Selasa, 17 Desember 2013

ADA begitu banyak hal tentang SM Kartosoewirjo. Beberapa di antaranya adalah ia  sudah terlebih dahulu memproklamasikan kemerdekaan. Namun atas pertimbangan kebangsaan dan kesatuan, ia mencabut kembali proklamasi tersebut dan bersedia turut menegakkan RI dengan syarat umat Islam di Indonesia diberi kesempatan untuk menjalankan syariat Islam.
Ketika Jepang menguasai Hindia Timur, seluruh organisasi pergerakan dibubarkan. Jepang hanya memperbolehkan beberapa organisasi yang dianggap tidak membahayakan kedudukan Jepang. Oleh karena itu, PSHIT dibubarkan dan berganti Madjlis Islam ‘Alaa Indonesia (MIAI) pimpinan Wondoamiseno. Kala itu Kartosoewirjo menjabat sebagai sekretaris Majelis Baitul-Mal, organisasi di bawah MIAI.
Selain itu, ia bekerja sebagai Pemimpin Redaksi Koran Harian Fadjar Asia. Ia membuat tulisan-tulisan yang berisi penentangan terhadap bangsawan Jawa (termasuk Sultan Solo) yang bekerjasama dengan Belanda. Ia menyerukan agar kaum buruh bangkit untuk memperbaiki kondisi kehidupan mereka, tanpa memelas. Ia juga sering mengkritik pihak nasionalis lewat artikelnya.
Karirnya kemudian melejit saat ia menjabat sebagai Sekretaris Jendral Partai Serikat Islam Indonesia (PSII). PSII merupakan kelanjutan dari Sarekat Islam. Kartosoewirjo kemudian bercita-cita untuk mendirikan Negara Islam (Daulah Islamiyah). Di PSII ia menemukan jodohnya. Ia menikah dengan Umi Kulsum, anak seorang tokoh PSII di Malangbong. Ia kemudian keluar dari PSII dan mendirikan Komite Pembela Kebenaran Partai Sarekat Islam Indonesia (KPKPSII).
Menurut Kartosoewirjo, PSII adalah partai yang berdiri di luar lembaga yang didirikan oleh Belanda. Oleh karena itu, ia menuntut suatu  penerapan politik hijrah yang tidak mengenal kompromi. Menrutnya, PSII harus menolak segala bentuk kerjasama dengan Belanda tanpa mengenal kompromi dengan cara jihad. Ia mendasarkan segala tindakan politiknya saat itu berdasarkan  pembedahan dan tafsirannya sendiri terhadap Al-Qur’an. Ia tetap istiqomah pada pendiriannya, walaupun berbagai rintangan menghadang, baik itu rintangan dari tubuh partai itu sendiri, rintangan dari tokoh nasionalis, maupun tekanan dan rintangan dari pemerintah kolonial.
Turut Tegakkan RI
Ketika Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, sebuah sumber menyatakan bahwa sebenarnya Kartosoewirjo sudah terlebih dahulu memproklamirkan kemerdekaan sebuah Negara Islam.  Namun atas pertimbangan kebangsaan dan kesatuan ia mencabut kembali proklamasi tersebut dan bersedia turut menegakkan RI dengan syarat umat Islam di Indonesia diberi kesempatan untuk menjalankan syariat Islam.
Hal ini sebagaimana tercantum dalam sila pertama piagam Jakarta yang kemudian dihapus sehingga hanya menyisakan kalimat “Ketuhanan Maha Esa” saja.
Penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta tersebut merupakan awal retaknya hubungan Kartosoewirjo dengan Soekarno, teman seperguruannya semasa masih dididik oleh HOS Tjokroaminoto.
Keduanya memang  menunjukkan sikap dan prinsip politik berbeda. Kartosoewirjo adalah seorang muslim taat yang mencita-citakan berdirinya Negara berdasarkan Syariat Islam, sedangkan Soekarno nasionalis sekuler yang lebih mementingkan persatuan dan kesatuan Indonesia dengan Pancasila-nya. Hal ini membuat Kartosoewirjo selalu bersebrangan dengan pemerintah RI. Ia bahkan menolak jabatan mentri yang ditawarkan Perdana Mentri Amir Sjarifuddin. [islampos/posmo]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar