Jumat, 25 April 2014

SEJARAH KELAM 'TRAGEDI PEMBANTAIAN' PADA UMAT ISLAM<<
DI TANJUNG PRIOK - JAKARTA ( Peristiwa Berdarah tahun 1984)
BUKTI KEBENCIAN KAUM SEKULER-LIBERAL-KAFIR PADA ISLAM !
-----------------------------------------
Ma'asyiral Muslimin Rahimakumullah'
Wahai Umat Islam Di Seluruh Wilayah Indonesia Tercinta.
" Biarkan Roda waktu terus berputar , Lalu Masa berganti "
" Namun Orang Yang CERDAS dan Bijak adalah Orang yang menjadikan PENGALAMAN Masa Lalu sebagai Pelajaran yang Berharga agar Lebih Hati-hati & Waspada dalam Melangkah "
Sesungguhnya Kaum Kafir (Nasrani) , kaum Munafik (Liberal) & Kaum Musyrik (Syi'ah) senantiasa tolong-menolong untuk Memusuhi Agama islam ..!
Waspadalah dan hati-hati. Senantiasa Rapatkan Barisan.
----------------------------------------
"BAHAYA DAN ANCAMAN JIKA PEMIMPIN LIBERAL-SEKULER !"
Tragedi tahun 1984 masih menebar bau darah para korban pembantaian Tanjung Priok, adalah sebuah kejahatan dari Rezim pemerintah orde baru dibawah naungan komando Jendral LB Moerdani (penganut Katolik Ekstrim), dia sebagai Panglima Jendral waktu itu. Kerugian di pihak Islam, banyak tokoh tokoh Islam yang terbunuh, diantaranya Amir Fiqih, mantan suami Ibu Wardah yang mati disiram peluru buta. Pelecehan terhadap Islam pada waktu itu sama halnya dengan tidak adanya Islam dinegeri ini. Para serdadu orde baru yang dibius haus darah, harus tega dan bertindak kejam, tidak mengenal apakah yang dibunuh itu anak bangsa atau bukan, bagi mereka yang penting mencapai tujuan menghabisi umat Islam, kekejaman militer yang tak bisa dilupakan dari sejarah.
Kejadian memilukan tersebut sangat menyakitkan umat Islam, belum ada anak anak bangsa yang di produk sebagai teroris oleh kekuatan intelijen. Tetapi kiat membunuh muslim telah menjadi proyek raksasa orde baru, dengan menutup akses bicara muslim sebagai umat mayoritas. Gantinya Negara menerapkan aturan ketat atas semua kegiatan “muslim” , selain harus mendapat izin dari pihak pemerintah orde baru, juga harus menyerahkan teks cerama yang akan disampaikan kepada umat. Mengerikan suasana berbangsa saat itu, karena tak ada lagi toleransi pemerintah terhadap muslim yang berhak menurut UUD menjalankan ajaran agamanya.
Untuk mematahkan semangat islam, ada komando menembak dan menginjak injak para pemeluk Islam di tanjung priok, disamping kesewenang wenangan penguasa membiarkan akan bersenjata non muslim masuk kedalam mesjid dengan sepatu najisnya. Keadaa buruk yang dipicu penguasa orde baru ini merupakan luka yang sulit disembuhkan, tetapi dipaksa menahan sakit akibat teror dan sadesme yang dilakukan militer dinegeri ini pada waktu itu.
Hingga seorang militer muslimpun hanya mengenal tugas, meskipun agama mereka Muslim, dan tak ada artinya makna “mayoritas Islam “ negeri ini. Selain tebar kepanikan oleh kelompok adi dayalah yang tergabung dalam raksasa kekuasaan yang digagas orde baru.
Kalau LB Murdani saja sebagai Panglima Jendral, bisa membungkam umat Islam dengan jabatannya, apalagi kalau “Luhut Panjaitan” jadi wakil Presiden, ditambah dengan “ Jalaluddin Rahmat, sudah pasti kebijakan pemerintah yang akan datang akan menempuh recod lebih kejam dari sebelumnya, tentunya umat tak akan pernah menghirup udara segar seperti sekarang ini.
Umat Islam akan sibuk hari harinya, tak akan pernah terlepas dari jeratan masalah, dan dari jerat kasus, akibat effek problem yang tercipta dari keadaan yang tidak kondusif. Hadirnya “Jokowi” di Istana, di mungkinkan hanya sebagai boneka dari sebuah permainan besar yang dilakukan Negara Negara pendukung karekter “Jokowi”. Di pastikan kalau hal ini terjadi, maka posisi umat Islam akan ada dijurang kesengsaraan.
Umat Islam tidaklah harus diam dengan kondisi yang terjadi karena faktor pilpres yang akan menghasilkan dominasi kaum sekuler. Perlu ada tindakan serius yang menggugah umat Islam bersatu dalam menyelesaikan bangsa, tidak berkiblat pada kelompok dan partainya masing masing dengan mengenyampingkan pola rasis dan pasrsial yang bisa mengoyak kesatuan bangsa dan umat Islam di Indonesia.
Maka Tidak berlebihan kalau umat islam harus hidup bersama dan menggagas umat Islam yang peduli lingkungan, agar tidak tercemar dengan aqidah-aqidah sesat musyrikin, terutama dari agama zindiq Syiah dan kafir/non muslim yang syarat muatan kesyirikan didalamnya.
Peristiwa Tanjung priok 1984 merupakan titik tolak menciptakan kesadaran semesta dikalangan Islam, agar bisa menyelamatkan diri dari sambaran Syiah dan agama non Islam lainnya, dengan meningkatkan kekuatan moral Islami, disamping kekuatan umatnya didalam aqidah. Karena baik lolosnya jalal, dan tokoh tokoh non muslim dinegeri ini juga tidak lepas dari pemilih pemilih yang beragama Islam yang lemah aqidahnya. Mereka mudah tergiur hanya dengan bujuk rayu rupiah, sebagai penentu akhir dukungan umat Islam.
Kalau saja partai partai Islam sejak awal tidak berkampanye untuk partainya belaka, namun juga ada kepedulian ekternal partai, dengan menyemarakan dakwah sebagai upaya menyadarkan umat Islam, maka keperdulian partai tersebut berarti telah menjalankan kewajibannya. Dan lemahnya dukungan umat Islam terhadap parta Islam, selain hilangnya Idola Islam , juga belum ada kepedulian partai Islam yang mendidik mereka bisa mempertahankan keberadaan partai islam di Indonesia.
Banyak partai dan berbasis Orang Islam, seperti PKS, PAN, PKB, PPP , namun tak bisa menyatukan visi membentuk Aliansi parta partai Islam sebagai kekuatan tunggal umat Islam. Adanya “Partai partai Islam” sama dengan tidak adanya, karena belum ada sentimen partai Islam yang didorong kekuatan aqidah yang melahirkan retorika politik yang disegani partai lain. Bahkan kalau perlu hanya ada satu partai Islam dinegara ini dengan kekuatan penuh semua unsur islam didalamnya. Perbedaan selera dipartai perlu dikesampingkan , selama tidak banyak memberikan arti kepada kekuatan partai.
Langkah bersama partai islam itulah yang bisa digunakan sebagai “lokomotif” menarik gerbong kelompok Islam untuk bersama mencapai tujuan, menghadang laju kendaran lain yang tidak seiring dalam membangun bangsa. Jangan sampai terulang kembali pembantaian Tanjung Priok terjadi lagi, karena luka kedua biasanya lebih parah dari yang pertama.
Sumber :
http://koepas.org/index.php/datfak/862-jalal-lolos-ke-senayan-jokowi-dan-luhut-panjaitan-ke-istana-kuburan-massal-muslim-mungkinkah.
-----------------------------
* Kronologi Tragedi Tanjung Priok Berdarah 1984 oleh Saksi Mata Ust. Abdul Qadir Djaelani...!
Abdul Qadir Djaelani adalah salah seorang ulama yang dituduh oleh aparat keamanan sebagai salah seorang dalang peristiwa Tanjung Priok. Karenanya, ia ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara. Sebagai seorang ulama dan tokoh masyarakat Tanjung Priok, sedikit banyak ia mengetahui kronologi peristiwa Tanjung Priok. Berikut adalah petikan kesaksian Abdul Qadir Djaelani terhadap peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984, yang tertulis dalam eksepsi pembelaannya berjudul “Musuh-musuh Islam Melakukan Ofensif terhadap Umat Islam Indonesia”.
Tanjung Priok, Sabtu, 8 September 1984
Dua orang petugas Koramil (Babinsa) tanpa membuka sepatu, memasuki Mushala as-Sa’adah di gang IV Koja, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Mereka menyiram pengumuman yang tertempel di tembok mushala dengan air got (comberan). Pengumuman tadi hanya berupa undangan pengajian remaja Islam (masjid) di Jalan Sindang. Tanjung Priok, Ahad, 9 September 1984 Peristiwa hari Sabtu (8 September 1984) di Mushala as-Sa’adah menjadi pembicaran masyarakat tanpa ada usaha dari pihak yang berwajib untuk menawarkan penyelesaan kepada jamaah kaum muslimin. Tanjung Priok, Senin, 10 September 1984 Beberapa anggota jamaah Mushala as-Sa’adah berpapasan dengan salah seorang petugas Koramil yang mengotori mushala mereka. Terjadilah pertengkaran mulut yang akhirnya dilerai oleh dua orang dari jamaah Masjid Baitul Makmur yang kebetulan lewat. Usul mereka supaya semua pihak minta penengahan ketua RW, diterima. Sementara usaha penegahan sedang.berlangsung, orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan tidak ada urusannya dengan permasalahan itu, membakar sepeda motor petugas Koramil itu. Kodim, yang diminta bantuan oleh Koramil, mengirim sejumlah tentara dan segera melakukan penangkapan. Ikut tertangkap 4 orang jamaah, di antaranya termasuk Ketua Mushala as-Sa’adah.
Tanjung Priok, Selasa, 11 September 1984
Amir Biki menghubungi pihak-pihak yang berwajib untuk meminta pembebasan empat orang jamaah yang ditahan oleh Kodim, yang diyakininya tidak bersalah. Peran Amir Biki ini tidak perlu mengherankan, karena sebagai salah seorang pimpinan Posko 66, dialah orang yang dipercaya semua pihak yang bersangkutan untuk menjadi penengah jika ada masalah antara penguasa (militer) dan masyarakat. Usaha Amir Biki untuk meminta keadilan ternyata sia-sia.
Tanjung Priok, Rabu, 12 September 1984
Dalam suasana tantangan yang demikian, acara pengajian remaja Islam di Jalan Sindang Raya, yang sudah direncanakan jauh sebelum ada peristiwa Mushala as-Sa’adah, terus berlangsung juga. Penceramahnya tidak termasuk Amir Biki, yang memang bukan mubalig dan memang tidak pernah mau naik mimbar. Akan tetapi, dengan latar belakang rangkaian kejadian di hari-hari sebelumnya, jemaah pengajian mendesaknya untuk naik mimbar dan memberi petunjuk. Pada kesempatan pidato itu, Amir Biki berkata antara lain, “Mari kita buktikan solidaritas islamiyah.
Kita meminta teman kita yang ditahan di Kodim. Mereka tidak bersalah. Kita protes pekerjaan oknum-oknum ABRI yang tidak bertanggung jawab itu. Kita berhak membela kebenaran meskipun kita menanggung risiko. Kalau mereka tidak dibebaskan maka kita harus memprotesnya.” Selanjutnya, Amir Biki berkata, “Kita tidak boleh merusak apa pun! Kalau adayang merusak di tengah-tengah perjalanan, berarti itu bukan golongan kita (yang dimaksud bukan dan jamaah kita).” Pada waktu berangkat jamaah pengajian dibagi dua: sebagian menuju Polres dan sebagian menuju Kodim.
Setelah sampai di depan Polres, kira-kia 200 meter jaraknya, di situ sudah dihadang oleh pasukan ABRI berpakaian perang dalam posisi pagar betis dengan senjata otomatis di tangan. Sesampainya jamaah pengajian ke tempat itu, terdengar militer itu berteriak, “Mundur-mundur!” Teriakan “mundur-mundur” itu disambut oleh jamaah dengan pekik, “Allahu Akbar! Allahu Akbar!” Saat itu militer mundur dua langkah, lalu memuntahkan senjata-senjata otomatis dengan sasaran para jamaah pengajian yang berada di hadapan mereka, selama kurang lebih tiga puluh menit. Jamaah pengajian lalu bergelimpangan sambil menjerit histeris; beratus-ratus umat Islam jatuh menjadi syuhada. Malahan ada anggota militer yang berteriak, “Bangsat! Pelurunya habis. Anjing-anjing ini masih banyak!” Lebih sadis lagi, mereka yang belum mati ditendang-tendang dan kalau masih bergerak maka ditembak lagi sampai mati.
Tidak lama kemudian datanglah dua buah mobil truk besar beroda sepuluh buah dalam kecepatan tinggi yang penuh dengan pasukan. Dari atas mobil truk besar itu dimuntahkan peluru-peluru dan senjata-senjata otomatis ke sasaran para jamaah yang sedang bertiarap dan bersembunyi di pinggir-pinggir jalan. Lebih mengerikan lagi, truk besar tadi berjalan di atas jamaah pengajian yang sedang tiarap di jalan raya, melindas mereka yang sudah tertembak atau yang belum tertembak, tetapi belum sempat menyingkir dari jalan raya yang dilalui oleh mobil truk tersebut. Jeritan dan bunyi tulang yang patah dan remuk digilas mobil truk besar terdengarjelas oleh para jamaah umat Islam yang tiarap di got-got/selokan-selokan di sisi jalan.
Setelah itu, truk-truk besar itu berhenti dan turunlah militer-militer itu untuk mengambil mayat-mayat yang bergelimpangan itu dan melemparkannya ke dalam truk, bagaikan melempar karung goni saja. Dua buah mobil truk besar itu penuh oleh mayat-mayat atau orang-orang yang terkena tembakan yang tersusun bagaikan karung goni.
Sesudah mobil truk besar yang penuh dengan mayat jamaah pengajian itu pergi, tidak lama kemudian datanglah mobil-mobil ambulans dan mobil pemadam kebakaran yang bertugas menyiram dan membersihkan darah-darah di jalan raya and di sisinya, sampai bersih.
Sementara itu, rombongan jamaah pengajian yang menuju Kodim dipimpin langsung oleh Amir Biki. Kira-kirajarak 15 meter dari kantor Kodim, jamaah pengajian dihadang oleh militer untuk tidak meneruskan perjalanan, dan yang boleh meneruskan perjalanan hanya 3 orang pimpinan jamaah pengajian itu, di antaranya Amir Biki. Begitu jaraknya kira-kira 7 meter dari kantor Kodim, 3 orang pimpinan jamaah pengajian itu diberondong dengan peluru yang keluar dari senjata otomatis militer yang menghadangnya. Ketiga orang pimpinan jamaah itu jatuh tersungkur menggelepar-gelepar. Melihat kejadian itu, jamaah pengajian yang menunggu di belakang sambil duduk, menjadi panik dan mereka berdiri mau melarikan diri, tetapi disambut oleh tembakan peluru otomatis. Puluhan orang jamaah pengajian jatuh tersungkur menjadi syahid. Menurut ingatan saudara Yusron, di saat ia dan mayat-mayat itu dilemparkan ke dalam truk militer yang beroda 10 itu, kira-kira 30-40 mayat berada di dalamnya, yang lalu dibawa menuju Rumah Sakit Gatot Subroto (dahulu RSPAD).
Sesampainya di rumah sakit, mayat-mayat itu langsung dibawa ke kamar mayat, termasuk di dalamnya saudara Yusron. Dalam keadaan bertumpuk-tumpuk dengan mayat-mayat itu di kamar mayat, saudara Yusron berteriak-teriak minta tolong. Petugas rumah sakit datang dan mengangkat saudara Yusron untuk dipindahkan ke tempat lain.
Sebenarnya peristiwa pembantaian jamaah pengajian di Tanjung Priok tidak boleh terjadi apabila PanglimaABRI/Panglima Kopkamtib Jenderal LB Moerdani benar-benar mau berusaha untuk mencegahnya, apalagi pihak Kopkamtib yang selama ini sering sesumbar kepada media massa bahwa pihaknya mampu mendeteksi suatu kejadian sedini dan seawal mungkin. Ini karena pada tanggal 11 September 1984, sewaktu saya diperiksa oleh Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya, saya sempat berbincang-bincang dengan Kolonel Polisi Ritonga, Kepala Intel Kepolisian tersebut di mana ia menyatakan bahwa jamaah pengajian di Tanjung Priok menuntut pembebasan 4 orang rekannya yang ditahan, disebabkan membakar motor petugas. Bahkan, menurut petugas-petugas satgas Intel Jaya, di saat saya ditangkap tanggal 13 September 1984, menyatakan bahwa pada tanggal 12 September 1984, kira-kira pukul 10.00 pagi. Amir Biki sempat datang ke kantor Satgas Intel Jaya.
(Sumber: Buku Tanjung Priok Berdarah, Tanggungjawab Siapa: Kumpulan Fakta dan Data, Yogyakarta: Gema Insani Press via http://olgariki.multiply.com/)
http://27victory.wordpress.com/2010/04/15/kronologi-tragedi-tanjung-priok-berdarah-1984-oleh-saksi-mata-ust-abdul-qadir-djaelani/
--------------------------------
* LB MOERDANI, Jenderal Kafir Yang sangat Membenci islam ...!
" Konspirasi untuk menghantam Umat Islam Indonesia ! "
Upaya-upaya penghancuran Islam tak pernah henti hingga Orde Baru tumbang pada 1998. Cara yang dilakukan umumnya sama, merangkul umat Islam dan dikemudian mediskeditkannya dengan berbagai rekayasa. Tokoh-tokoh yang terlibat pun semakin banyak, yang semuanya merupakan orang-orang Orde Baru yang mungkin saja termasuk 'orang-orang binaan' Pater Beek. Satu di antaranya yang sangat terkenal adalah LB Moerdani.
Tentang tokoh yang satu ini, George J. Aditjondro dalam artikel berjudul “CSIS, Pater Beek SJ, Ali Moertopo dan L.B. Moerdani” memberikan uraian sebagai berikut;
“Selama Ali masih menjadi orang penting di sekitar Soeharto, salah seorang kadernya disimpan di Korea Selatan sebagai Konjen. Itu lah L.B. Moerdani. Sudah sejak di Kostrad pada zaman konfrontasi dengan Malaysia, para senior di Kostrad kabarnya sudah melihat tanda-tanda adanya rivalitas diam-diam antara Ali dan Moerdani. Banyak yang menduga perbedaan mereka pada gaya. Ali suka pamer kekuasaan, sedang Moerdani pada kerahasiaan dan misteri. Persamaan mereka adalah semua haus kekuasaan. Tapi dalam ingin berkuasa ini juga ada perbedaan. Ali ingin menjadi orang yang berkuasa, sementara Moerdani hanya ingin menjadi orang yang mengendalikan orang yang berkuasa”.
Meski permusuhan antara Ali Moertopo dan LB Moerdani membuat karir Moerdani terhambat, namun akhirnya Moerdani kemudian muncul juga ke permukaan.
Karir Moerdani meroket setelah peristiwa Malari pada 1974. Apalagi karena setelah itu Soeharto membubarkan Aspri (Asisten Presiden), lembaga yang dikuasai penuh oleh Ali Moertopo. Tentang hal ini George J. Aditjondro mengungkapkan begini;
“Tapi setelah terjadi Malari, Ali Moertopo tidak bisa lagi menghalangi Moerdani untuk tampil ke depan. Sejak ini lah bintang Moerdani mulai menanjak. Moerdani boleh berbeda style dengan Ali, tapi karena sama-sama ingin berkuasa, keduanya perlu tanki pemikir. Maka CSIS yang mulai cemas karena merosotnya posisi dan peran Ali Moertopo pada masa pasca Malari, Berjaya lagi oleh naiknya Moerdani”.
L.B. Moerdani beragama Katolik dan sangat membenci Islam. Ini lah yang membuat dia mudah diterima CSIS. Bahkan masuknya Moerdani ke lembaga yang dibentuk Pater Beek itu ibarat ikan menemukan air. Tentang hala ini, George J. Aditjondtro berkata begini;
“Moerdani adalah orang Katolik yang kebetulan secara pribadi sangat benci kepada Islam. Karena itu lancar saja kerjasama Moerdani dengan CSIS. Sebagai orang Katolik ekstrim kanan, Moerdani di CSIS merasa di rumah sendiri. Itu lah sebabnya mengapa Moerdani sekarang tenang bisa berkantor di CSIS (menggunakan bekas kantor Ali Moertopo)”.
Dalam memilih kader, cara Moerdani dan Ali Moertopo relatif tak berbeda. Jika Moertopo ‘memukul’ Islam dengan menggunakan orang Islam juga, Moerdani pun begitu. Cara ini terbukti efektif karena selama Moerdani ‘merajalela’, Islam di Indonesia benar-benar berada dalam suasana suram karena terdiskreditkan dan terpojokan.
Salah satu peristiwa yang dicurigai melibatkan Moerdani adalah kasus ‘Jamaah Imran’ yang berlanjut pada pembajakan pesawat Garuda bernomor penerbangan GA 206 tujuan Medan pada 28 Maret 1981 yang kemudian dikenal dengan kasus Pembajakan Wolya. Kecurigaan ini muncul karena seperti kasus meletusnya G-30 S/PKI yang menguntungkan Soeharto, kasus Jamaah Imran dan Pembajakan Woyla juga menguntungkan Moerdani.
Dalam biografi LB Moerdani yang ditulis Julius Pour terdapat kronologis awal kasus itu yang bunyinya sebagai berikut;
“Sabtu 28 Maret 1981, pesawat terbang Garuda Indonesia nomor penerbangan GA 206 tujuan Medan, tinggal landas dari Bandar Udara Talangbetutu, Palembang …. Mendadak, terdangar keributan kecil dari arah kabin penumpang. Co-Pilot Hedhy Juwantoro juga mendengar suara ribut yang masuk ke ruang kokpit. Ia baru saja akan memalingkan kepalanya ketika tiba-tiba seorang lelaki bertubuh kekar menyerbu ke dalam kokpit sambil berteriak; “Jangan bergerak, pesawat kami bajak ….””
Pembajakan itu dilakukan oleh lima laki-laki. Pemerintahan Orde Baru menyebut, para pembajak ini merupakan bagian dari Jamaah Imran, sebuah jamaah radikal yang didirikan di Bandung, Jawa Barat, dan dipimpin oleh Imran.
Dalam buku ‘Pater Beek, Freemason dan CIA’. Sembodo menjelaskan bahwa Jamaah Imran adalah kelompok yang dibentuk setelah Komando Jihad ‘dilumpuhkan’ Ali Moertopo.
Tiga bulan setelah jamaah ini terbentuk, seorang anggota intelijen dari kesatuan TNI Yon Armed Cimahi, yang menurut Umar Abduh bernama Najamuddin, menyusup dan memprovokasi agar kelompok ini melakukan gerakan radikal untuk melawan pemerintahan Soeharto secara terbuka. Anggota intel ini bahkan menunjukkan senjata jenis apa saja yang cocok untuk dipakai setiap anggota Jamaah Imran, dan meminta setiap anggota Jamaah itu difoto sambil memegang senjata yang ia perlihatkan. Bodoh, anggota jamaah itu mau saja tanpa menelaah dulu apa maksud dan tujuan si penyusup. Tentang hal ini, diuraikan Umar Abduh sebagai berikut;
“Gerakan pemuda Islam Bandung pimpinan Imran terpedaya, terjebak dalam isu provokasi intelijen tersebut, apalagi setelah Najamuddin menjanjikan akan memberikan suplai berbagai jenis senjata organic ABRI, seraya menunjukkan contoh konkret senjata mana yang yang diperlukan dan pantas untuk masing-masing orang. Bodohnya, ketika beberapa anggota kelompok ini diminta agar masing-masing difoto seraya memegang senjata hasil pemberian yang dijanjikan dan berlangsung hanya sesaat oleh Najamuddin itu, tidak seorang pun dari anggota gerakan Imran keluar sikap kritisnya”.
Setelah menunjukkan senjata-senjata yang layak dipakai Jamaah Imran, Najamuddin kemudian memprovokasi jamaah itu agar segera melakukan gerakan terbuka melawan pemerintahan Soeharto. Cara pertama yang disarankan adalah menyerang kantor polisi-kantor polisi dan merebut senjatanya agar dengan demikian jamaah itu memiliki senjata sendiri sebagai bekal melawan pemerintah. Bodohnya lagi, provokasi itu termakan pimpinan dan anggota jamaah, dan Polsek Cicendo, Bandung, diserang.
Soal penyerangan ini, Umar Abduh menjelaskan sebagai berikut; “Dengan bermodalkan sebuah Garrand tua itulah kelompok ini terjebak dalam skenario premature melalui provokasi penyerangan Polsek Cicendo, Bandung. Melalui modus operasi penyerangan pos polisi yang dilengkapi dengan seragam militer sebagai akibat, entah sengaja atau kebetulan, telah menahan sebuah kendaraan bermotor roda dua bernomor polisi sementara (profit) milik anggota jamaah.
Momentum ini dimanfaatkan Najamuddin untuk merealisir terjadinya aksi kekerasan bersenjata, antara lain menyiapkan magazine dan amunisi senapan Garrand hasil curian, satu hari menjelang penyerangan pos polisi tersebut. Penyerangan akhirnya berlangsung brutal, dengan bermodalkan satu pucuk senjata Garrand hasil curian (pemberian Najamuddin), Salman dan kawan-kawan berhasil menembak mati 3 polisi serta melukai satu orang di Polsek tersebut, dan merampas senjata genggam sebanyak 3 buah”.
Roda selalu berputar dan sinar bintang tak selalu benderang. Begitupula dengan karir seseorang, termasuk karir LB Moerdani. Pada 1988, Soeharto mencopotnya dari jabatan sebagai Panglima ABRI, dan sejak itu karirnya meredup
Setahun setelah pencopotan dilakukan, atau sekitar pertengahan 1989, dalam perjalanan pulang dari kunjungan ke Beograd, Yugoslavia, Soeharto mengatakan begini; “Biar jenderal atau menteri, yang bertindak inskonstitusional akan saya gebuk”.
Pernyataan Soeharto ini kontan membuat orang percaya bahwa yang dimaksud ‘Bapak Orde Baru’ itu adalah LB Moerdani. Apalagi karena sebelum pemecatan terjadi, Moerdani sempat menyarankan agar Soeharto jangan maju lagi sebagai presiden pada pemilu 1993, sehingga hubungan antara keduanya menjadi tegang.
Salah seorang yang percaya bahwa Moerdani akan melakukan kudeta adalah Mayjen (Purn) Kivlan Zen. Terkait hal ini, majalah Tempo edisi 10 Februari 2008 memberitakan begini; “Mayjen (Purn) Kivlan Zen, bekas Kepala Staf Kostrad malah mengatakan Benny akan melakukan kudeta. Informasi ini menurut Kivlan Zen dilaporkan Prabowo Subiyanto kepada mertuanya (Soeharto) yang berujung pada pemecatan Benny dari jabatan Panglima ABRI seminggu sebelum Sidang MPR 1988”.
Menurut Sembodo dalam buku ‘Pater Beek, Freemason, dan CIA’, pasca pemecatan, Moerdani ‘bermain’ melalui dua orang kepercayaannya, yakni Try Soetrisno yang menggantikan dirinya sebagai Panglima ABRI, dan Harsudiono Hartas yang menjabat sebagai Kasospol ABRI. Berkat manuver politik Harsudiono pada pemilihan presiden 1993, BJ Habibie yang sempat digadang-gadang bakal menjadi wakil Soeharto, tersingkir, dan Try Sutrisno naik menjadi wakil presiden.’Permainan’ Moerdani berhasil, karena selama Try Sutrisno menjadi pendamping Soeharto, sepak terjang Moerdani yang selama bertahun-tahun mendiskreditkan dan membunuhi umat Islam, tak pernah diungkit-ungkit.
Meski dia sempat diadili oleh Mahkamah Militer karena kasus Tragedi Tanjung Priok pada 12 September 1984 yang menurut Solidaritas Nasional untuk Tragedi Tanjung Priok (SONTAK) menelan korban tewas hingga sekitar 400 umat Islam, namun dia tidak menjadi tersangka dan tetap dapat menghirup udara bebas. Padahal seperti disebut Janet Steele dalam buku berjudul "Wars Within, Pergulatan Tempo, Majalah Berita Sejak Zaman Orde Baru", kasus berdarah di kawasan Jakarta Utara ini jelas merupakan hasil operasi intelijen. Bahkan saat diwawancarai majalah Tempo untuk edisi 19 Januari 1985, Moerdani mengakui kalau ia menyebut Tanjung Priok sebagai "asbak". Ini lah kutipan kata-kata LB Moerdani ketika itu.
"Ibarat seperti orang merokok, abunya tentu saja tidak boleh dibuang di sembarang tempat. Asbak diperlukan untuk tempat abu. Nah, Tannjung Priok memang sengaja dijadikan semacam 'asbak', tempat penyaluran emosi".
Untuk diketahui, Tanjung Priok merupakan salah satu basis Islam di Jakarta dan menurut Sembodo, kawasan itu juga sedang dijadikan salah satu basis Kristenisasi. Tak heran jika dalam waktu singkat di situ didirikan sejumlah gereja yang pembangunannya pun tidak dirundingkan dulu dengan warga.
Kasus Tanjung Priok meledak setelah anggota Babinsa Koja Selatan, Jakarta Utara, bernama Sersan Satu Hermanu, meminta warga mencopot poster berisi imbauan agar wanita mengenakan jilbab yang dipasang di Mushala As-Saadah. Ketika permintaan ditolak, anggota Babinsa itu mencopot poster, namun tanpa mencopot sepatu dahulu kala memasuki mushala. Warga pun marah, dan kasus berkembang menjadi pembataian massal di Jalan Yos Sudarso, jalan utama di Jakarta Utara, yang dilakukan oleh militer.
LB Moerdani sendiri kala itu sempat mengklaim bahwa yang tewas hanya 18 orang dan yang luka-luka 53 orang. Namun banyaknya warga yang hilang setelah kejadian itu membuat klaim ini tak dipercaya. Apalagi setelah SONTAK melakukan pendataan, yang tewas dan hilang ternyata mencapai sekitar 400 orang, sementara yang luka juga mencapai ratusan orang. Banyaknya warga yang hilang karena setelah pembantaian berlangsung, jasadnya diangkut dengan kendaraan militer dan kemudian dibuang entah kemana, dan hingga kini masih menjadi tanda tanya besar.
Sembodo menyebut, dengan naiknya Try Sutrisno menjadi wapres, Moerdani bahkan tetap dapat ‘mengendalikan’ Orde Baru.
LB Moerdani meninggal pada 29 Agustus 2004 di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta, akibat stroke dan infeksi paru-paru dan Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta Selatan, dengan diiringi upacara militer.
Akhirnya ... Mati juga si Kafir itu ..!!!
----------------------------
http://www.kaskus.co.id/thread/
BAGIKAAN !!


Suka · ·


Tidak ada komentar:

Posting Komentar