Selasa, 24 Desember 2013

KASURAU - Beberapa hari yang silam kami membaca tiga rangkai postingan pada salah stu grup di facebook. Postingan ini memaparkan pengalaman Si Penulis selama berada di Sulawesi Utara. Bagaimana sebenarnya Superblock LIPPO itu di Manado? Seperti apa pembangunan di bidang ekonomi yang mereka gadang-gadangkan? Serupa apa pula kehidupan masyarakat yang ada disana?

Silahkan kita baca bersama-sama, semoga menambah pengetahuan kita mengenai permasalahan ini.

PS: Pada tulisan ketiga tampaknya kawan kami kurang lengkap menyalinnya. Dan kawan kami ini tidak dapat mendapatkan secara lengkap. Kami mohon maaf atas kekurangan ini..

Pembangunan superblok, oleh oligarki,[1] tidak mengenal agama, apakah itu Kristen ataupun Islam. Superblok dalam kondisi saat ini, akan menghisap seluruh kekayaan pada satu daerah yang  jatuh ke tangan segelintir orang.

Engku, encik, serta rangkayo sekalian pernah berkunjung ke Propinsi Sulawesi Utara, dimana kebanyakan dari masyarakatnya beragama Kristen?

Kunjungilah Kota Manado yang merupakan ibu kota dari propinsi tersebut. Kemudian kunjungi pula seluruh daerah Propinsi Sulawesi Utara tersebut sembari mempelajari sistem ekonominya. Propinsi Sulawesi Utara – jika dibandingkan dengan Prop.Sumbar – keadaan ekonominya lebih baik. Superblok yg dibangun di Kota Manado begitu luas, begitu besar, begitu moderen, dapat kita katakan seperti Singapuranya Indonesia.

Superblok yangg akan dibangun Lippo di Padang tidak ada apa-apanya jika kita bandingkan dengan Superbloknya Lippo di Kota Manado. Wilayah pantai di reklamasi, Kota Manado jadi pintu gerbang untuk keluar Indonesia. Geografisnya strategis, Bitung sekitar 34 km dari Manado, mempunyai pelabuhan kontainer terbesar untuk Indonesia Timur.

Manado, menjadi hubungan untuk pelabuhan udara, sedangkan Kota Bitung menjadi Hubungan pelabuhan laut untuk Indonesia Timur. Kerenkan?

Secara geografis daerah ini bagus, jadi Superblok Manado siap mengambil peranan di Indonesia Timur, seperti Singapura untuk Asia. Pemerintah pusat menjadikan Bitung sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).

Engku, encik, serta rangkayo sekalian, kalau datang ke Manado, akan terpesona. Pulang dari Manado, engku dan encik akan mati-matian mendukung pembangunan Superblok LIPPO di Padang.

Kalau hanya berkunjung satu atau dua hari saja, namun tidak mengkaji lebih dalam bagaimana peri kehidupan masyarakat di sana (Manado, Bitung, dan sekitarnya-Sulawesi Utara), maka kesimpulan yang engku dan encik dapat ialah, Kota Manado sangatlah maju, keren, dan hebat seperti Negeri Singapura, di kota ini bahkan tidak ada peminta-minta (pengemis).

Cobalah engku dan encik menyamar menjadi peminta-minta di Kota Manado, engku dan encik akan ditampar oleh orang Manado “Mempermalukan orang Manado..!!” kata mereka.

Engku dan encik akan dibawa ke sebuah perak (kebun), lalu engku dan encik akan disuruh mengambil segala hasil bumi yang jatuh di sana. Apakah itu kelapa, cengkeh, pisang, dan lain sebagainya. Hal ini dengan catatan bahwa buah-buahan yang engku ambil ialah buah-buahan yang jatuh ke tanah, tidak boleh memanjat guna memetik langsung dari pohonnya.

Gratis, takkan ada yang meminta uang.

Intinya ialah Propinsi Sulawesi Utara telah siap untuk menjadi negara merdeka. Kalau terjadi kekacauan di Republik Indonesia, Sulawesi Utara akan menjadi propinsi pertama yg akan mendeklarasikan diri menjadi negara merdeka.

Kalau engku dan encik berkunjung ke Propinsi Sulawesi Utara hanya dalam masa satu atau dua hari, maka engku dan encik akan mudah sekali terpesona dengan megahnya Superblok yang berdiri di tepi pantai Menado. Diseberangnya ada taman wisata Laut Bunaken yg terkenal keseluruh dunia.

Tapi cobalah engku dan encik berjalan ke seluruh daerah di sekitar kawasan ini yang berjarak sekitar 100 Km dari Superblok Menado. Kehidupan perniagaan di kawasan tersebut hidup merana, tidak bertumbuh.

Kenapa duhai engku dan encik sekalian? Karena kegiatan perniagaan (perekonomian) di hisap oleh Superblok.

Tahukah engku dan encik kehidupan orang Manado di Superblock itu? Disini mereka – rakyat Sulawesi Utara – mencari hidup dengan menjadi pegawai superblok, apakah itu office boy, cleaning service, fihak keamanan, dan lain-lain. Intinya mereka mendapat peranan yang remeh-temeh..

Di Kota Bitung mereka menjadi buruh pabrik pengelohan ikan diperusahaan-perusahaan pengolahan ikan. Karena bisnis ikan sudah captive market,[2] maka gaji di perusahaan ikan ini berdasarkan gaji upah minimum regional. Managernyapun juga digaji rendah.

Jadi generasi muda Sulawesi Utara dididik untuk menjadi tenaga kerja potensial, bukan sebagai saudagar, bisnisman, wirausahawan, atau wiraswasta. Tidak terbentuk kelas menengah, melainkan jurang antara Si Kaya dan Si Miskin semakin melebar. Yang ada ialah masyarakat kelas bawah yang tinggal di rumah kecil-kecil (RSS) atau di kos-kosan.[3]

Jadi kalau Lippo membangun superblok, nantinya Orang Padang akan bekerja di superblok tersebut dengan gaji rendah, tinggal di rumah RSS (Rumah Super Sederhana) yang tak layak huni, kemudian sekalian barang-barang di rumah dikredit, dan hidup dengan Mie Instan saja lagi.

Karena generasi mudanya[4] miskin, tahap selanjutnya terpaksa jual Tanah Pusako ke Lippo. Kalau sudah miskin semuanya – tentunya engku dan encik faham – Para Gembala Tuhan Evangelist akan datang menyelamatkan engku, encik, serta rangkayo sekalian beserta keluarga.

 Jadi anak-kamanakan engku dan encik sekalian nantinya akan menggantungkan salib didadanya. Manakan mereka faham kalau dahulunya orang tua dan sekalian karib kerabatnya beragamakan Islam. Bahwa dalam Islam setiap anak yang dilahirkan ke atas dunia ini beragamakan Islam bukan sebagai Yahudi, Nasrani, ataupun beragama lain. Manakan mereka faham duhai engku dan encik sekalian..

 Itulah yg terjadi di Sulawesi Utara,  yang dahulunya merupakan Kerajaan Islam, sekarang masyarakatnya kebanyakan (mayoritas) beragama Kristen. Hal ini karena sulthan-sulthan (raja) Islam pada masa dahulu melakukan pembiaran (memberi izin) kepada para pedagang Eropa dan mengundang mereka masuk ke dalam kerajaan beserta pendeta-pendeta mereka.[5]

Coba dilihat dari sisi lain, kondisi di Sulut.

Sulawesi Utara adalah salah satu daerah penghasil kelapa terbesar di Indonesia. Pada masa dahulu Pemerintah Kolonial Belanda memerintahkan masyarakat Sulawesi Utara untuk menanam kelapa pada kawasan yang luas sekali. Namun kebun-kebun kelapa tersebut tidak dimiliki oleh Orang Belanda, tapi tetap dimiliki oleh rakyat.

Kebun-kebun kelapa milik rakyat tersebut pada masa sekarang telah banyak yang bukan milik rakyat lagi, sudah dijual. Sehingga berpindah tangan ke pemilik kedua yang membeli kebun-kebun kelapa tersebut dengan luas yg sangat besar.

Yang memperihatinkan (dan menjadi perhatian kami) adalah apa yang akan terjadi dengan Pemilik Pertama yang telah menjual kebunnya tersebut?
Investasi hanyalah mengalihkan dapur, tempat yag kumuh dari rumah mereka ke rumah kita. Kita buat di rumah kita, dibawa mereka ke rumah mereka. Kita dapat sisa saja lagi, atau bahkan tak dapat.

Pemilik Pertama ini relatif berpendidikan rendah, kebun-kebun kelapa tersebut dijual dengan harga yang sangat rendah oleh mereka. Kemudian hasil dari penjualan kebun tersebut di bagi-bagikan kepada anak-anak mereka. Anak-anak merekapun juga relatif berpendidikan rendah, hidup pas-pasan, dengan penghidupan mereka di topang dari hasil penjualan kebun. Adapun dengan Cucu dari penjual tanah (pemilik pertama) tidak punya apa-apa lagi – yg saat ini masih belita – nantinya mereka akan memasuki usia sekolah. Tampaknya mayoritas cucu-cucu dari Pemilik Pertama ini akan tetap berpendidikan rendah.

Yang menjadi pertanyaan “ Apa gerangan yang akan terjadi dengan Cucu-cucu dari Pemilik pertama ini, apabila mereka telah  dewasa kelak?”

Dunia global modern, baik dalam pertanian, maupun industri, tidak memerlukan banyak unskilled labor[6]. Praktis dunia modern tidak membutuhkan tenaga mereka (mereka yang tak berpendidikan), baik di bidang pertanian, maupun di bidang industri.

Estimasi kasar ada sekitar 50 juta rakyat Indonesia, dalam 10 tahun yang akan datang tenaganya tidak dibutuhkan dalam bidang pertanian, maupun industri dalam kompetisi global. Pertanyaan kepada ahli-ahli ekonomi, politisi, dan pejabat-pejabat terkait “ Hendak dikemanakan 50 juta penduduk yang terpinggirkan dalam dunia globalisasi?”



Engku Abdul Muin
---

[1] Berasal dari Bahasa Yunani Oligarkhia, berasal dari kata oligon yang berarti “sedikit”, dan kata arkho yang berarti “memerintah”. Oligarki merupakan bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya secara efektif dipegang oleh sekelompok elit kecil dari masyarakat negara tersebut. Mereka yang berkuasa itu baik yang dilihat dari segi kekayaan, keluarga, atau militer (sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Oligarki)

[2] Captive market adalah pasar dimana para pembeli menghadapi jumlah pedagang (pengusaha) yang terbatas (sedikit), dimana para pengusaha ini saling bersaing. Hanya terdapat dua pilihan yakni membeli apa yang tersedia atau tidak membeli sama sekali. Pasar serupa ini mengakibatkan harga yang melonjak tinggi dan kurangnya pilihan bagi pembeli (konsumen). Oleh karena itu, istilah ini berlaku untuk setiap pasar dimana terdapat didalamnya kegiatan perdagangan yang bersifat monopoli atau oligopoli. Untuk lebih jelasnya lihat: http://en.wikipedia.org/wiki/Captive_market

[3] Kami bukan pendukung Soekarno, tapi perkenankan kami mengisahkan suatu cerita yang sangat diagung-agungkan oleh para pendukung fanatik dari Soekarno. Namun sayangnya tampaknya cerita ini tidak merasuk ke dalam hati mereka. Begini curaiannya kira-kira:

Dikisahkan Soekarno berjalan-jalan pada suatu kampung di daerah Jawa Barat. Lalu bersua olehnya seorang petani yang bernama Marhaen. Petani itu baru saja pulang dari sawah dan kemudian mendapat tanya dari Soekarno “Darimanakah engku ini?”

“Dari sawah saya ini engku..?” jawab Marhaen.

Soekarnopun balik bertanya “Di Sawah siapakah engku ini bekerja?” Soekarno bertanya demikian, karena lazim pada masa itu orang-orang bekerja sebagai buruh tani di sawah dan ladang milik orang berpunya (kaya).

“Di sawah saya engku..” jawab Marhaen.

Soekanorpun tercengan, kemudian ditanya lagi “Cangkul dan seluruh peralatan kesawah yang engku bawa ini punya siapa pulakah ini..?”

Dengan mantap Marhaen menjawab “Punya saya juga engku..”

Maka seketika tersadarlah Soekarno itu, seperti inilah hendaknya rakyat Indonesia itu. Bekerja di tanah sendiri dengan seluruh peralatan milik sendiri. Bukan bekerja kepada orang lain, diperas tenaganya, diberi upah yang kecil, hidup menumpang pula.

Maka kelak Soekarno menamai fahamnya ini dengan nama Faham Marhaenisme.

[4] Generasi Muda Minangkabau maksdunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar