi-lagi
proyek pencitraan Jokowi
yang menimbulkan
kesengsaraan rakyat yang luar
biasa, ibu mertua saya sendiri nyaris menjadi korban KJSnya
Jokowi yang merusak sistem
puskesmas dan rumah sakit.
Untung kementerian
kesehatan turun tangan
memberi sistem kepada KJS sehingga dapat menghilangkan
korban jiwa yang mulai
muncul karena KJS Jokowi.

Bolos-bolosnya Jokowi untuk
jadi juru kampanye PDIP demi
tebar pesona di daerah-daerah,
nonton konser, memamerkan
taman waduk pluit yang tidak
ada hubungan dengan revitalisasi waduk pluit dapat
diduga adalah bagian persiapan
menuju deklarasi pencapresan
dirinya. Pencitraan tentu
bukan dosa, yang menjadi
masalah ketika rakyat Pademangan tenggelam
karena Jokowi ingkar janji
akan merevitalisasi Kali Mati,
Jokowi ternyata asik-asikan
nonton konser ke Malaysia.
Waktu itu saya berpikir, apa hati nurani orang ini masih
bekerja? Sungguh keji sekali.

Menjelang berakhirnya 2013
santer berita bahwa
penyerapan anggaran DKI
sangat rendah, hanya 30%
yang membuktikan Pemprov
DKI di bawah Jokowi sama sekali tidak bekerja. Hal ini
membuat saya ingat kembali
bahwa APBD memang dibuat
Jokowi-Ahok dengan asal jadi,
asal hitung kancing dan asal
cepat, karena Jokowi mengaku dia “pusing dan sakit
kepala membaca neraca
keuangan DKI”. Saya berpikir,
ini orang kerjanya ngeluh
mulu, kalau tidak suka bekerja
sebagai gubernur, resign saja boss...

Semua kejadian tahun 2013
baik yang telah saya tulis di
atas maupun belum ternyata
hanya puncak gunung es dari
kebobrokan Jokowi sebagai
pemimpin maupun individu. Yang paling menyakitkan
adalah akhir 2013 dan awal
2014 saya melihat Jakarta di
bawah Jokowi dan bergumam
“kok Jakartaku jadi begini?”.
Ironisnya, ini adalah ungkapan dalam salah satu jingle Jokowi
ketika dia kampanye cagub
DKI. Macet tambah parah,
hujan lima tahun menjadi
banjir setiap hujan, monorel
ternyata kembali mangkrak karena groundbreaking tanpa
izin, di sana sini tambah
kumuh, jalanan rusak dan
bolong di sana sini, wah,
Jakartaku kok jadi begini?
Apa yang terjadi? Walaupun jelas-jelas Jakarta
tambah kumuh dan miskin di
bawah dirinya, tapi saya sudah
menduga sejak Jokowi ikut
jadi juru kampanye pilkada
Rieke Dyah Pitaloka bahwa Jokowi berambisi menjadi
presiden dan mau
memanfaatkan kesempatan
pencitraan di Jawa Barat dan
yang lain seperti ketika
Jokowi ke Sumatera menunggangi pembukaan
Bank DKI untuk pencitraan
dirinya. Tetapi tentu saja
indikasi paling jelas bahwa
Jokowi akan nyapres adalah
pertemuannya dengan Ahok yang ditemani oleh Megawati
dan cukongnya, Prajogo
Pangestu pada Desember 2013
yang membicarakan penarikan
Ahok ke PDIP dan
penundukan diri Ahok kepada PDIP bila Jokowi menjadi presiden.

Melihat ambisi besar Jokowi ini
saya berpikir, ini manusia
berkarakter rumongso iso
nanging iso rumongso, merasa
bisa tapi tidak bisa merasa atau
maksud hati memeluk gunung tapi apa daya tangan tidak
sampai. Mengurus Solo dan
Jakarta saja masih
kelimpungan malah bermimpi
jadi presiden, tidakkah dia
memiliki urat malu? Apalagi sampai bolos kerja demi
pencapresan dan menemani
Megawati ke Blitar. Sudah jelas
bolos dan sudah jelas ke
Makam Soekarno demi
pencapresan dan diagendakan, Jokowi masih sempat-
sempatnya berbohong dan mengatakan kebetulan
ketemu Megawati di Blitar,
sungguh orang yang tidak bisa
dipercaya dan dipegang kata-katanya.

Jadi pertanyaan pada diri saya
adalah, apakah saya mau
dipimpin orang yang tinggal
gelanggang colong playu alias
meninggalkan tanggung
jawab; tidak bisa dipercaya; merasa bisa tapi tidak bisa
merasa; suka berbohong;
ambisius dengan
mengorbankan rakyat? Saya
tidak mau dan menolak
dipimpin orang seperti itu. Bagaimana dengan anda?

kompasiana.com
Sebuah Pengakuan: Dari Pro-Jokowi Menjadi Anti-Jokowi
Sama seperti ratusan juta
rakyat Indonesia, sebelum
Tempo mengangkat isu
Jokowi, Esemka dan predikat
Jokowi sebagai “walikota
terbaik sedunia” saya tidak mengenal Jokowi. Siapa itu
Jokowi? Mengapa ada tokoh
sehebat itu tapi saya tidak
pernah mendengar
sebelumnya? Masa saya
se”kuper” itu? Kendati demikian melihat kemunculan
Esemka bertepatan
momentumnya dengan
pemilihan gubernur DKI, maka
saya sudah menduga bahwa
kedatangan Jokowi ke Jakarta dengan mengendarai
Esemka (katanya) adalah
sebagai usaha Jokowi untuk
melakukan pencitraan
terselubung dan kampanye
secara diam-diam.
Walaupun sudah mengetahui
Jokowi sedang menunggangi
Esemka untuk tujuan
politiknya waktu itu saya
tidak terlalu peduli karena
sejak orde baru tumbang saya sudah menjadi golput dan
apolitis. Tetapi ada satu hal
yang waktu itu mengganjal,
yaitu komentar Jokowi
ketika Esemka gagal lolos uji
coba pertama kali yaitu: “Seharusnya loloskan saja, ini
kan demi industri mobil
nasional”. Saya berpikir ini
orang asal bunyi atau memang
bodoh? masa meloloskan
mobil yang jelas-jelas tidak lolos uji coba, yang ada
harusnya produsen Esemka
meningkatkan kualitas
mobilnya sesuai standar yang
ditetapkan bukan standar
yang diturunkan mengikuti Esemka.
Sesuai dugaan akhirnya
Jokowi dan Ahok bertarung
di pilkada DKI, dan saya
kembali golput pada putaran
pertama karena menilai semua
calon tidak ada yang benar. Baru setelah Foke menjalankan
kampanye rasis dan SARA
karena kalah pada putaran
pertama itulah akhirnya saya
mendukung Jokowi-Ahok
dan untuk sementara menyingkirkan sikap apolitis
saya dan ikut berkampanye
untuk “Jakarta Baru”. Sejarah
mencatat akhirnya Foke-Nara
tersingkir dan Jokowi-Ahok
terpilih menjadi pasangan gubernur-wakil gubernur baru
DKI Jakarta.
Di hari pelantikan mereka saya
berharap kali ini tidak salah
memilih pemimpin, dan
beberapa bulan pertama
memang mereka menunjukan
bahwa mungkin saja pasangan tersebut dapat menanggung
harapan warga Jakarta dengan
baik.Sayangnya, harapan tersebut
mulai hilang ketika saya
melihat bagaimana Jokowi menangani banjir 2012-2013,
yaitu dengan memanfaatkan
momentum banjir yang
membawa penderitaan rakyat
itu sebagai alat pencitraan
dengan memfokuskan diri di bendungan Latuharhary yang
jebol dan bahkan dengan tidak
malu menyebut dirinya
sebagai “superman banjir”,
sementara itu seluruh Jakarta
Utara tenggelam, dan warganya kelaparan, dingin
serta terjebak banjir tanpa
pertolongan. Pertolongan baru
diberikan ketika Jokowi
sudah selesai pencitraan di
Latuharhary beberapa hari setelah hujan. Kejam!
Membiarkan warganya
terjebak banjir hanya demi
sedikit pencitraan, sungguh
keji orang ini saya berpikir
demikian.
Seberapa besarpun simpati
saya pada Jokowi yang masih
tersisa sejak Jokowi
menelantarkan jutaan warga
Jakarta Utara, habis terkikis
ketika setelah banjir Jokowi kembali memanfaatkan
momentum banjir untuk
pencitraan dengan membawa
tronton keliling Jakarta
membagi-bagi alat tulis dan
sembako sendiri. Memang tidak ada pegawai pemprov
yang bisa keliling Jakarta
untuk melakukan hal
tersebut? Sekarang kita tahu
alasannya, Jokowi harus
melakukannya sendiri sebagai persiapan pencapresan dirinya
tahun 2014, sehingga dia harus
memaksimalkan waktu
sebagai gubernur untuk
menggenjot citra diri. Sungguh licik!
Tahun 2013 benar-benar
membuka mata saya tentang
Jokowi, tentang kesalahan
besar saya mempercayai hiruk
pikuk mengenai Jokowi tanpa
memeriksa latar belakang dirinya. Ternyata tidak ada
satu halpun yang digembar-
gembor kan media massa tentang Jokowi yang benar
atau akurat. Jokowi sungguh
pemimpin berkinerja paling
buruk sepanjang 30 tahun
lebih saya hidup di Jakarta.
Mau dimulai darimana menulis tentang hal ini?
KJS ternyata dikeluarkan asal
sekedar cepat dan lagi-lagi
proyek pencitraan Jokowi
yang menimbulkan
kesengsaraan rakyat yang luar
biasa, ibu mertua saya sendiri nyaris menjadi korban KJSnya
Jokowi yang merusak sistem
puskesmas dan rumah sakit.
Untung kementerian
kesehatan turun tangan
memberi sistem kepada KJS sehingga dapat menghilangkan
korban jiwa yang mulai
muncul karena KJS Jokowi.
Bolos-bolosnya Jokowi untuk
jadi juru kampanye PDIP demi
tebar pesona di daerah-daerah,
nonton konser, memamerkan
taman waduk pluit yang tidak
ada hubungan dengan revitalisasi waduk pluit dapat
diduga adalah bagian persiapan
menuju deklarasi pencapresan
dirinya. Pencitraan tentu
bukan dosa, yang menjadi
masalah ketika rakyat Pademangan tenggelam
karena Jokowi ingkar janji
akan merevitalisasi Kali Mati,
Jokowi ternyata asik-asikan
nonton konser ke Malaysia.
Waktu itu saya berpikir, apa hati nurani orang ini masih
bekerja? Sungguh keji sekali.
Menjelang berakhirnya 2013
santer berita bahwa
penyerapan anggaran DKI
sangat rendah, hanya 30%
yang membuktikan Pemprov
DKI di bawah Jokowi sama sekali tidak bekerja. Hal ini
membuat saya ingat kembali
bahwa APBD memang dibuat
Jokowi-Ahok dengan asal jadi,
asal hitung kancing dan asal
cepat, karena Jokowi mengaku dia “pusing dan sakit
kepala membaca neraca
keuangan DKI”. Saya berpikir,
ini orang kerjanya ngeluh
mulu, kalau tidak suka bekerja
sebagai gubernur, resign saja boss...
Semua kejadian tahun 2013
baik yang telah saya tulis di
atas maupun belum ternyata
hanya puncak gunung es dari
kebobrokan Jokowi sebagai
pemimpin maupun individu. Yang paling menyakitkan
adalah akhir 2013 dan awal
2014 saya melihat Jakarta di
bawah Jokowi dan bergumam
“kok Jakartaku jadi begini?”.
Ironisnya, ini adalah ungkapan dalam salah satu jingle Jokowi
ketika dia kampanye cagub
DKI. Macet tambah parah,
hujan lima tahun menjadi
banjir setiap hujan, monorel
ternyata kembali mangkrak karena groundbreaking tanpa
izin, di sana sini tambah
kumuh, jalanan rusak dan
bolong di sana sini, wah,
Jakartaku kok jadi begini?
Apa yang terjadi? Walaupun jelas-jelas Jakarta
tambah kumuh dan miskin di
bawah dirinya, tapi saya sudah
menduga sejak Jokowi ikut
jadi juru kampanye pilkada
Rieke Dyah Pitaloka bahwa Jokowi berambisi menjadi
presiden dan mau
memanfaatkan kesempatan
pencitraan di Jawa Barat dan
yang lain seperti ketika
Jokowi ke Sumatera menunggangi pembukaan
Bank DKI untuk pencitraan
dirinya. Tetapi tentu saja
indikasi paling jelas bahwa
Jokowi akan nyapres adalah
pertemuannya dengan Ahok yang ditemani oleh Megawati
dan cukongnya, Prajogo
Pangestu pada Desember 2013
yang membicarakan penarikan
Ahok ke PDIP dan
penundukan diri Ahok kepada PDIP bila Jokowi menjadi presiden.
Melihat ambisi besar Jokowi ini
saya berpikir, ini manusia
berkarakter rumongso iso
nanging iso rumongso, merasa
bisa tapi tidak bisa merasa atau
maksud hati memeluk gunung tapi apa daya tangan tidak
sampai. Mengurus Solo dan
Jakarta saja masih
kelimpungan malah bermimpi
jadi presiden, tidakkah dia
memiliki urat malu? Apalagi sampai bolos kerja demi
pencapresan dan menemani
Megawati ke Blitar. Sudah jelas
bolos dan sudah jelas ke
Makam Soekarno demi
pencapresan dan diagendakan, Jokowi masih sempat-
sempatnya berbohong dan mengatakan kebetulan
ketemu Megawati di Blitar,
sungguh orang yang tidak bisa
dipercaya dan dipegang kata-katanya.
Jadi pertanyaan pada diri saya
adalah, apakah saya mau
dipimpin orang yang tinggal
gelanggang colong playu alias
meninggalkan tanggung
jawab; tidak bisa dipercaya; merasa bisa tapi tidak bisa
merasa; suka berbohong;
ambisius dengan
mengorbankan rakyat? Saya
tidak mau dan menolak
dipimpin orang seperti itu. Bagaimana dengan anda?

1 komentar:

  1. aku setuju. Walupon gtu aku ga akan milih prabowo, wkwkwkwkwk

    BalasHapus